Langkahnya tegap dan tandas menjauhiku, dan aku mengulum senyum meski dia tidak melihat bagaimana aku sangat menyayanginya. Jika tidak hari ini maka mungkin besok, dan besok hatiku akan mengatakan hal yang sama. Hubungan ini memang aneh, tidak selayaknya dan sepantasnya seperti ini.
Maksudku kami saudara, harusnya saling menyayangi, menjaga, kami juga bisa bekerja sama untuk menata Horryzon, maksudku aku yang membantunya. Bukannya dia bekerja sangat keras mempelajari seluk-beluk Horryzon demi menggantikan Papa menjadi raja yang baik. Itu penting, tapi Kak Rafael tidak perlu menjauhiku, menyuruhku pergi setiap aku bertanya atau memberi pendapat. Aku bukannya mau merebut takhtanya nanti kok.
Banyak sekali prasangkaku tentangnya karena kelakuannya yang terus-terusan menjauh itu, sejak kecil, dia hanya mau berjalan berdua denganku kalau dari jauh ada Mama atau Papa. Atau saat guru-guru kami di sekolah memerhatikan. Atau di festival dan acara kerajaan, yang mengharuskan kami datang di depan khalayak. Itu pun Kak Rafael lebih banyak diam, jarang, atau tidak pernah memulai percakapan. Tunggu, pernah sekali waktu itu, di mana, ya? Sepertinya tidak di Horryzon, waktu itu aku masih kecil, mungkin lima tahun, dan dia lima belas tahun. Aku masih tidak peduli kalau dia tidak menggubrisku waktu itu, es krim, donat, musik orkestra yang dimainkan orang-orang berkumis tipis, itu semua menarik perhatian Rheachel kecil ketimbang si Kak Rafael yang cuek.
Tapi, yang kuingat waktu itu adalah aku berputar-putar di sebuah pesta, mencoba beberapa koe cokelat yang manis dan sedikit pahit, lalu berdiri di depan musik orkestra, seorang wanita cantik menyanyi dengan nada tinggi. Sangat memukau. Mungkin Papa dan Mama baru sadar kalau aku lepas dari pengamatan mereka, dan untuk pertama kalinya (itu menjadi sejarah bagiku) Kak Rafael berbicara padaku.
"Menyukai musiknya, Putri Rhea?" tanyanya. Tidak, itu bukan Kak Rafael, dia tidak pernah seramah itu. "Boleh aku menjadi sopan, Putri?" Dia membusungkan dada, tapi kepalanya harus menunduk karena aku sangat pendek, sewajarnya bocah lima tahun. "Pangeran Lusius dari Vorretsin." Senyumnya merekah seperti bunga pukul sembilan, ringan, wajahnya putih bersih dan memiliki aura energik yang positif
"Rheachel Alber Clayton," balasku mengangkat tangan kanan, kalau tidak salah para wanita dewasa melakukannya dan aku hampir-hampir menyemburkan tawa karena merasa geli saat Lusius itu mengecup punggung tanganku yang berselimut sarung tangan. "Dari mana kau tahu namaku?" Mengingat tadi dia memanggil nama panggilanku.
"Dari kakakmu, aku teman dekatnya. Kalung di lehermu mirip dengan milik Rafael jadi sudah pasti kau adiknya, bukan? Dan sebenarnya aku kira kau kehilangan keluargamu, mau kuantar?" Dia menawarkan. Dikiranya aku tidak tahu cara menemukan orang tuaku. Mentang-mentang usiaku lima tahun.
"Jangan menila—"
"Putri Rhea," panggil seseorang, suaranya sangat familier tapi cukup mengejutkan, masak iya dia bicara padaku? Setelah lima tahun aku hidup jadi adiknya! Itu sangat terlambat. "Papa dan Mama mencarimu."
"Ah, aku baru saja berkenalan dengan adikmu, kenapa tidak mengenalkannya padaku sejak tadi?" tanya Lusius berkacak pinggang pada Kak Rafael. "Tidak mau berbagi, eh? Aku juga mau memiliki adik asal kau tahu!"
"Kau bisa berkenalan sendiri, lagi pula itu tugas orang tuaku." Kak Rafael menjawab seadanya, atau lebih detailnya adalah sesingkat mungkin. "Ayo, Rhea." Lalu dia berjalan duluan, bukannya menggandengku, biarpun aku paham segalanya tapi aku kan masih lima tahun waktu itu, langkahku sekecil biji kismis di atas roti bantal.
Lusius melambaikan tangan sangat heboh, aku terkekeh, lebih baik dia saja yang jadi kakakku, pasti sangat seru. Begitulah isi kepalaku waktu itu. Kisah di mana pertama kalinya Kak Rafael berbicara padaku, terpaksa karena Papa meminta dia mencari adik kecilnya yang melayap entah ke mana.
"Dasar galak, tidak pernah bicara dan sekalinya keluar suara nadanya sangat datar," gumamku menggerutu di belakangnya, sifatnya saat itu memang membuatku jengkel, tidak sanggup menahan bibir untuk tidak berkomentar kasar. Kalau Mama tahu pasti aku ditegur langsung. Tapi kalau diingat-ingat lagi masa-masa itu, aku jadi geli hati sendiri, bagaimana dulu sangat membenci, dan sekarang sangat menyayanginya.
Tapi tentu ada yang mengubah perasaanku, bukannya tanpa alasan, kalau dia tetap judes dan galak padaku seperti itu tentu tidak menutup kemungkinan kalau aku akan membencinya seumur hidup. Tapi pernah terjadi saat usiaku sepuluh tahu, di sekolah, aku dan dua temanku masuk ke area pacuan kuda, hanya iseng menonton anak-anak dewasa bergerak menawan mengusap leher kuda, menaikinya, membuat kaki-kaki kuda itu melompati setiap rintangan setinggi hampir satu meter.
"Aku ingin naik kuda tanpa pelana suatu saat," kataku.
"Tidak bisa, Rhea." Tamanku mengeluh. "Kita ini ditakdirkan duduk di kereta kuda dengan gaun besar dan sangat ribet! Belum lagi rambut kita tidak boleh berantakan. Menaiki kuda tanpa pelana, rasanya impian yang sulit kita lakukan."
"Diam-diam saja," kataku lagi. Lalu mereka terkekeh, mengejek perkataan yang dianggap candaan, padahal aku serius. Tapi mereka bilang aku ini memiliki ide yang terlalu nakal.
Sudah waktunya kami kembali ke kelas tata krama, dua temanku berjalan di sebelah kananku, mereka tidak sadar waktu aku sengaja memisahkan diri, masuk ke area terlarang pacuan kuda. Anak-anak dilarang keras masuk tanpa pemandu. Sampai seekor kuda yang ditinggal pengawasnya menendang perutku dengan dua kaki belakangnya yang kuat. Pengawas kuda itu lari tunggang langgang menghampiriku. Tapi sosok lain yang datang lebih dulu dengan wajah penuh khawatir, kentara dari kerutan di dahinya. Kak Rafael.
Aku terbangun di ruang kesehatan, perutku sakit sekali.
"Jangan bergerak, Rhea. Lukamu belum sembuh," ucap Kak Rafael menahan bahuku. "Apa ada bagian lain yang sakit selain perutmu? Kepalamu tidak kena tendangan kuda itu, bukan?" Dia mulai banyak bicara, sesuatu menakjubkan yang membuatku tercengang. Sampai terbesit kalau dia sedang kerasukan roh, mendadak sangat pengertian.
"Kak Ael yang membawaku ke sini?" tanyaku penasaran. Matanya membesar sepersekian detik, apa dia terkaget karena baru saja sadar telah menggendong adiknya ke ruang kesehatan, adik yang bisa saja mencuri takhtanya. Yah, belakangan ini aku berpikir begitu. Tapi dia mengelus rambutku, mengelus! Rambutku!
"Iya," jawabnya. "Aku menggendongmu ke sini." Mungkin kesannya biasa saja, tapi baru pertama kalinya dia memasang raut seperti seorang kakak yang menyayangi adiknya. Mengejutkan, bukan?! Lalu seorang juru medis mengganggu acaraku menatap wajah Kak Rafael. Tapi tadi itu memang wajah kasih sayang, yang membuatku kecanduan dan penasaran, karena setelah itu... bisa-bisanya Kak Rafael kembali judes padaku.
Apa dia tipe orang yang temperamental? Sedikit-sedikit judes, galak, tiba-tiba baik dan perhatian. Tapi tidak ah, dia sudah sepuluh tahun galak padaku, baru kali itu dia pengertian. Atau dia tipe kakak yang tidak peduli padaku kecuali kalau sakit? Aku sampai berharap sakit lagi untuk mendapatkan ekspresi kasih sayangnya.