Azhar Huda Pradipto, 27 tahun. Ia adalah seorang pria yang gagah. Wajahnya berbentuk Almond dengan dagu persegi yang kokoh. Alisnya tebal dengan mata elang yang ramah. Hidung mancung dengan bibir atas lebih tebal dari bagian bawahnya. Tubuhnya tinggi atletis. Rambutnya undercut dan selalu tersisir rapi. Penampilannya rapi, bersih, dan berkelas. Minyak rambut, pakaian, jam tangan, parfum, sampai ujung sepatu semua merek ternama. Pria itu sering mengerutkan kening, tapi begitu tersenyum gunung merapi pun seolah bisa luluh dibuatnya.
Azhar Huda, ia sedang menelepon dan berdebat serius dengan seseorang di ruang tamu. Balqis dan yang lainnya sampai di rumah dan sudah bisa mendengar suara Huda ketika membuka pintu.
Mengetahui suaminya ada di rumah, otot di sekitar mata Balqis tertarik. Tidak ada yang menyadarinya karena terjadi hanya dalam hitungan seperlima belas detik.
Keluarga Huda memiliki perusahaan kelapa sawit yang diwariskan turun-temurun dan dimulai oleh kakeknya. Dalam perusahaan, Huda menjabat sebagai wakil presiden mendampingi kakaknya.
Perusahaan mengelola 15 pabrik kelapa sawit, 5 pabrik pengolahan, dan 3 pabrik rafinasi. Produk yang dihasilkan mulai dari minyak goreng, margarin, mentega, biodisel dan lain sebagainya. Beberapa produk yang sudah diakui kualitasnya bahkan telah diekspor ke banyak negara.
Huda adalah pria yang cakap dan pekerja keras. Ia sangat teliti dalam setiap pekerjaannya. Pandai melihat peluang dan bernegosiasi. Ia menikah ketika berumur 23 tahun. Usia dua tahun lebih cepat dari kakaknya.
Banyak pria di luar sana yang memilih berfokus pada karier mereka di usia itu. Mematangkan diri. Menyiapkan lebih banyak materi.
Huda, ia memilih fokus pada keduanya. Karier dan cintanya. Ia sangat ambius dibanding pemuda-pemuda seusianya.
Meski jabatan di perusahaan adalah wakil, Huda lebih banyak disorot dibanding kakaknya. Orang-orang bahkan lebih banyak membicarakan dan mengaguminya.
Kakak Huda adalah tipe gila kerja. Dibanding bersosialisasi dan mendatangi perjamuan-perjamuan penting, ia lebih suka menyelesaikan pekerjaannya di kantor. Bekerja lembur. Karena itu, wajar jika banyak orang lebih nyaman ketika bersama si adik.
Gosip-gosip mengenai Pradipto bersaudara banyak bertebaran. Bahwa Huda-lah yang seharusnya memimpin perusahaan sebagai presiden. Bahwa Huda lebih bisa diandalkan. Bahwa sumbangsihnya kepada perusahaan setara dengan si kakak. Sangat tidak adil hanya karena terlahir diakhir harus menjadi nomor dua. Orang-orang menyebutnya 'menyia-nyiakan bakat'.
Sering disorot membuat Huda lebih populer. Ia bahkan menjadi Brand Ambassador untuk beberapa merek besar. Kepopuleran membuatnya memiliki penggemar dalam jumlah besar. Tampan, gagah, kaya, rendah hati, dan sayang istri, siapa yang tidak kagum.
Ketika diundang untuk berbicara dalam forum-forum inspirasi dan bisnis, kursi-kursi yang disiapkan panitia untuk peserta selalu penuh. Setiap orang bersemangat dan berenergi positif saat membahas Azhar Huda Pradipto.
Konotasi negatif mengenai pernikahan Huda pernah mencuat. Melihat latar belakang istri Huda yang orang tuanya adalah pemilik perkebunan sawit kecil. Tentang yang kaya yang berkuasa, bagaimana mungkin si gadis memiliki daya untuk menolak pernikahan. Atau tentang si gadis yang menggoda si kaya. Seberapa besar manfaat yang akan si gadis dapatkan jika menikahi si kaya.
Pada akhirnya konotasi negatif mengenai pernikahan Huda dan Balqis dapat tertepis. Dengan berjalannya waktu. Dengan sikap rendah hati Balqis. Dengan romantisme yang selalu diperlihatkan. Dengan kesetiaan Huda. Dengan perlakuan baik orang tua Huda. Dengan kemesraan dan sikap penuh kasih yang terus ditunjukkan meski telah 4 tahun menikah dan belum dikaruniai anak.
Di satu sesi wawancara dengan majalah nasional, Huda pernah blak-blakan bercerita mengenai kisah cintanya. Ia mengaku yang lebih dulu mengejar Balqis. Ia yang setiap saat mengganggu. Ia yang setia menunggu. Ia yang kasmaran lebih dulu. Ia satu-satunya yang merasa bahagia jika mereka bertemu.
Huda menyukai Balqis karena Balqis adalah gadis yang cantik, anggun, cerdas, dan baik hati. Huda juga menyebutkan segala kelebihan Balqis dan sikap rendah hatinya.
Pertama kali mengenal Balqis saat Balqis berada di semester akhir Sekolah Menengah Atas. Huda juga bercerita pernah beberapa kali ikut nongkrong dengan teman-teman Balqis. Ia dapat dengan sabar menunggu perasaan Balqis terbuka untuknya. Selama beberapa tahun. Dan, ketika akhirnya perasaannya berbalas, Huda segera menemui orang tua Balqis untuk menyatakan keseriusannya.
Mengetahui kisah cintanya, gadis mana yang tidak ingin bergabung dalam deretan penggemarnya. Wanita mana yang tidak merasa iri dengan Balqis. Suaminya setia, penuh kasih sayang, romantis. Tampan, gagah. Pekerja keras, cerdas, dan rendah hati. Apa lagi yang kurang?
Bagaimanapun kesempurnaan yang dilihat mata dan dinilai oleh akal adalah semu. Tidak akan pernah ada seorang yang bisa menjadi sempurna, sekuat apa pun usahanya.
Selesai berteleponan, Huda mengecup kening istrinya dan melilitkan lengannya di pinggang Balqis. Melihat kemesraan keduanya, Zahra segera menutup mata Nanda dengan tangannya. Zahra tahu betul kadar kebaperan Nanda sudah tidak mungkin terobati lagi.
"Sudah pulang dari tadi?" tanya Balqis.
Menurut jadwal dalam agenda Huda, seharusnya perjalanan bisnisnya menghabiskan waktu tiga hari dua malam. Jika berpatokan pada jadwal, Huda seharusnya sampai di rumah besok pagi. Melihat suaminya sudah berada di rumah, tentu saja Balqis terkejut. Ia sama sekali tidak mendapat kabar.
"Sudah, dari... dua jam yang lalu," jawab Huda menatap Balqis, kemudian tersenyum menggoda. "Zahra, Nanda. Jadi kalian menginap?" Huda menyapa teman-teman Balqis.
"Iya, tapi hari ini kita mau beres-beres." Zahra mengambil alih sebagai tukang jawab.
"Loh kenapa, memangnya kalian enggak capek? Menginap aja semalam lagi," tawar Huda. Nada bicaranya ramah bersahabat.
"No, no, no," Zahra menolak dengan cepat. "Nanti dia bisa gila lihat kalian mesra terus," tambahnya menunjuk Nanda.
"Enak aja!" tukas Nanda tidak terima. Ia memukul tangan Zahra dan memonyongkan bibirnya. "Aku sudah biasa nonton drama Korea jadi kalau nontonin mereka aja..."
"Eh, eh tolong ya itu kalimat disensor sedikit. Kalau ada orang lain yang dengar, konotasinya bisa negatif tahu," potong Zahra. "Nontonin mereka?"
Nanda segera membungkam mulutnya. Wajahnya memerah malu.
Zahra, Balqis, dan Huda sama-sama tertawa. Nanda melotot, memukul Zahra lagi. Ia akhirnya tahu sedang dipermainkan.
"Sudah, sudah. Ayo kita beres-beres terus out." Zahra melangkah lebih dulu sembari menarik gamis Nanda. Mau tidak mau, Nanda mengikuti langkahnya naik ke lantai dua.
Balqis menyusul setelah meminta izin pada suaminya. Dengan langkah cepat, Balqis menaiki anak tangga menyusul Zahra dan Nanda masuk ke kamar.
Zahra dan Nanda mulai mengenal Huda di awal-awal masa kuliah. Sebelumnya mereka hanya mendengar cerita Balqis. Tidak pernah melihat langsung sosok Azhar Huda.
Meski berbeda universitas dengan Balqis, mereka masih menjaga komunikasi dan bertemu sesekali untuk menghabiskan waktu bersama. Di waktu-waktu itulah mereka bertemu Huda.
Sejak mendengar cerita Balqis, Nanda langsung setuju pria itu mendekati Balqis. Nanda terus-menerus menunjukkan dukungannya. Entah apa yang ada di kepala Balqis, temannya itu selalu saja menolak. Huda dewasa dan bijaksana. Tidak terhitung banyaknya perhatian dan ketulusan yang telah ditunjukkan pria itu.
Bagi Nanda, Huda adalah pria impiannya. Tapi pantang baginya merasa iri dengan apa yang sahabatnya miliki. Itu bertentangan dengan prinsip hidupnya.
Dukungan dan persetujuan tidak hentinya Nanda dengungkan di telinga Balqis, tapi tetap tidak bisa mengubah pendiriannya. Nanda sering sekali mempertanyakan alasan Balqis menolak Huda. Mempertanyakan kekurangan pria itu.
"Kekurangan?"
Balqis berpikir lama, merenung lebih lama lagi. Pada akhirnya ia mengangkat kedua bahunya bersamaan. Tidak tahu.
Alhasil, Nanda yang sudah menunggu lama dan penasaran dengan jawaban Balqis geregetan. Ia mencekik Balqis dan perang bantal terjadi.
Berbeda dengan Nanda, Zahra lebih memberi dukungan penuh pada setiap keputusan Balqis. Apa pun yang diputuskannya. Zahra percaya Balqis memiliki alasan sendiri dan tahu apa yang terbaik untuknya. Ia bukan Balqis jadi tidak mengerti bagaimana rasanya menjadi Balqis. Atau disukai oleh Huda. Sebab itu, tidak ada yang bisa Zahra lakukan selain memberi dukungan.
Melihat Huda sering menempel pada Balqis, membuat Zahra kesal suatu kali. Ia memandang sinis dan sering mengatainya tidak tahu malu dan bermuka tembok di depan Balqis. Membuatnya semakin mendukung penuh keputusan Balqis untuk tidak membiarkan Huda masuk dalam hidupnya.
Setelah beberapa waktu berlalu, bahkan dinding baja seperti Zahra saja bisa luluh. Melihat keseriusan dan perhatian Huda. Menghitung pengorbanannya. Di mana lagi bisa ditemukan pria sebodoh Huda. Membuang-buang banyak waktu dan usaha hanya demi seorang gadis. Di mana ada pria bodoh sekaligus manis di saat bersamaan.
Huda tampan, kaya. Dia bisa mendapatkan gadis lain. Bisa mendapatkan yang lebih dari Balqis. Ia memiliki banyak peluang tapi hatinya tetap pada Balqis. Tetap bertahan menunggu.
Begitu Balqis memutuskan membuka hatinya dan mereka menikah, Zahra dan Nanda menjadi dua yang paling berbahagia. Kedua sahabat Balqis itu adalah saksi hidup mengenai perjuangan dan penantian Huda. Juga saksi hidup mengenai betapa keras hati Balqis diluluhkan.
Sekarang, sudah lebih dari empat tahun waktu berlalu.
Zahra dan Nanda berkemas dengan cepat. Mereka sudah terlalu lelah dan ingin secepatnya pulang ke rumah masing-masing. Merebahkan diri di kasur tercinta. Balqis ikut membantu dalam diam. Semua bekerja tanpa suara.
Begitu selesai dan turun, Huda sekali lagi menawarkan tempat untuk menginap. Sekali lagi juga Zahra dan Nanda menolak. Mereka benar-benar membutuhkan ranjang mereka sendiri.
Huda bergaul akrab dengan Zahra dan Nanda. Memperlakukan kedua sahabat istrinya dengan baik.
Huda dan Balqis mengantarkan kepergian keduanya sampai gerbang. Huda meminta sopirnya untuk mengantar Zahra dan Nanda sampai ke rumah masing-masing dengan selamat.
"Wah, terhormat sekali kita," ujar Zahra. "Padahal hanya teman yang setiap bertamu kerajaannya bikin rusuh."
"Bagian rusuhnya cuma buat kamu aja, ya," Nanda menimpali dengan cepat.
"Eh, yang semalam tidurnya mengorok keras sekali itu siapa?"
Nanda tampak terkejut. "Aku? Mengorok?" Nanda bertanya pada Balqis untuk memastikan.
Balqis menggeleng, Zahra tertawa puas. Nanda merengut. Lagi-lagi ia dikerjai.
"Aku, 'kan tanya siapa yang mengorok. Bukan bilang kamu yang mengorok," dalih Zahra.
Mereka tertawa lagi.
"Sudah, ah. Ayo kita pulang." Lagi-lagi Zahra berjalan lebih dulu dan menarik Nanda masuk ke dalam mobil. Kali ini yang Zahra tarik bukan gamis melainkan ransel yang menempel di punggung Nanda.
Benar-benar sesukanya.
Dari kaca mobil, terlihat Huda masih merangkul pinggang istrinya. Di mana pun berada, mereka memang selalu terlihat menempel seperti itu.