webnovel

Regret (Kriminal)

Setiap orang memiliki kisah yang belum terselesaikan. Tapi tidak semua dari kisah itu berujung penyesalan. -------------------------------- Seandainya aku tidak memilih dan menikah dengan pria lain apa tragedi ini akan terjadi? Seandainya aku tidak pindah ke kota ini, apa tragedi ini tepat akan terjadi?

NurNur · Horror
Not enough ratings
36 Chs

• Tiga Belas.

Begitu acara selesai, panitia langsung bersih-bersih, dan merapikan gedung acara kembali seperti sedia kala. Semua dekorasi dicopot, dan sampah dibuang pada tempatnya.

Para panitia bekerja dengan cepat dan saling membantu. Sebelum dibubarkan, Zahra mengevaluasi sedikit dan berterima kasih banyak pada semua orang.

"Balqis!" Panggil Zahra ketika mereka telah bersiap-siap pulang. "Ngeteh sebentar, yuk! Masih kuat?"

Balqis tidak langsung menjawab. Ia berpikir sesaat dan melihat jam di pergelangan tangannya. "Nanda?"

"Dia sih ikut kalau kamu ikut." Mata Zahra melirik ke arah Nanda yang berdiri tidak jauh dari mereka. Nanda sedang membahas sesuatu mengenai kemungkinan diadakannya reuni akbar. "Mau apa enggak? Kalau capek jangan dipaksa, lain kali juga enggak apa-apa."

Terdengar seperti Balqis tengah menggumamkan sesuatu. Sebelum Zahra kembali bertanya, Balqis mengangguk setuju. Zahra memberi kode 'oke' kepada Nanda yang kemudian segera bergabung dengan mereka.

Diskusi mengenai pemilihan tempat berlangsung dengan cepat. Setelah kesepakatan dibuat, ketiganya langsung meluncur.

Kafe yang dipilih adalah kafe simpang empat. Sekitar 2.500 meter dari tempat acara. Tempat yang penuh kenangan bagi ketiganya. Tempat yang lagi-lagi mengundang nostalgia.

Banyak yang telah berubah selama 8 tahun. Begitu juga kafe favorit mereka dulu. Desainnya diubah habis-habisan. Menunya juga semakin beragam. Kemungkinan target pasarnya juga berubah. Tidak hanya remaja, lebih luas, lebih umum.

Kafe didominasi warna merah. Langit-langitnya masih tinggi seperti dulu hanya lampu-lampunya yang dipasang lebih rendah. Ada rak-rak di dinding, juga pigura dengan beberapa lukisan abstrak.

"Hei!"

Seseorang menyapa ketika Balqis, Zahra, dan Nanda memasuki kafe. Mereka adalah Al dan teman-temannya. Jumlahnya 7 orang. Seperti yang Al sempat singgung. Putaran kedua, berkumpul di luar. Dari sekian banyak tempat, Zahra tidak menyangka mereka akan bertemu di kafe yang sama.

Balqis, Zahra, dan Nanda berbasa-basi 2-3 patah kata sebelum memisahkan diri.

Zahra memilih meja paling pojok. Menjauh dari keramaian. Mereka akan sangat membutuhkan privasi. Butuh ketenangan.

Nanda menyarankan mereka memesan salad karena tidak terlalu berat dikonsumsi. Untuk minuman, Nanda menganjurkan teh hangat dengan lemon, pepermin, atau madu. Khasiatnya dipercaya mengurangi rasa lelah. Cocok untuk kondisi mereka.

Balqis dan Zahra setuju dan mencoba apa yang Nanda rekomendasikan.

Ada keheningan yang cukup panjang setelah mereka menyerahkan daftar pesanan pada pramusaji. Zahra dan Nanda terus saling bertukar pandangan. Saling melotot satu sama lain. Tunjuk-menunjuk untuk memilih siapa yang harus membuka pembicaraan lebih dulu.

Ketika ketujuh pria yang berada di meja paling depan terbahak, Zahra dan Nanda sama-sama terkejut. Beberapa pengunjung lain juga sama. Mereka merasa terganggu.

"Berisik banget, sih!" sengit Zahra sinis.

"Biasanya juga kamu lebih parah," Nanda menimpali. "Mereka tujuh orang. Tapi suaramu sendiri kalau ketawa bisa kalah tuh yang tujuh orang."

"Tolong, ya." Zahra berubah sok anggun. Ia menyelipkan rambut ke belakang telinganya dengan gerak lambat yang elegan. "Tolong jangan sebut-sebut kelebihanku yang tanpa tanding itu di depan banyak orang."

Zahra menyilangkan kakinya yang panjang dan mengedipkan matanya dengan genit ke arah Nanda.

Nanda akan melempar Zahra dengan kotak tisu yang ada di depannya karena geli. Tapi belum apa-apa, Zahra sudah mengacungkan tinjunya. Sikap anggun dan elegannya hilang dalam sekedip mata.

Bagi Nanda, Zahra memang tidak akan pernah cocok menjadi wanita anggun. Apalagi elegan.

Melihat tingkah kedua temannya, Balqis tertawa. Keduanya memang selalu bisa mengundang gelak tawa. Zahra dan Nanda selalu berdebat dan lebih sering tidak sependapat dalam banyak hal. Anehnya, mereka bisa berteman dekat.

Setelahnya keadaan menjadi lebih cair.

Mereka memulai dengan bercerita seperti biasa. Meski sama-sama lelah, Zahra dan Nanda masih memiliki simpanan energi untuk berdebat, untuk saling memerangi satu sama lain. Seperti biasa, posisi Balqis adalah sebagai penengah.

Zahra dan Nanda saling bergantian menggunakan kalimat-kalimat halus. Memancing Balqis agar mau berbicara. Mengungkapkan apa yang sedang membebaninya. Berkali-kali mencoba, berkali-kali itu juga mereka gagal.

Sampai pesanan mereka datang, sampai makanan dan minuman tinggal setengah, pun sampai ketujuh pria itu membubarkan diri, tetap tidak ada yang keluar dari mulut Balqis mengenai masalah pribadinya. Ia terus-menerus bungkam.

Setiap orang memiliki privasi yang tidak ingin diganggu. Setiap orang memiliki satu atau dua hal yang tidak bisa dikatakan kepada orang lain. Meski itu terhadap teman yang paling dekat sekali pun. Bukan tidak percaya. Hanya saja, memang ada hal-hal yang ingin disimpan sendiri.

Zahra dan Nanda memutuskan untuk memberi Balqis waktu. Mereka tidak bisa memaksa, tidak mungkin ikut campur. Semua keputusan ada di tangan Balqis. Zahra dan Nanda sadar betul itu.

Balqis berbeda dengan Zahra yang blak-blakan atau Nanda suka lebih dulu cerita sebelum ditanya. Cara menghadapi sikapnya juga berbeda.

Akhir-akhir ini Balqis terkesan seperti membangun sebuah tembok yang teramat tinggi. Teramat kokoh. Yang Zahra khawatirkan, dengan tembok sekokoh dan setinggi itu, siapa yang mampu menolongnya jika sesuatu terjadi.

"Terima kasih, kalian teman-teman yang baik." Balqis menatap kedua temannya bergantian. Kata-katanya terdengar tulus, seolah menyimpan makna yang dalam.

Zahra tersedak, Nanda melotot tidak percaya dengan apa yang baru ia dengar.

"Balqis, kamu kenapa?" Nanda menatap Balqis lekat-lekat. Belum apa-apa, matanya sudah berkaca-kaca.

"Iya, kamu kenapa sih, bahasamu aneh tahu!" Zahra ikut menanggapi setelah ia selesai mengelap mulutnya yang belepotan. "Nih lihat, rambut-rambut tanganku sampai berdiri. Seram tahu!" Zahra menggulung lengan bajunya dan memamerkan rambut-rambut halus di tangannya.

"Aku? Aneh? Bukannya kalian yang aneh, dari tadi tatap-tatapan mulu sampai bola mata hampir copot." Balqis membalas. "Kenapa? Kalian sekarang main rahasia-rahasian?"

Balqis menatap dengan tatapan menyelidik. Siap menginterogasi siapa pun yang mencurigakan.

"Zahra!" Dengan cepat Nanda menunjuk sekutunya untuk melindungi dirinya. "Dia bilang sepertinya... dia suka Al." Sebuah kalimat meluncur dari mulut Nanda dengan cepat. Bahkan sebelum ia sempat berpikir dan mempertimbangkan akibatnya.

Zahra melotot ke arah Nanda. Bola matanya seperti akan melompat keluar di detik berikutnya.

Sebelumnya tidak ada persetujuan tentang hal ini. Tidak tentang Zahra menyukai Al. Tidak juga tentang namanya yang harus dijual.

Merasa kesal karena telah dikhianati, Zahra menginjak kaki Nanda. Ia tidak merasa harus memikul tanggung jawab sendiri. Sekarang, ia tidak memiliki persiapan apa pun untuk membalas Nanda. Untuk menanggapi omong kosong itu.

"Jadi?" Balqis bertanya entah pada siapa. Ekspresi Balqis sulit dikatakan. Entah marah, kecewa, senang, atau sengaja dipasang hanya untuk mengintimidasi.

"Bukannya tadi kamu bilang 'setiap orang punya kisah yang belum selesai. Jadi kamu kasih mereka kesempatan untuk mengobrol. Untuk menuntaskan rasa penasaran satu sama lain," Nanda berbicara lagi.

Bagus! Sekarang Nanda mencampur adukan kebohongan dan kebenaran. Membuat Zahra benar-benar terpojok. Tidak tahu bagaimana harus menjawab. Ia mengumpati kesialannya dan bersumpah akan membalas Nanda nanti. Menggelitikinya sampai terkencing-kencing.

Balqis menatap Zahra, menunggu penjelasan.

Zahra memutar-mutar bola matanya. Belum memutuskan harus bagaimana. Apakah ia harus menyangkal atau menerima saja. Semua pilihan seperti memakan buah Simalakama. Tidak ada yang menyenangkan. Tidak ada yang tidak memiliki risiko.

Masih belum bisa memutuskan, Zahra hanya menyengir lebar. Berharap pembahasan ini segera berakhir.

"Semalam kamu bahkan enggak tahu siapa yang namanya Rasyid Aldebaran. Tapi sekarang kamu bilang kamu suka?" Balqis bertanya lagi. Ia berada dalam kondisi menginterogasi.

"Bukan aku yang bilang, tapi dia," jawab Zahra dalam hati. Ia melirik ke arah Nanda.

Hening. Balqis sedang menunggu. Zahra pun menunggu.

Zahra berpikir Nanda akan mengambil alih menjawab segala pertanyaan yang Balqis ajukan padanya. Bukannya sudah dua kali Nanda berbicara atas namanya tanpa diminta. Menjadikannya sumber petaka. Sekarang, saat ia benar-benar butuh, kenapa suaranya sama sekali tidak terdengar.

Bibir Zahra mengatup rapat. Ia geregetan setengah mati. Di situasi seperti ini, ingin rasanya Zahra menendang Nanda sampai ke bulan. Bukannya membantu, Nanda justru berlagak penasaran. Memasang wajah polos. Ikut menunggu jawaban seperti Balqis.

"Itu..." Zahra memutar-mutar kedua telunjuknya. "Bukannya Al sekarang kelihatan lebih keren dibanding waktu sekolah?"

"Memangnya waktu sekolah kamu pernah perhatikan Al sampai bisa bilang sekarang dia lebih keren?" Balqis terus bertanya.

Nanda mengangguk, setuju dengan kalimat Balqis. Melihat tingkah Nanda, Zahra melotot lagi. Ia benar-benar tidak habis pikir. Sebenarnya, dengan siapa Nanda bersekutu.

"Tapi... bukannya di antara kita bertiga Zahra memang yang paling mudah suka sama cowok, ya." Nanda akhirnya kembali berbicara.

"Bukan aku, tapi kamu!" tepis Zahra cepat.

Sekarang Zahra tidak akan percaya lagi dengan kalimat apa pun yang Nanda ucapkan. Meskipun kalimat itu sungguh dapat membantunya.

"Aku enggak seperti kamu yang lihat orang di jalan sudah bisa bilang, 'itu tipeku' walaupun itu bapak-bapak," sindir Zahra.

Nanda membelalak, ingin mendebat. Hanya saja ia urungkan niatnya. Ia mengangkat kedua tangannya seolah berkata, 'oke, aku enggak akan ikut campur lagi. Atasi ini sendiri.'

"Sudah, sudah. Kalau belum mau cerita juga enggak apa-apa," kata Balqis akhirnya. Ia memilih mengalah.

"Bukannya belum mau cerita," sahut Zahra tanpa diperintah. "Kamu, 'kan tahu tipe cowok idealku seperti apa. Tinggi, keren, kuat. Karena Al polisi, sudah jelas dia kuat. Tapi karena aku belum tahu sifatnya seperti apa, ya… aku masih belum yakin."

"Oke, enggak apa-apa." Balqis mengangkat cangkirnya untuk kembali menyesap tehnya yang tinggal sedikit.

Zahra dan Nanda ikut mengangkat cangkir masing-masing. Zahra menghela nafas lega, siksaan telah berakhir.

Zahra mengangkat pandangnya dari cangkir. Tanpa sengaja ia melihat ekspresi mengulum senyum di wajah Balqis yang duduk di depannya.

Otak Zahra mulai menerka-nerka. Memikirkan ulang semuanya.

Bagaimana jika kebohongan mengenai suka pada Al sudah terendus sejak awal. Ia dan Nanda terlalu sering bertukar pandangan. Bagaimana jika Balqis menangkap basah tatapan mereka. Nanda juga terlalu aktif menjawab, padahal kecerewetan dan sifat blak-blakan adalah hakiki milik Zahra. Bagaimana bisa Balqis tidak curiga. Bagaimana mungkin Balqis bisa terperdaya.

Benar. Balqis yang cerdas tidak mungkin terperdaya dan tidak tahu apa-apa. Zahra tersenyum sendiri. Merasa lucu dengan dirinya yang sudah berhasil dikerjai habis-habisan oleh Balqis.

"Balqis."

"Hm?"

Zahra menatap kedua bola mata Balqis yang bening. Duka yang sebelumnya terlihat di sana sedikit terobati. Rahasia yang tersimpan di sana akan tetap menjadi rahasia. Misinya dan Nanda untuk mencari tahu kegundahan hati Balqis berakhir gagal. Gagal total.

"Apa?" tanya Balqis karena Zahra tidak juga bicara.

Zahra menggeleng. Ia akan memberi waktu Balqis sedikit lagi. Membiarkannya berpikir.

Ketiganya menghabiskan sisa pesanan mereka sampai tidak ada lagi yang tampak selain noda. Selanjutnya pulang ke rumah Balqis untuk berkemas. Hari yang panjang ini akan segera berakhir. Yang tersisa selanjutnya hanya perasaan lelah.