Al bisa sampai di tempat Zeroun tinggal, dengan mengikuti petunjuk yang Kapten Lukman berikan. Ia telah berdiri di depan pintu rumah sejak lima menit lalu. Hanya diam saja. Berdiri. Tidak mengetuk pintu atau menekan bel. Al masih berpikir bagaimana akan menyampaikan maksud kedatangannya. Apa akan disambut atau diusir. Atau kemana akan mencari tuan rumah jika sedang bepergian.
Setelah selesai memilih kata dan tahu apa yang harus dilakukan jika penghuninya tidak ada, Al hendak menekan bel. Baru mengangkat tangannya, seorang wanita membuka pintu.
"Eh, maaf. Sepertinya saya salah alamat," Al berkata cepat.
Nomor rumah yang ada terletak di samping bel Al periksa lagi. Ia cocokkan dalam pesan yang dikirimkan padanya. Tidak salah. Benar rumah Zeroun Alvaro.
"Tapi enggak salah." Al menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. 'Apa pacar Zeroun?' tambahnya bertanya dalam hati. Kata-kata Adam kembali terngiang.
Tunggu!
Lekat-lekat Al memerhatikan wanita yang ada di depannya. Wajahnya tidak asing. Seorang wanita berkerudung, tinggi, ramping. Bentuk wajahnya yang mungil membuatnya terlihat awet muda.
"Siapa Bunda?" Seorang gadis kecil muncul.
'Bunda? Janda? Istri orang?' Al bertanya-tanya dalam hati.
Wanita itu mengerutkan keningnya. Seperti Al, ia juga sedang mengingat-ingat. "Al? Iya, 'kan?!" serunya akhirnya ingat.
Ah! Al ingat sekarang. Bocah perempuan yang berdiri di samping ibunya sangat mirip dengan seseorang. Kapten Lukman.
Tunggu! Jadi apa maksudnya ini?!
Al mencoba tersenyum tapi wajahnya terasa kaku. Pikirannya masih ke mana-mana. Dipikirkan berkali-kali tetap saja tidak terasa benar. Sudah berapa lama? Apa Kapten Lukman tahu? Al merasa tidak berdaya menghadapi kenyataan yang ada di kepalanya.
"Cari yang punya rumah? Ada tuh di dalam," kata si wanita sembari membuka lebar pintu. "Masuk, aja! Kebetulan saya sudah mau pulang."
Dari tempat Al berdiri, ia bisa melihat Zeroun sedang merapikan pakaian anak laki-laki yang usianya sama dengan yang perempuan. Bocah laki-laki itu benar-benar terlihat mirip dengan Kapten Lukman.
Melihat Zeroun yang biasanya dingin dan bermulut pedas, bisa begitu akrab dengan anak kecil membuat Al terkejut. Ia tidak menduga. Al menatap wanita di depannya dan Zeroun berulang kali. Berpikir keras.
Benarkah cinta bisa mengubah es yang dingin menjadi hangat tanpa ada yang terbakar?
'Kenapa dua orang yang sedang tertangkap basah enggak merasa panik sama sekali?' Al membatin. 'Apa mereka sama sekali enggak merasa bersalah?' Wajah Al lesu, sedih.
Istri Kapten Lukman mengemasi barang-barang anak-anaknya. Si bocah laki-laki berlari ke arah ibunya. Membatu berkemas dengan asal. Mereka bersiap pulang.
"Dadah, Al!"
Al hendak balik melambai ketika namanya disebut. Anehnya si kembar justru melambai ke arah Zeroun, bukan dirinya.
Zeroun balas melambaikan tangannya. Kedua bocah digandeng ibunya sampai mereka masuk ke dalam mobil.
Zeroun masuk ke dalam rumah lebih dulu. Al, meski tidak dipersilakan, membuntut di belakang. Ia masih terkejut. Masih tidak percaya. Dari ujung rambut sampai ujung kaki ditatapnya Zeroun lekat-lekat. Seolah dari sana Al bisa menemukan alasan Zeroun melakukannya.
"Kenapa?" Zeroun yang merasa risi bertanya. Berusaha mengartikan makna tatapan Al.
Zeroun sedang merapikan ruang tamu. Ia mengembalikan bantal sofa yang tergeletak di lantai. Mengemasi buku dan kertas berisi coretan yang berserakan.
Al tidak menjawab. Bingung.
"Jangan-jangan kamu berpikir..." Zeroun kembali berbicara. Ia menahan kalimatnya.
Al berusaha tidak berekspresi. Bahkan menahan nafasnya. Zeroun berhenti sesaat dari kesibukannya. Menatap Al. Menerka-nerka apa yang tengah dipikirkan tamunya. Al cepat-cepat mengalihkan pandangnya. Al tahu Zeroun bisa membaca isi pikirannya.
"Benar-benar mudah ditebak." Zeroun menghela nafas. "Apa kamu pikir saya gila, berselingkuh dengan kakak ipar sepupu sendiri!" Zeroun menggeleng. Tidak percaya Al benar-benar berpikir sesesat itu.
"Kakak sepupu? Siapa? Kapten Lukman?"
Zeroun tidak menanggapi. Ia menggeleng sekali lagi. Zeroun melanjutkan pekerjaannya. Menyimpan buku anak dan mainan yang berhambur ke dalam sebuah lemari.
"Ya mana saya tahu Anda dan Kapten Lukman sepupu," kilah Al.
"Memang kalau bukan sepupu, saya tetap akan berhubungan dengan istri orang?!" tandas Zeroun masih tidak habis pikir dengan logika Al.
Al tidak menjawab.
"Perlu apa ke sini?" Zeroun beralih pada maksud kedatangan Al. Tidak ingin memperpanjang pembahasan yang tidak masuk akal.
Sebelum menekan bel Al telah menyusun kalimat yang harus diucapkan. Sebelumnya ia tahu harus menjawab apa. Sebelumnya. Sebelum Al melihat istri Kapten Lukman di pintu. Sebelum pikirannya kacau karena salah paham.
"Hmm..." Al mengingat-ingat kalimat yang sudah ia rangkai "...konsultasi?" jawabnya akhirnya. Hanya bisa menemukan kata itu dalam ingatannya.
Rumah telah rapi. Al duduk dengan nyaman di atas sofa. Lega prasangkanya hanya salah paham. Sebelumnya Al justru menduga Kapten Lukman sengaja mengirimnya untuk menangkap basah perselingkuhan di belakangnya. Untuk menjadikannya saksi.
Tunggu! Berarti Kapten Lukman sebenarnya tahu alasan Zeroun mengambil libur?
"Siapa yang menyuruhmu duduk? Bangun!" titah Zeroun.
Al terkejut. Zeroun memelototi Al dan menggerakkan kepalanya sebagai isyarat ke luar.
Diusir?
Otak Al berpikir keras. Berusaha menemukan cara untuk bisa membujuk Zeroun. Berusaha agar kedatangannya tidak sia-sia. Tapi, melihat Zeroun mengambil sweter yang digantung, Al sadar ia salah paham untuk yang kedua kalinya. Ia tidak diusir.
"Dadah, Al!" Al menirukan suara bocah yang baru saja pergi dengan ibunya. "Ternyata itu alasan Anda enggak mau memanggil saya dengan nama Al. Karena di rumah Anda juga dipanggil Al, Alvaro."
"Tentu saja. Terasa aneh memanggil orang lain dengan nama panggilanmu sendiri," ujar Zeroun.
"Tidak juga."
"Itu pendapatmu!" balas Zeroun cepat.
Keduanya meninggalkan rumah dengan berjalan kaki. Al tidak tahu ke mana mereka akan pergi. Kakinya hanya berjalan membuntuti langkah Zeroun.
"Jadi selain menjadi petugas forensik, Anda juga memiliki kerja sambilan sebagai pengasuh anak?" goda Al. Tatapannya lurus pada jalan. Ia tidak berani menoleh pada Zeroun karena tahu pria itu pasti sedang mengeluarkan jurus lirikan mematikan saat ini.
"Bacakan saja informasi yang sudah kalian kumpulkan!" kata Zeroun tak acuh.
Benar. Ia datang untuk konsultasi kasus. Al merogoh ranselnya untuk mengambil kertas laporan dan catatan yang sudah ia persiapkan.
"Oh ya, omong-omong kita mau ke mana?" Al bertanya setelah mendapatkan laporannya.
Sekali lagi, Zeroun menggunakan isyarat dengan gerakan kepalanya untuk menjawab. Sebuah bangunan berdiri megah di seberang jalan. Jaraknya tidak jauh dari kompleks tempat Zeroun tinggal.
Kendaraan cukup padat berlalu lalang. Al dan Zeroun menunggu cukup lama untuk bisa menyeberang. Beberapa kali melihat ada kesempatan, Al hendak melangkah lebih dulu tapi beberapa kali itu juga ia urungkan langkahnya. Al melihat Zeroun hanya diam saja. Kaki Zeroun benar-benar rapat berpijak pada trotoar. Satu orang yang terakhir datang bahkan sudah menyeberang sejak tadi.
"Ketakutan yang masuk akal!" Al berujar. Baru mengerti.
Ketakutan yang masuk akal, Zeroun pernah menyebut dua di antaranya. Takut tertabrak dan takut tertembak. Ketika itu Zeroun sedang membahas ketakutan Al yang menurutnya tidak masuk akal.
Tanpa bertanya, Al menarik Zeroun. Membantunya menyeberang. Ia menarik seperti menarik seorang anak yang tidak tahu cara menyeberang. Mereka juga berlari pelan saat beberapa kendaraan semakin mendekat.
Sampai di seberang, Al melepaskan tangan Zeroun. Al mengangkat kedua tangan dan bahunya bersamaan. Bertingkah sok keren. Menganggap remeh ketakutan yang Zeroun anggap masuk akal, sama seperti ketika Zeroun menganggap remeh ketakutan Al.
Di dalam supermarket, keduanya berjalan mengelilingi setiap rak. Al bertugas mendorong kereta belanja sembari membacakan informasi dalam catatannya. Dalam menyebutkan nama, Al menggunakan inisial. Di beberapa bagian yang sensitif, ia juga akan mengecilkan suaranya. Berbisik-bisik.
Sepintas Zeroun yang sedang memilih-milih tidak terlihat peduli. Ia mengingat daftar belanjaannya dan mengambil barang yang dibutuhkan. Meski seperti itu, Al tahu Zeroun tetap menangkap setiap kata yang diucapkannya. Bahkan telah menggaris bawahi bagian terpentingnya.
Langkah Zeroun berhenti ketika seorang anak menjatuhkan botol minuman. Penutup botol terbuka, membuat airnya tumpah, dan membasahi lantai. Ibu yang awalnya berjalan di belakang, mendatangi dengan cepat. Mengomeli anaknya. Ibu juga meminta maaf pada pegawai jaga yang ditemuinya.
Tanpa pemberitahuan, Zeroun memutar haluan. Ada sesuatu yang melintas dalam otaknya. Al yang berjalan di depan, masih serius membaca. Ia tidak sadar Zeroun telah pergi. Al baru tahu ketika semua laporan telah selesai dibacanya dan bertanya mengenai pendapat Zeroun. Ia berbalik tapi yang ditanya justru tidak ditemukan di mana pun.
"Kita tadi sudah dari sini, 'kan? Ada barang yang lupa diambil?" Al menemukan Zeroun di antara rak pecah belah.
Tanpa aba-aba, Zeroun melemparkan sebuah gelas kaca ke arah Al.
Dengan cepat Al menjatuhkan semua catatannya ke dalam keranjang dan menangkap dengan kedua tangannya gelas yang Zeroun lempar.
'Memecahkan berarti membeli,' tertulis di mana-mana, dan Al tidak tertarik membeli barang pecah.
"Tertarik untuk melakukan percobaan?" Zeroun mengambil lagi satu gelas kaca untuknya.
Al menaikkan sebelah alisnya. Ia berusaha mengerti tapi tetap tidak mengerti.