"Kenapa baru sekarang Mbak memutuskan mengakui kejahatan Mbak?" Seorang wartawan menodongkan mik ke arah Nurul. Ada borgol yang membelenggu tangannya.
Nurul mengalihkan pandangnya perlahan pada yang bertanya.
"Yang jahat adalah Azhar Huda Pradipto. Meski orang-orang tahu dia pelaku kekerasan, tapi dia masih dipuja banyak orang. Sementara Ibu, yang menderita bertahun-tahun karena kekerasan, terus disudutkan. Apa itu adil?" Nurul menatap marah pada wartawan yang bertanya seolah dia adalah salah satu dari orang-orang yang menyudutkan nyonyanya.
Berita mengenai pelaku pembunuhan Azhar Huda yang baru dirilis, telah disiarkan ke seluruh penjuru Negeri. Zeroun sama sekali tidak memprediksi situasinya meski ia bisa dengan jelas menangkap ketulusan Nurul yang menghargai semua hal yang telah Balqis lakukan untuknya.
Dari sekian prediksinya, Zeroun tidak pernah berpikir Nurul akan menyerahkan diri. Zeroun telah lewatkan beberapa hal penting.
Sebelumnya...
Setelah selesai berbelanja, Al dan Zeroun kembali ke TKP. Mereka membawa dua buah gelas kaca yang Zeroun beli.
Menurut keterangan Nurul, ia mendengar sesuatu pecah setelah Balqis meninggalkan kamar. Keterangan yang kemudian dijadikan sebagai patokan waktu kematian korban. Keterangan itulah yang tengah coba Zeroun patahkan.
Begitu sampai di lantai dua, Al dan Zeroun berpisah. Zeroun masuk ke TKP, sementara Al ke ruang kerja yang berada tepat di sebelah. Keduanya tetap berhubungan melalui ponsel untuk saling membagi informasi.
Tugas dibagi dua. Zeroun yang membawa dua gelas bertugas memecahkan. Sementara Al yang berada di ruang kerja sebagai pendengar.
Setelah uji coba selesai, keduanya bertemu di TKP.
"Jadi?" tanya Zeroun meminta kesimpulan.
Pandangan Al yang baru masuk langsung teralihkan pada lantai yang dipenuhi pecahan gelas kaca yang berserakan. Pertanyaan Zeroun menyadarkannya untuk segera menyetorkan hasil percobaan mereka.
"Saya hanya samar-samar mendengar pecahan yang kedua," jawab Al. Ia bertanya-tanya mengenai hal itu. Kenapa hanya satu yang terdengar.
"Lihat!" Zeroun menunjuk lantai yang berada di bawah kakinya. Kemudian menunjuk lagi ke lantai dua langkah dari tempatnya berdiri. "Itu pecahan gelas pertama, dan ini pecahan yang kedua. Tahu di mana letak perbedaannya?" Zeroun mengajukan pertanyaan.
Al berpikir dan memerhatikan dengan teliti. Setelah cukup, ia mengangguk mengerti.
"Penyebaran daerah pecahannya. Gelas pertama daerah pecahannya lebih sempit dibanding gelas kedua. Biasanya terjadi kalau entakan ke lantai dilakukan dengan kekuatan yang berbeda. Kemungkinan gelas pertama hanya dijatuhkan begitu saja. Sementara gelas kedua dilempar dengan tenaga penuh," analisa Al.
Zeroun mengangguk. Senyum Al merekah bangga. Ia merasa seperti baru saja mendapat nilai A+ untuk ujiannya.
"Dinding-dinding bagian luar rumah sengaja dibuat kedap suara. Berbeda dengan bagian dalamnya. Tapi sewaktu olah TKP, saya perhatikan dinding ruang kerja dibuat lebih tebal dibanding dinding-dinding lain bagian dalam. Biasanya terjadi saat seseorang ingin menemukan ketenangan ketika bekerja di rumah." Zeroun menjelaskan.
Al menyimak. Ia menyentuh dinding dan mengetuk-ngetuk bagiannya untuk membandingkan.
"Pecahan gelas pertama lebih mirip dengan pecahan botol kaca yang Nurul dengar. Daerah pecahannya tidak berpencar terlalu jauh," jelas Zeroun lagi. "Karena keterangannya mengenai suara yang didengar sudah tidak bisa dipercaya, artinya patokan waktu kematian korban juga tidak bisa lagi dipercaya."
"Wah! Saya pikir selama ini Anda hanya sibuk mencurigai Balqis. Ternyata Anda benar-benar menempatkan keempatnya pada posisi yang sama." Al mengacungkan jempolnya ke arah Zeroun. Merasa kagum.
Zeroun tidak menanggapi. Alih-alih merasa tersipu atau bangga, Zeroun bertingkah tak acuh. Selalu.
Seseorang mengetuk pintu dan segera masuk ketika Zeroun menyahut. Bu Ruri.
Bu Ruri datang dengan membawa sapu dan sekop sampah untuk membersihkan kekacauan yang keduanya perbuat. Sesuai instruksi Zeroun. Datang setelah 15 menit.
"Tangan Anda berdarah." Al melihat sayatan merah di ujung telapak tangan Zeroun.
Tidak sadar tangannya terluka, Zeroun membuka telapaknya dan memerhatikan. Al benar. Ada luka kecil. Jelas terkena pecahan kaca yang terpental.
"Bu Ruri apa ada kotak..."
"Tidak perlu!" Zeroun memotong kalimat Al.
Zeroun mencuci lukanya di wastafel untuk menghilangkan noda darahnya. Ia kemudian mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Salah satu barang yang juga dibelinya beberapa saat yang lalu. Plester luka.
"Wah!" Kali ini Al mengacungkan kedua jempolnya. "Anda bahkan sudah memprediksi kalau Anda akan terluka karena pecahan kaca," tambah Al. Ia membantu Zeroun merobekkan pembungkus plester dan menempelkannya di telapak Zeroun.
"Tentu saja. Semua orang juga tahu sesuatu yang dientakkan dengan kuat, pecahannya bisa terpental ke mana-mana, bisa melukai," jawab Zeroun angkuh. "Ah, tapi mungkin hanya kamu yang tidak tahu," ralat Zeroun cepat.
Kalimat terakhir membuat Al menyesal telah memuji pria itu. Tapi Al tiba-tiba teringat sesuatu.
Sebelum memutuskan siapa yang menjadi pemecah gelas dan siapa yang menjadi pendengar, mereka sempat berdebat. Zeroun bersikeras memilih untuk menjadi yang memecahkan gelas.
Kali ini Al benar-benar merasa kagum. Meski kata-katanya terkadang pedas, Zeroun ternyata pria yang baik. Meski menyebalkan, ia tetap bisa diandalkan.
"Senyummu terlihat menjijikkan," celetuk Zeroun.
Wajah Al memerah kesal. Sepertinya Zeroun benar-benar tipe yang tidak bisa dipuji. Meskipun pujian itu dilakukan di dalam hati.
Sepertinya Al harus menarik lagi rasa kagumnya.
"Saya juga masih normal," tukas Al. "Sudah ada orang yang saya suka."
"Satu ruangan juga tahu itu," Zeroun bergumam. "Oh iya, sepertinya Nurul tidak di rumah. Ibu tahu dia ke mana?" Zeroun beralih pada Bu Ruri yang masih menyapu.
"Enggak, Pak."
"Apa selama beberapa hari ini Nurul sering pergi ke luar?" Kali ini Al yang bertanya.
"Enggak, Pak. Baru hari ini."
Jawaban Bu Ruri bertepatan dengan datangnya suara orang yang memberi salam dari lantai bawah. Karena semua pintu terbuka, mereka bisa dengan jelas mendengar suara Nurul.
Selesai membersihkan pecahan gelas, ketiganya turun. Mereka mendatangi Nurul yang sedang memandang kosong ponselnya. Ia duduk tanpa tenaga di ruang makan. Ekspresinya terlihat begitu lelah dan penuh duka. Melihat kedatangan Al dan Zeroun, spontan Nurul berdiri.
"Mbak Nurul bisa minta waktunya sebentar?" Al mengambil alih berbicara dengan Nurul.
Tidak ada alasan bagi Nurul untuk menolak. Ia mengangguk setuju. Al mempersilakan Nurul kembali duduk.
Al sendiri menarik sebuah kursi untuk ia duduki. Sementara Zeroun duduk di belakang. Tidak jauh dari tempat Al dan Nurul. Bu Ruri berjalan terus. Tidak memiliki rencana untuk ikut bergabung.
"Kami baru saja melakukan percobaan sesuai keterangan yang Anda berikan." Al memulai. "Anda mengatakan mendengar sesuatu pecah dari ruang sebelah. Menurut percobaan, Anda harusnya tidak bisa mendengar pecahan botol sabun dari ruang kerja. Kami mencurigai Anda membuat keterangan palsu," jelas Al.
"Artinya," Zeroun menambahkan dari tempat duduknya. "Anda tidak berada di ruang kerja saat botol pecah. Dugaan saya, Anda berada di TKP. Dugaan saya selanjutnya, Anda sendirilah yang memecahkan botol kaca."
Al menatap Zeroun, kemudian kembali menatap Nurul dan mengangguk. Lekat-lekat Al memerhatikan wajah Nurul. Bertanya-tanya reaksi apa lagi yang akan muncul di balik wajah lugu itu. Kebohongan macam apa yang akan ia diucapkan setelah kebohongan pertamanya terbongkar.
"Mungkin sebelumnya saat bersih-bersih di ruang kerja, Anda pernah mendengar Huda memecahkan botol sabun saat marah. Anda menggunakan keterangan itu untuk membuat alibi," kata Zeroun lagi. "Tapi Anda salah memperkirakan. Karena suara yang akan dihasilkan menjadi berbeda jika kekuatan yang digunakan untuk memecahkan botol berbeda."
Nurul menundukkan wajahnya. Bola matanya bergerak ke sana-kemari. Tangan kanannya meremas jari kirinya. Jelas sekali ia merasa cemas. Tidak aman. Jika kebohongannya telah terbongkar, ia harus siap menerima konsekuensinya.
"Saya..." Nurul mengangkat wajahnya "Saya menyerahkan diri. Saya mengakui kalau saya yang telah membunuh Pak Huda." Nurul berkata tanpa keraguan sedikit pun.
Tidak ada pembelaan diri. Tidak ada kebohongan lain untuk menutupi kebohongan pertamanya.
Nurul akhirnya mengaku. Akhirnya menyerahkan diri. Harusnya Al senang. Merasa lega. Tapi ada yang tidak benar. Al sama sekali tidak mengerti. Ia kembali menatap Zeroun.
Zeroun menatap Nurul. Sama sekali tidak berkedip, juga tidak mengalihkan perhatiannya. Ia sedang mencoba mengerti sesuatu. Sedang mencari-cari entah apa. Sekilas Zeroun terlihat tenang. Tapi tidak sepenuhnya tenang. Kulit di bawah alisnya tertarik tanda ia juga terkejut. Ia hanya berusaha membuat dirinya tenang. Berusaha menyusun kembali puzzle yang berantakan.
Dan, di sini-lah keduanya berada. Di ruang rapat bersama Kapten Lukman dan anggota tim satu yang lain.
Setelah menanggalkan kemeja putih, celana kain formal, serta pantofel mengkilapnya, aura Zeroun terasa berbeda. Kesan orang yang melihatnya berubah total.
Wajahnya masih sama. Kebiasaan memasukkan telapak tangannya ke dalam saku juga sama. Rambutnya masih disisir rapi belah samping. Kerutan juga masih muncul di antara alisnya ketika berpikir. Hanya pakaian yang berbeda. Kaus putih polos dilapisi sweter abu-abu dan joger. Juga sandal sebagai alas kakinya. Tapi kesan berbeda yang ditampilkannya cukup banyak.
"Saya sarankan agar ke mana pun Nurul pergi seharian ini, diperiksa. Siapa yang ditemui dan apa yang dilakukannya di luar." Zeroun berkata pada Kapten Lukman. Seperti biasa, nadanya lebih terdengar seolah sedang memberi perintah alih-alih sebuah saran.
Semua anggota tim saling melempar pandangan. Mereka kemudian sama-sama menatap Kapten Lukman. Menunggu aba-aba dan instruksi. Keputusan terakhir masih ada padanya. Begitu Kapten mengangguk, Al, Adam, dan Irawan beranjak dari tempat mereka.
Di antara semua orang, hanya Dio yang tidak lantas bergegas. Ia sibuk menatap Zeroun. Sibuk berbicara dengan dirinya sendiri. Sibuk menilai penampilannya, mengomentari sifatnya.
"Hei, ayo!" Adam memukul kursi yang Dio duduki.
"Masih seenaknya. Tukang perintah. Masih Zeroun yang sama walau dibungkus dalam kemasan yang berbeda." Dio berkata nyaris tanpa suara. Ia beranjak dari duduknya dengan malas dan bergegas menyusul ketiga rekannya.
Zeroun menatap Dio ketika pria itu meninggalkan ruangan. Sebelah alisnya terangkat.
Al, Adam, dan Dio, ketiganya berpencar untuk mencari informasi. Irawan tinggal dalam ruang interogasi untuk mengumpulkan pernyataan Nurul. Menurut pengakuannya, ia membunuh Huda ketika Balqis telah meninggalkan kamar.
Benar dugaan Zeroun bahwa Nurul sendirilah yang memecahkan botol kaca yang berisi sabun tanpa sengaja. Nurul menceritakan semua. Tentang keputusannya dan semua yang sudah ia rencanakan.
Di waktu kurang lebih 4 jam di luar rumah, tidak banyak tempat yang Nurul datangi. Ia hanya duduk merenung di taman kota, berjalan-jalan sebentar, dan menelepon. Nurul tidak mendatangi atau bertemu siapa pun. Al sendiri telah memeriksa daftar panggilan masuk dan keluar dari ponsel Nurul. Hanya ada satu panggilan keluar yang ditujukan untuk ibunya.
Kesimpulanya, Nurul memang telah mempersiapkan untuk menyerahkan diri. Telepon yang ditujukan ke ibunya berisi permintaan maafnya dan memohon untuk dimengerti. Nurul juga telah mentransfer semua tabungan yang dimilikinya.
Apa yang Zeroun coba buktikan tetap tidak terbukti.
Seluruh anggota tim satu pulang larut. Setelah sampai di rumah mereka memilih langsung istirahat. Lelah secara fisik dan pikiran.