Pertemuan kembali setelah sekian tahun berpisah tanpa berkabar. Hideaki membatalkan niatnya memukul gadis itu setelah kedatangan Ignas. Kepalan tangannya terhenti tepat sejengkal dari tatapan Skye. Tak menyangka bakal bertemu teman lamanya, teman masa kecil yang telah lama berpisah.
"Kau kembali ke kota ini." Ucap Hideaki, "Apa kabar?" Imbuhnya.
"Harusnya aku yang mengatakan itu. Aku baik-baik saja," Skye mencoba bergegas kabur, tapi Ignas menahan pundaknya, "aku kembali ke kota Arcmont ini untuk bertemu ayah angkatku. Sudah hampir lima tahun aku meninggalkannya karena pekerjaan. Sekarang yang terpenting, kita harus selesaikan perkelahian ini dahulu."
Skye sekuat tenaga melepaskan cengkraman Ignas, sedangkan Hideaki membereskan para pemalak yang telah tersungkur. Pria berotot itu mengangkat tubuh-tubuh para pemalak dan menjejerkannya di dinding gang, dalam posisi duduk. Ketiga dari mereka masih belum sadarkan diri. Ia kemudian menelepon pihak kepolisian agar segera mengangkut mereka kembali ke sel tahanan.
Sementara itu Skye, ia masih bergulat dengan cengkraman Ignas ketika pria itu menyeretnya masuk ke dalam gang. "Lepaskan aku! Beraninya kau sama anak kecil!" Perkataan yang sama seperti yang diucapkan Hideaki. Tubuhnya yang kecil membuatnya tak berdaya, hampir saja ia tak bisa lolos sebelum ia menciptakan sekali lagi robot mainannya.
"Ini yang terakhir, ya! Sepertinya kalian belum puas melihat keajaiban mainanku." Memutar-mutar kunci nepelnya, tercipta robot raksasa berfitur wajah mirip Hideaki. Sebuah robot petinju memulai kuda-kudanya. Pukulan pertama robot petinju hampir mengenai muka Ignas, untungnya ia sempat memalingkan kepalanya, menghindari pukulan itu tetapi tanpa sengaja ia melepaskan Skye yang hampir tidak berkutik. Pukulan balasan dari Ignas, suara nyaring besi berdengung ketika pukulannya menghantam robot itu. Pangkal-pangkal jarinya memar kemerahan. Sambaran uppercut menghantam dagu Ignas, membuatnya kehilangan keseimbangan. Tenaga robot itu sebelas dua belas dengan tenaga Hideaki, sepertinya Skye dapat menciptakan apapun dari apa yang pernah ia lihat.
Hideaki mondar-mandir menelepon pihak kepolisian di depan gang yang tak kunjung datang. Ini telepon kesebelas kalinya dan belum ada yang mengangkat. Tak menghiraukan temannya yang sedikit lagi dipenuhi babak belur. "Apa-apaan ini? Apa mereka benar-benar tak peduli? Apa aku harus secara langsung laporan ke kantor mereka?" Ia marah-marah.
Ignas sudah di penghujung tenaganya, kakinya tak kuat lagi berdiri. Pukulan demi pukulan mendarat seratus persen di sekujur tubuhnya. Skye tampak sangat menikmatinya, ia melihat ini sebagai kesempatan untuk kabur dari masalah yang ia buat, dan itu berhasil. Gadis itu tiba-tiba hilang entah kemana.
Meski begitu, robot petinju itu masih dapat bergerak. Ignas yang memaksa dirinya berdiri dihujam kembali dengan sepakan lutut besi. Muntah darah tak terelakkan. Sekarang ia benar-benar tak bisa bangkit lagi. Pandangannya kian kabur, hanya bisa merangkak terseret-seret menjauh dari robot itu, menuju ujung lain dari gang yang berlubang karena laser tadinya.
Di depan matanya ia melihat kenangan masa lalunya, sekotak kartu remi terselubung debu kotoran. Ia coba menggapainya. Uhuk, batuknya menyemburkan darah ke arah kotak kartu ketika ia sedang membukanya. "Hide.. aki... tidak.." ia urungkan niatnya meminta tolong. Kartu di genggamannya bersinar, menunjukkan kartu joker merah ketika ia membalik tumpukan teratasnya. Kartu itu entah bagaimana berubah bentuk menjadi pistol, Ignas pikir itu halusinasinya dampak dari kondisi ia saat ini.
Hideaki terkejut hebat mendengar letupan senjata api dari balik arahnya. Ia menyaksikan kepala robot petinju itu hancur, bersamaan ia baru tahu kalau temannya sedang bertarung seorang diri.
Ignas yang menembakkan pistol ikut terkejut, mengira itu hanya halusinasinya saja. Tak menyangka pistol itu nyata dan berhasil menghentikan pergerakan robot petinju.
"Kau tak apa, Ignas? Maafkan aku!" Hideaki membopong temannya yang tak jadi pingsan karena keterkejutannya sendiri. ,"Kartu ini... menyelamatkanku."
Tak lama kemudian, pihak kepolisian mengamankan ketiga tahanan yang kabur itu. Mereka bertiga dibawa menggunakan tiga mobil yang berbeda karena mobil khusus untuk membawa mereka jumlahnya terbatas, semuanya digunakan. "Terimakasih telah membantu kami menangkap para tahanan ini. Lain kali tolong jangan main hakim sendiri." Polisi itu berterima kasih kepada Hideaki dan Ignas. Hari mulai senja, ia membawa temannya menuju mansion tempat Ignas dulu tinggal menggunakan motor skuternya.
"Aku lemah, aku lemah, aku masih lemah." Perkataan yang terus berulang di kepalanya dalam perjalanan. Menyadari bahwa ia tak punya kekuatan selain keberaniannya. Serta Avatar yang hanya memiliki kemampuan yang menurutnya tidak berguna. Membandingkan dirinya dengan Hideaki, teman masa kecilnya yang sekarang memiliki tenaga super. Ia yang mampu melindungi dirinya sendiri dari bahaya yang mengintai.
"Tapi, itu tadi apa? Bagaimana bisa? Kartu itu, pistol itu? Kenapa aku membukanya? Apakah karena instingku?"
Pertanyaan silih berdatangan di otaknya, masih belum memahami akan kartu joker yang ia ambil, hingga menuju keesokan harinya.
Ignas terbangun di kamar lama. Suasananya sama persis seperti masa kecilnya. Tak ada satu benda pun di kamarnya yang berubah letak. Langit-langit berhias ornamen era renaisans, perabotan kayu berukiran gaya art deco yang menimbulkan aroma khasnya, menunjukkan tingkatnya pada piramida sosial. Ia sendirian di kamar itu, benar-benar tak ada siapapun yang menjaganya. Ketika ingin beranjak dari kasurnya, ia mendapati sekujur tubuhnya telah diperban rapi. Luka-luka dan memarnya telah dirawat dengan cairan antiseptik, semata-mata agar tidak terjadi infeksi. Ia pun berjalan langkah demi langkah menuju ke luar kamar, berpegangan dinding sekitarnya.
Pagi itu, ayahnya masih duduk di sofa merah yang sama. Menikmati secangkir teh berwarna coklat keemasan yang aromanya memenuhi ruang tengah tempat ia membaca kabar terkini dari koran harian Today's Arc. "Hari ini tidak ada tamu?" Tanya Ignas mengintip dari lorong utama. "Mereka kemari di sore hari, seperti biasanya," melirik ke arah Ignas, anak angkatnya yang baru saja kembali. "Hal apa saja yang kau lupakan selama lima tahun tidak pulang?" Sindirnya bercanda. Pria itu kini telah berusia sekitar 70 tahun, rambutnya telah berubah putih. Begitu pula muka tegasnya kini dipenuhi kerutan yang menggaris tajam.
Ignas berjalan tertatih menuju sofa ayahnya. "Bagaimana pekerjaanmu?" Tanya Gallan, ayah Ignas. "Semua berjalan lancar," ia menghela nafas, "Aku mendengar kabar tentang beberapa kasus yang melibatkan Avatar, dan aku juga baru saja menginterogasi salah seorang yang terlibat."
"Jadi itu yang membuatmu babak belur seperti ini?" Tanyanya penasaran.
"Tidak, luka ini aku peroleh dari perkelahian dengan orang-orang jalanan." Ignas memegangi perutnya yang sesekali terasa perih.
Gallan melipat dan menaruh koran yang ia baca di samping alas cangkirnya, "Avatar juga?"
"I-iya, ada gadis yang kurasa masih SMP-- dan juga seorang pengguna Avatar. Dia membantu para preman itu," ucapnya sedikit terbata, "oh iya, ada satu hal yang terus mengusik pikiranku. Pada saat itu, saat aku hampir sekarat, aku secara tiba-tiba mengambil setumpuk kartu remi di tanah dan tiba-tiba juga kartu itu jadi pistol. Awalnya aku pikir hanya halusinasiku, tapi itu yang menyelamatkan nyawaku." Ia menjelaskan rinci tentang apa yang ia alaminya kemarin.
"Hmm, Ignas. Di suatu waktu, hidup ini akan disinari keajaiban yang di luar nalar, dan itulah yang terkadang membantu manusia ketika dalam keadaan terdesak. Membantu menghadapi tantangan yang menghadang tiap-tiap manusia. Itu adalah pertolongan Tuhan." Gallan meletakkan cangkir tehnya yang telah habis, kemudian berdiri dengan bantuan tongkatnya, berjalan ke ruangan pribadinya, "Oh iya, temanmu, Hideaki katanya akan ke sini sekitar siang nanti. Aku sudah memberinya nomor ponselmu." Ujarnya dari kejauhan.
"Dengan cara yang tak masuk akal?" Tanyanya kembali tentang 'pertolongan Tuhan' yang ayahnya katakan.
"Lantas apa kau pikir Avatar itu masuk akal?" Gallan mematahkan pertanyaan anak angkatnya.
Ignas masih duduk di sofa yang sama tempat ayahnya sering menghabiskan waktu, "gadis itu, sepertinya aku pernah melihatnya. Tapi kapan, ya?" Gumamnya mengingat-ingat informasi yang benar-benar terlupakan. Di meja marmer depan sofa tergeletak sekotak kartu remi yang kemungkinan barang milik tamu ayahnya yang tertinggal. Tanpa pikir panjang ia pun mengambilnya dan mencoba seperti apa yang terjadi kemarin.
"Jika benar ini pertolongan Tuhan, harusnya aku tidak bisa melakukannya lagi untuk yang kedua kalinya." Benar saja, tak ada yang terjadi. Kartu yang ia apit di sela jari telunjuknya tidak berubah wujud.
"Tidak terjadi apa-apa, apakah ada mantra khusus untuk melakukannya? Atau hanya kartu remi kemarin yang bisa berubah wujud? Sial aku meninggalkan kartu itu begitu saja." Ignas makin penasaran, pekerjaannya sebagai investigator membuatnya menjadi seorang yang sangat rasional. Tetapi ia memiliki Avatar, pemikiran rasionalnya mulai tergoyahkan.
Siang hari terik, tak ada gumplan awan putih yang menutupi panasnya matahari kala itu. Hideaki mendatangi Ignas di mansionnya menaiki motor skuter bersuara nyaring. "Ada keperluan apa, ya?" tanya satpam penjaga gerbang. "Saya temannya Ignas, saya yang kemarin mengantarnya pulang." Ia membuka kaca helmnya berharap satpam itu masih mengenali wajahnya. Satpam itu pun mempersilahkannya masuk, menunjukkan lokasi parkir motor di halaman beralaskan paving terletak di sisi kanan mansion. Menaiki anak tangga berkarpet mewah menuju lantai atas, ke ruang tengah tempat Gallan biasa menjamu para tamunya. Sisi-sisi dinding tangga itu tergantung lukisan-lukisan khas eropa yang menarik siapapun yang melintasinya. Di atasnya tersemat pula lampu-lampu gantung yang menerangi tiap-tiap lukisan.
"Sejak kapan kau kembali ke kota ini?" Tanya Ignas menyambung percakapannya yang terpotong kemarin hari.
"Aku sudah menetap di kota ini semenjak lulus SMA. Suasana hiruk pikuk Arcmont membuatku ingin terus kembali ke kota ini, beda dengan di kota asalku. Aku hidup sendirian, aku bekerja jadi karyawan minimarket seperti yang kau tahu kemarin." ia menceritakan panjang lebar tentang kehidupannya semasa lulus SMA.
"Kau cerita terlalu banyak, Hideaki." Ignas tertawa tersedak-sedak, "Lalu, kau masih berlatih tinju? Pukulanmu kemarin sangat kuat, sampai aku bisa mendengar suara hantamannya dari minimarket."
"Eh, maafkan aku," Hideaki tersenyum canggung, "Soal pukulanku kemarin, aku, ya, kalau ada waktu aku masih berlatih, tapi tentang pukulanku itu..." Hideaki tampak risau, Ignas menyadari itu. Seperti ada hal yang tak bisa terucap.
"Aku bingung menjelaskannya, tetapi suatu hari aku memperoleh kekuatan ini ketika aku ikut laga tinju di kota lamaku. Itu juga yang membuatku didiskualifikasi karena mereka mengira aku pakai doping. Itu adalah pertandingan tinju terakhirku."
"...dan kau menyesalinya?"
"Aku rasa tidak, waktu itu aku berpikir bahwa ini adalah berkah dari Tuhan. Jadi aku mulai menggunakan kekuatan ini untuk membela diri serta orang lain."
"Klise banget ya, menggunakan kekuatan yang kau punya untuk menjadi 'pahlawan'. Aku sudah bosan mendengarnya. Ngomong-ngomong, pistol yang kugenggam kemarin, apakah itu kekuatan yang sama sepertimu? Aku merasa tiba-tiba mendapatkan kekuatan itu," Ignas menggenggam kotak kartu remi di hadapannya, "Baru saja aku coba, tapi tidak bisa."
"Ah! kemarin kau dapat pistol itu dari mana? Aku masih belum paham." Tanyanya ingin tahu.
Ignas pun menjelaskan tentang kartu remi, halusinasi, dan pistol, panjang lebar seperti Hideaki yang bercerita sebelumnya. Lantas ia paham apa yang terjadi di gang itu, Hideaki benar-benar meminta maaf karena kesibukannya sendiri.
Hari mulai malam, tamu-tamu ayahnya mulai berdatangan. Mansion itu kini dipenuhi orang-orang berjas hitam.
Perjamuan malam dilaksanakan. Gallan, Ignas, dan Hideaki makan malam bersama para tamu. Di ruang makan yang megah dengan peralatan makan berbahan emas. Three-course dinner dengan hidangan-hidangan kelas atas. Dimulai dengan appetizer berupa Oysters Rockefeller, tiram panggang berlumur saus mentega, cincahan peterseli dan rempah-rempah hijau, serta irisan lemon mempercantiknya. Dilanjut Cedar-Plank Salmon sebagai main course. Aroma harum asap bakaran daging salmon filet yang menyatu dengan rasa kayu cedar sangat memanjakan lidah. Para tamu tampak sangat menikmati hidangan, sembari berbincang tipis tentang segala hal. Ignas, ia melumat suap demi suap perlahan karena rahangnya yang masih terasa nyeri. Tapi ia masih bisa mengikuti perjamuan itu hingga akhir, ketika dessert dihidangkan. Bananas Foster, dessert manis sebagai hidangan penutup. Terbuat dari pisang saus mentega dengan aroma kayu manis yang menenangkan, ditambah dengan topping sesauk es krim vanila.
Pengalaman yang telah lama ia lupakan semenjak Ignas hidup sendirian, berpindah-pindah antar kota. Ia tenggelam dalam momen itu, semuanya dipenuhi senyuman dan suasana begitu hangat. Mengingatkannya pada masa kecilnya, ia ingin sekali lagi bermain petak umpet,
dan trik sulap kartu.
Siapa yang nunggu Aaron muncul lagi? Chapter selanjutnya, ya! dan juga akan ada seseorang yang menarik menemui Jean, siapakah itu?