webnovel

Rival Abadi

Namaku Ignas, hanya itu tanpa nama belakang. Nama itu ku peroleh dari nama tokoh dalam cerpen di majalah yang seseorang baca. Dia menyematkan nama itu kepadaku. Usiaku 7 tahun. Aku tidak memiliki orang tua. Aku hidup di hutan. Di antara hutan beton yang menjulang tinggi. Tinggal di jalanan kota Arcmont yang gegap gempita, di balik bayang-bayang jutaan orang yang berlalu-lalang dengan kesibukannya masing-masing, Aku hidup seorang diri. Mengganjal perut dari sisa makanan yang masih terbungkus. Terkadang seseorang memberiku makanan, terkadang seonggok minuman kaleng murah dari mesin penjual otomatis. Orang tuaku membuangku ketika aku beranjak 5 tahun, alasan pastinya aku tak tahu. Meski begitu, aku tak pernah merasa takut. Gedung-gedung pencakar langit itu selalu menaungiku, seolah menjagaku dari mara bahaya.

Lontang-lantung di hamparan trotoar kota tak membuatku dikenal orang. Sepertinya semua gelandangan bermuka sama. Tubuh kotor berlapis debu, aroma tak sedap yang kadang terhembus oleh angin, dan tidur di sembarang tempat. Namun, aku setiap hari mandi, ketika musim hujan. Itu adalah musim yang ku suka sekaligus ku benci. Musim di mana tubuhku lebih bersih, dan juga musim di mana aku susah mencari tempat beristirahat di antara jalanan yang becek digenangi air. Hidupku selalu seperti ini, rutinitas yang berulang.

Sampai suatu ketika, seseorang bertubuh tegas datang. Ia seorang yang aku rasa berumur sekitar 50 tahun. Membawa tongkat hitam di tangan kanannya dan payung di tangan kirinya, ia menemuiku di kala hujan deras mengguyur Arcmont. Pria itu mengenakan tuxedo hitam dengan kemeja dalam berwarna putih berhias dasi kupu-kupu. Rambutnya disisir ke belakang, dengan sisi sampingnya beruban, "Apa kabar?" tanyanya menyapaku. Aku sedikit memiringkan kepalaku, mencoba mengingat pria itu, dan benar saja bahwa aku tak pernah mengenalnya di usiaku sekarang yang menyentuh 9 tahun.

"Aku melihatmu hidup di kawasan Jalan Skidder ini dari setahun yang lalu," Ujarnya sambil menatapku tajam dan lembut, "Apa kau memiliki semacam 'bos' di kawasan ini?"

Aku menggelengkan kepala beberapa kali, sebenarnya aku sedikit mengerti tentang bos yang ia maksud. Di kawasan Jalan Skidder ini, beberapa gelandangan dan pemulung memiliki bos yang harus dipatuhi. Kabarnya, tiap harinya mereka diminta memenuhi setoran dan dijanjikan akan hidup yang lebih layak. Sedangkan beberapa dari mereka yang lain, memilih untuk tidak memiliki bos karena mengetahui tak seorangpun yang pernah dipenuhi janjinya. Aku adalah golongan ketiga, orang-orang yang tak tahu pasti tentang ini. Semua yang ku ketahui itu aku simpan di hadapannya, beranggapan bahwa ia lebih tahu mengenai hal itu.

"Syukurlah kalau tidak ada, apa kau mau ku angkat menjadi anakku? Kau memiliki masa depan yang cerah." Tanpa basa-basi, ia mencoba meyakinkanku dengan senyuman lebarnya. Entah bagaimana, aku langsung saja menganggukkan kepalaku, bertepatan setelah bunyi tuk ketika ia mengetuk lirih tongkat hitamnya ke trotoar berair.

Namanya Gallan de von Houdin. Dia memberitahuku identitasnya setelah aku menerima ajakannya.

Mulai saat ini, aku adalah anak yang memiliki ayah.

Kini aku tinggal di sebuah mansion milik ayahku. Mansion yang megah dan tak pernah sepi. Setiap hari ada saja orang-orang bertamu, ayahku selalu berbincang lama dengan mereka, begitulah yang kupahami.

Namaku resmi menjadi Ignas de von Houdin setelah aku berhasil melintasi gerbang masuk untuk pertama kalinya, disambut oleh taman yang indah. Nama yang unik, ciri khas masyarakat kelas atas menurut koran yang dibacakan oleh teman gelandanganku waktu aku masih menjadi gelandangan. Aku masih belum bisa membaca dan menulis, karena itu Ayah memanggil guru privat untuk mengajariku dalam setahun ini, sampai ketika ayahku menyekolahkan aku di SD Arcmont. Meski umurku lebih tua 3 tahun saat duduk di kelas satu.

Ayah mencoba merayu sang kepala sekolah agar aku dapat mendaftar, karena sebelumnya aku tak pernah mengenyam pendidikan resmi sama sekali. Dalam perdebatan panjang itu, aku hanya duduk di kursi tamu yang empuk sembari mendengarkan percakapan mereka di kantor sekolah. Sang kepala sekolah pun akhirnya setuju, setelah ayah mengetuk tongkatnya. Kali ini agak keras. Ini kedua kalinya aku melihat itu. Sepertinya "mengetuk" ini adalah kebiasaannya.

Tahun ajaran baru pun dimulai, ayah memiliki sopir pribadi untuk mengantarku ke sekolah. Mengendarai mobil mewah berwarna hitam, aku tak merasakan sama sekali getaran mesinnya ketika mobil itu melaju ke sekolah, bersama Ayahku. Aku sangat gembira, sekarang penampilanku jauh lebih rapi dari aku yang dulu. Sesampainya di depan gerbang sekolah, Ayah menggandeng telapak kecilku menuju ke kelas. Ini hari pertama masuk sekolah, hampir semua orang tua melakukan hal yang sama. Mengintip anak-anak mereka dari jendela kelas yang lebar. Hal-hal seperti itu perlahan reda dari hari ke hari. Hingga akhirnya mereka hanya mengantar anak-anaknya sampai ke depan gerbang, bahkan ada orang tua yang tidak turun dari mobilnya.

Di kelas aku tergolong murid yang dikucilkan, benar-benar tak memiliki teman, andai saja mereka tahu siapa Ayahku. Lalu aku mengenalnya, ia adalah temanku satu-satunya di kelas, namanya Hideaki Yoshida. Bermata sipit, rambutnya hitam berponi, dan kulitnya putih gading, ciri umum orang asia. Dia murid pindahan dari Osaka, salah satu kota di Jepang. Orang tuanya menetap di Arcmont semenjak tiga bulan yang lalu karena urusan pekerjaan. Dalam rentang waktu tersebut, sangat wajar temanku belum dapat berkomunikasi lancar dengan orang lain. Sedikit dia dapat mengucapkan kata-kata dalam bahasaku, meski aksen jepangnya masih sangat kental.

Kehidupan sekolahku berjalan seperti pada umumnya.

Acara kelulusan diadakan. Sekolah diliburkan selama acara berlangsung, aku yang saat ini masih kelas satu menonton acara di aula sekolah itu sedekat mungkin, bersama temanku Hideaki. Anak-anak kelas enam terlihat berjejer rapi duduk di kursi-kursi yang disediakan. Mengenakan jubah raksasa dan topi segi empat yang aku tak tahu namanya.

"Murid dengan nilai terbaik di angkatan ini adalah Charles Zachary! Untuk nama yang disebut diharap segera menaiki panggung." Sontak gemuruh tepuk tangan menggema dari seluruh penjuru aula ketika murid bernama Charles itu berjalan bersama jubah raksasanya yang menyapu karpet aula.

"Silahkan, kamu diberi waktu untuk menyampaikan kesan pesanmu selama bersekolah," pembawa acara itu mempersilahkan Charles menaiki podium, "lalu kamu bisa ceritakan apapun, termasuk cita-cita yang kamu inginkan."

"Namaku Charles Zachary," Murid terbaik itu pun mulai berpidato, tentang kesan yang ia peroleh selama sekolah dan pesan yang ingin ia utarakan untuk semua murid yang hadir di acara itu, "aku sangat beruntung bisa bersekolah di SD Arcmont ini. Aku bertemu dengan teman-teman yang baik. Aku bertemu teman-temanku dan mereka semua yang membawaku hingga ke podium ini, terima kasih. Menjadi nomor satu bukan berarti aku yang terbaik, kalian semua yang hadir saat ini adalah anak-anak yang terbaik dalam bidang kalian masing-masing, kalian pasti memiliki cita-cita yang kalian idamkan, begitupun takdir yang akan kalian temui. Bagiku, aku sangat ingin menjadi seorang arkeolog. Oleh karena itu aku selalu belajar sungguh-sungguh di sekolah ini."

Aku sangat kagum dengannya, begitupun Hideaki. Sejak hari itu, kami bertekad untuk bisa berdiri di podium itu suatu saat nanti. Tetapi hanya ada seorang yang menjadi nomer satu, jadi kami mulai bersaing untuk menjadi yang terbaik.

Sekarang aku kelas dua.

Di tiap semesternya, aku dan Hideaki bergantian mengisi peringkat satu di kelas. Hideaki belajar dengan tekun bahkan dengan buku bacaan yang tentunya tidak berbahasa Jepang. Guru privatku masih mengajariku, di sore hari sepulang sekolah. Aku hanya bermain di malam hari, itupun sebentar saja. Aku terkadang bermain petak umpet dengan anak dari tamu ayahku. Aku bisa dengan mudah menemukan teman-temanku yang bersembunyi di sudut-sudut mansion, dan aku pun mengenal banyak teman.

Akhir-akhir ini aku menyukai permainan kartu, terlebih kartu remi. Terpengaruh oleh acara sulap di televisi ruang keluarga. Ayahku yang mengetahui itu lantas memanggil ahli sulap untuk mengajariku bermain trik kartu remi. Dalam seminggu, aku mulai mahir. Kutunjukkanlah trik yang kupelajari kepada Hideaki di sekolah. Ia terkesima ketika aku memainkan trik yang sebenarnya mudah, sugoi katanya. Lanjut aku tunjukkan trik ini kepada teman-teman sekelas. Trik yang agak lebih sulit, menebak kartu yang temanku ambil. Mereka sangat terhibur, aku ikut senang melihat ekspresi mereka ketika aku berhasil menebak kartu yang diambil oleh temanku.

Belajar trik sulap kartu membuatku mulai jarang belajar, aku lebih memilih membaca buku sulap kartu ketimbang buku pelajaran demi mengimpresi teman-temanku. Alhasil, nilaiku jeblok. Hideaki menduduki peringkat satu, dua kali berturut-turut. Ayah menyuruhku untuk berhenti dari trik sulap kartu. Ia sampai memarahiku, aku rasa, dari nada bicaranya. Begitupun Hideaki, ia menyuruhku mengurangi bermain kartu, Aku pun menurutinya. Kusimpan rapi seluruh peralatan dan buku-buku sulapku dan menyembunyikannya di loteng agar diriku sendiri tak tahu.

Tahun ajaran keempat, aku kembali fokus ke tekadku kala itu. Melihat Hideaki yang dua kali berturut-turut meraih peringkat satu membuatku termotivasi lagi. Aku merebut kembali tahtaku di semester pertama kelas empat ini. Serius belajar bukan berarti tak ada waktu untuk bermain, aku masih bermain petak umpet di mansion, terkadang Hideaki juga ikut jika besok adalah hari libur. Di tahun ini, ia sudah sangat lancar menggunakan bahasaku, aksennya sudah seperti penutur asli.

Ia tampaknya menjadi penggemar tinju. Tiap pagi ia selalu menyapaku dengan kuda-kudanya di gerbang sekolah pagi hari, seolah ingin melancarkan uppercut. Aku memberitahunya agar tetap mengutamakan sekolah, agar tak seperti diriku waktu itu. "Aku mengerti, kok!" Jawabnya tenang. Di akhir semester ini kami berdua tidak mendapatkan peringkat satu. Pertama kalinya bagi Hideaki merasa bersalah pada dirinya, ini kedua kalinya untukku.

Tahun ajaran kelima,

Sudah lima tahun aku mengenal dia. Kami sangat akrab. Dia sering mengajakku main ke rumahnya, dan ayahku berkenal baik dengan orang tuanya. Rumahnya sederhana, terletak di komplek pemukiman dengan jarak antar rumah tergolong lebar. Aku melihat sarung tangan tinju tergantung di sisi-sisi ruang tengahnya, dia sepertinya serius dalam hobinya.

Tahun depan adalah tahun terakhir kami di SD Arcmont. Aku dan Hideaki benar-benar menjadi rival untuk memperebutkan posisi tertinggi. Peringkat kedua adalah hal yang memalukan, ayahku mendukung penuh tekadku. Pun dengan orang tua Hideaki. Aku iseng mencoba menghitung total nilaiku dari kelas satu hingga saat ini, dan membandingkannya dengan total nilai Hideaki. Aku tercengang dan sedikit lega saat tahu total nilaiku sedikit di atasnya. Sebaliknya, Hideaki merasa lebih tertantang untuk lebih dariku. Ini sudah seperti hari-hari yang biasa bagi kami.

Tahun terakhir, tahun penentuan atas hasil dari perjuangan kami selama 2190 hari terakhir. Di semester awal tahun ini, Hideaki kembali menjadi raja. Semester selanjutnya aku menggulingkan kekuasaannya di kelas.

Ujian akhir sekolah pun dimulai. Ini adalah ronde terakhir dari pertempuran kami. Ujian ini merupakan ujian yang merekap kembali kemampuan dan pengetahuanku dari kelas satu hingga kelas enam. Ini sangat memeras otak. Sesekali aku menoleh ke Hideaki yang duduk di bangku sebelahku, ia kelihatannya sangat berpikir keras. Ia serius sekali, di samping hobinya yang masih ia tekuni. Tak ingin kalah dariku. Ujian penentu ini berlangsung selama seminggu.

Hari itu telah tiba, hari di mana aku menonton kakak kelasku berpidato dengan lantangnya di podium itu. Kini giliranku untuk memakai jubah raksasa dan topi persegi yang belakangan ini aku ketahui namanya baju toga, Ayah menemaniku bersama tongkat hitamnya.

Masih dengan pembawa acara yang sama seperti enam tahun yang lalu, beliau sekarang tampak lebih berumur dari kerutan wajahnya. Acara kelulusan itu kembali diadakan di aula sekolah, yang sekarang lebih modern.

"Ini waktunya, Ignas." Bisik Hideaki di sampingku, "Kita lihat siapa dari kita yang menjadi nomor satu, atau bahkan bukan kita?" Imbuhnya. Kebijakan baru dari sekolah bahwa murid yang menjadi nomor satu ditentukan dari nilai ujian akhir sekolah, ini membuatku merasa lebih tenang karena aku beberapa kali mendapat nilai yang 'buruk'.

Acara kelulusan pun dimulai. Diawali sambutan dari kepala sekolah yang masih kuingat betul wajahnya ketika ayahku berdebat dengannya. Ini sudah enam tahun semenjak itu. Sekilas aku melihat anak-anak kelas satu turut menonton dari posisiku kala itu. Mengintip di sudut terjauh ruangan. Aku membicarakan itu dengan Hideaki.

"Baiklah, kami akan umumkan murid dengan nilai terbaik di angkatan ini." Inilah momen yang kutunggu, alasanku berjuang selama ini. Mempelajari matematika, sains, bahasa, dan pengetahuan umum di waktu bersamaan. Melupakan hobiku bermain trik kartu. Bahkan aku hanya bisa bermain di hari libur, terkadang di malam hari, walaupun sebentar. Akulah seharusnya yang mendapatkan itu, semoga.

"Hideaki Yoshida, selamat kamu adalah murid dengan nilai terbaik! Silahkan naik ke podium."

Perasaanku campur aduk, antara gembira dan sedih mendengarnya. Gemuruh tepuk tangan yang sama seperti waktu itu. Aku memberi selamat kepada sahabat sekaligus rivalku selama enam tahun terakhir, Hideaki Yoshida. Lalu ia naik ke podium yang kudambakan.

"Terimakasih kepada semua guru yang telah mengajariku di sekolah ini, yang telah memberikan ilmu-ilmu yang bermanfaat. Aku sangat senang bisa bersekolah di sini, apalagi setelah bertemu dengan sahabatku, Ignas de von Houdin. Terimakasih telah berjuang bersama memperebutkan podium ini. Terimakasih karena telah mengajariku menuturkan bahasamu. Terimakasih untuk kalian semua telah menjadi temanku." Mataku sembab mendengar pidatonya, air mata ini hampir saja tumpah kemudian ayah merangkulku dengan satu lengannya, "Bolehkah saya mengajak temanku berdiri di atas sini?" Tanyanya kepada pembawa acara. Beliau mengiyakan.

Aku naik ke atas panggung itu, merasakan apa yang ia rasakan. Dari samping kiriku si pembawa acara membisikkan sesuatu kepadaku, "Ignas, kamu jangan sedih. Nilaimu selisih satu poin dengan Hideaki." Aku lumayan lega mendengarnya, mungkin aku mencoba menghibur diriku. Kemudian Hideaki mengepalkan tangannya kearahku, mengajakku tos tanda pertemanan.

"Aku akan tetap menjadi rivalmu." Pungkasku.

Hari itu, aku pulang melintasi kawasan Jalan Skidder. Dari jendela mobil mewah, aku melihat tempatku berteduh masih sama seperti sedia kala, sebelum aku punya ayah. Sebelum pulang, Hideaki mengabariku kalau orang tuanya akan kembali ke Osaka. Jadi ia akan melanjutkan sekolahnya di sana. Saat itu adalah pertemuan terakhir kami sebelum akhirnya berpisah di persimpangan terakhir. Aku benar-benar hilang kontak dengannya, ponsel pun tak bisa dipakai di jaringan yang berbeda. Aku pun mulai melupakannya.

Singkatnya, masa SMP dan SMA yang aku jalani tidaklah semenarik masa kecilku. Tapi aku masih bermain petak umpet di mansion, bersama teman-temanku yang sudah beranjak remaja. Ayahku mendorongku untuk masuk jurusan peradilan pidana di Arcmont State University, ia melihat aku yang akhir-akhir ini mengikuti berita-berita kriminal di kota serta aku yang sering menyampaikan pendapat dari berita kejadian itu, dan atau mungkin karena aku jago main petak umpet, aku rasa.

Pada akhir masa remajaku, aku bekerja sebagai investigator swasta, atau beberapa orang menyebutnya detektif, di kota Arcmont. Fokus kerjaku mengungkap kasus-kasus kriminal geng dan narkotika, oleh karena itu aku selalu berpindah-pindah kota, tak pernah kembali ke rumah ayahku.