Aditya menyalin file yang dicarinya dari laptop kantor dan disimpannya dalam salah satu file di ponselnya , lalu melihat arlojinya. Sudah pukul 11.00. Satu jam lagi ia diharapkan bertemu dengan para paman bibi dan para sepupunya untuk makan siang bersama di menara Bhagaskara. Bu Ade membuka pintu dan menaruh nampan yang berisikan makan siang Aditya. "Ini makan siangmu sudah siap Dit, kupikir kau makan siang disana?" tanya Bu Ade bingung. "Aku pikir aku akan terlalu sibuk menjelaskan daripada makan disana,Tante. Dan aku butuh tenaga sebelum menghadapi mereka semua. Terimakasih sudah membawakan makananku Tante.." kata Aditya sambil tersenyum pada Bu Ade, biasanya ada office boy atau office girl yang membawakan makanan pesanan Aditya ke ruangannya, tapi kali ini Bu Ade sendiri yang mengantarkannya. " Tidak masalah, lagipula hari ini spesial. Tetaplah tegar Adit, apapun yang terjadi nanti, jangan percaya dengan tipu muslihat Arganta dan Dewi." kata Bu Ade. "Aku sudah siap menghadapi mereka Tante.. jangan khawatir. Semua sudah siap di posisi masing-masing. Hanya saja kalau semua ini berhasil aku tetap akan kehilangan Tante." kata Aditya. Bu Ade tertawa. "Aku ini sudah tua Dit, sudah waktunya istirahat. Aku ingin menikmati sisa hidupku, pesiar mumpung masih kuat. Asisten pribadi kan banyak Dit. Kalau takut Raissa cemburu, carilah yang jauh lebih tua dan keibuan sepertiku. Mereka biasanya lebih pengalaman, atau Asisten laki laki sekarang banyak juga yang bagus loh. Tidak harus perempuan." kata Bu Ade. Aditya hanya tersenyum masam, dalam hatinya ia tahu Bu Ade berhak atas masa pensiunnya, menikmati hidup dan lepas dari seluruh permasalahan keluarganya yang pelik, hanya saja ia enggan berpisah dengan Bu Ade karena sudah terbiasa dengan kesigapan wanita itu. "Lagipula kau akan selalu mengunjungimu kan? kita tetap akan terus bertukar kabar?" tanya Bu Ade. "Tentu saja Tante, Tante sudah seperti ibu saya sendiri. Siap-siaplah saya ganggu terus ya Tante?" kata Aditya setengah bercanda. "Jangan sungkan, Tante dengan senang hati membantu. Sudah ayo makan, nanti kamu terlambat! Tante kembali dulu ke meja Tante yaa..semangaat!!" kata Bu Ade sambil keluar dari ruangan Aditya. Aditya membuka makanan yang dibawakan Bu Ade dan mulai memakannya sambil melihat pesan pesan di ponselnya. Raissa kembali menyemangati dengan mengirimi Aditya video dirinya sedang memasak di apartemennya sambil meniupkan ciuman jauh, lalu membuat tanda hati dari jarinya. Aditya memposisikan ponselnya dan membuat video balasan yang menunjukan dirinya menerima ciuman jauh dari Raissa dan menaruhnya dalam saku kemejanya dan menepuk-nepuk dada kirinya tersebut. Saat itu Alex masuk dan ternganga. "Sedang apa kau? ikut-ikutan buat video kekinian?" tanya Alex kaget dan heran. Seumur-umur belum pernah dilihatnya Aditya bertingkah seperti ini.Aditya hanya meringis dan mengirimkan video tersebut pada Raissa. "Nggak lah! Ini buat Raissa, siapa lagi kalau bukan dia?" kata Aditya santai sambil menghentikan jarinya pada foto mereka berdua. "Ckckck.. kupikir kau mulai gila Dit, Raissa benar-benar mengeluarkan sisi-sisi dirimu yang lain. Semoga instingmu yang lain tidak mati!" kata Alex. Aditya hanya tertawa. "Insting bisnis maksudmu? Tenang bro! Instingku malah semakin tajam, semuanya demi Raissa. Sudahlah.. kau sudah makan?" tanya Aditya. "Nanti saja, aku akan makan bersama Asya. Aku hanya memastikan rencana kita. Jadi aku nanti datang satu jam setelah rapat dimulai?" tanya Alex. "Benar, jangan terlambat!" kata Aditya. "Beres! Siap tempur kita?!" tanya Alex. "Sampai titik darah penghabisan!" kata Aditya. "Merdeka!!!" kata Alex lalu keluar dari rungan Aditya untuk mengajak Asya makan siang. Aditya merenungi ucapan terakhir Alex. Mungkin bagi Alex ia hanya menyerukan jargon peperangan. Tetapi buat Aditya memang itu yang dia perjuangkan. Kemerdekaan, Kemerdekaan memilih jalan hidup, kemerdekaan memilih pasangan, kemerdekaan dari cengkraman keluarga besar Bhagaskara. Aditya membereskan sisa makanannya. Ia merapikan penampilannya di toilet pribadinya, setelah memeriksa penampilannya terkahir kali di cermin, Aditya tersenyum pada pantulan dirinya. "Aku siap!" katanya lalu segera beranjak dari kantornya menuju Menara Bhagaskara. Kali ini ia diantar oleh pak Rasyid agar ia bisa berkonsentrasi dengan persiapan persiapan yang harus dilakukan.
Aditya sampai di Menara Bhagaskara. Biasanya ia akan langsung naik ke atas, tetapi kali ini ia ke resepsionis terlebih dahulu. Aditya mengenal resepsionis ini, mamanya Sri, sudah lebih dari sepuluh tahun bekerja disini. "Siang Sri, aku ada permintaan." kata Aditya. "Siang pak, ada yang bisa saya bantu?" tanya Sri. "Satu jam lagi Alex akan datang, persilahkan dia naik." kata Aditya singkat. "Alex, maksud bapak Alexander Bhagaskara? ehm.. tapi.. pak Arganta melarang anak beliau itu untuk mendekati gedung ini pak!" kata Sri cemas. "Jangan khawatir, lakukan saja, tidak akan terjadi apa-apa, aku yang akan bertanggung jawab. Jangan beritahukan pada siapapun ya?" kata Aditya. Sri terlihat masih cemas, tetapi akhirnya menyetujui permintaan Aditya. Setelah puas dengan jawaban resepsionis tersebut. Aditya segera menuju elevator yang langsung membawanya ke ruang rapat dewan direksi. Aditya memasuki ruang rapat tanpa ragu dan takut. Sebagian besar paman dan bibinya sudah datang, beberapa sepupunya juga sudah, termasuk Aleisha dan Satya, mereka menunggu dengan tenang. Karina dan suaminya juga sudah datang. Hanya tinggal Paman Arganta dan istrinya, serta ibunya yang belum tampak batang hidungnya. "Ah ini dia datang, Adityaaaaa.. bilang sama bibi Maya, rumor itu tidak benar kan?" tanya Maya. Aditya hanya tersenyum, "Rumor apa sih Bi? Tenang tak akan ada rumor jelek yang akan menggoyahkan saham bibi." Aditya balik bertanya, Minggu lalu ia baru menyelesaikan pembelian 50 persen saham perusahaan Bibi Maya. Tampak sedikit kelegaan terlihat di raut muka bibinya. "Ayah, bukan itu maksud bibi Dit!" tampik Maya. "Ah memang cuma saham yang kau pikirkan May!" kata Dewi sinis sambil memasuki ruangan, lalu matanya tajam melihat Aditya. "Tapi aku tak percaya bahwa kata-kata Aditya bisa dipegang. Kalau rumor itu benar.."
"Eh tapi barusan .." kata Maya kembali. "Sudahlah Maya, kita dengar dulu penjelasan Aditya." kata Daryanta menenangkan. Maya pun kembali ke tempat duduknya. "Kamu juga Dewi, duduklah, sebentar lagi Mas Arganta akan datang, barusan sedang di lift katanya. " kata Daryanta yang dari dulu selalu menjadi penengah terlepas dari statusnya yang sebenarnya anak bungsu. Dewi masih mendelik tajam pada Aditya ketika ia menghempaskan tubuhnya di atas kursi yang sudah disediakan. Tetapi Aditya hanya balas memandang Ibunya dengan dingin.
Braaakk!! suara pintu terbuka keras. Tanpa melihat pun Aditya tahu pamannya sudah datang, pamannya itu memang penuh drama.
"Bagus semua sudah disini!! Rapat sudah bisa kita mulai. Ada hal remeh tapi penting yang harus segera kita selesaikan!! " suara Arganta menggelegar. Aditya menoleh merasa terganggu dengan suara pamannya yang berisik. Arganta dan Lydia sedang berjalan ke arah tempat duduk mereka di ujung meja. Setelah duduk Arganta mengambil segelas air yang sudah disediakan dan meminumnya. "Khas paman Arganta," pikir Aditya, "Selalu cari perhatian, senang membuat lawannya berkerut ketakutan. nyatanya sedikitpun aku tidak takut! malah kelihatannya paman seperti kehabisan Kata-kata dan hanya mengulur waktu." Aditya tetap tidak bergeming. Ia hanya duduk dengan tenang memandangi pamannya, menunggu pamannya membuka rapat. Tiba-tiba, palu diketok tiga kali. "Rapat resmi dibuka!!" seru Arganta lalu ia mengalihkan perhatiannya pada Aditya. "ADITYA!!! apa yang telah kau lakukan?!!"