Di ujung jalan ada sebuah rumah yang ukurannya lebih mungil, rumah tersebut juga tampak lebih tua dari pada rumah yang lainnya. Tanda nama di rumah itu bahkan telah jatuh beberapa hari yang lalu, bahkan si empunya rumah seolah enggan untuk membenarkan lagi. Beberapa laintainya, masih tampak baru, baru diperbaiki dengan kayu mahoni karena berharap bisa bertahan lebih lama dari amukan rayap, dan lapuk karena ketika musim hujan datang atap-atapnya akan mengalami kebocoran. Ya, di rumah itu hanya tinggal seorang pemuda, yang tidak memiliki orangtua atau pun sanak-saudara. Pemuda itu bernama Fabian Wijaya.
Tingginya sekitar 190 senti, rambut ikalnya memiliki warna hitam legam. Mata hazelnya tampak begitu indah, pandangannya sendu meski kadang jika sedang marah akan setajam burung elang. Tampak sangat semurna dengan bingkaian alis hitam yang sangat indah. Kulitnya tak memiliki warna pucat, karena seringnya dia berada di bawah terik matahari, tapi hal tersebut malah membuat Fabian telihat begitu eksotis. Laki-laki dengan perawakan dan rupa sempurna itu, tampak sedang menyiram bunga mawar yang ia tanam di depan rumah, sebab musim kemarau beberapa bulan agaknya telah membuat tanamannya itu hampir mengering. Sambil memakai kaus berwarna cokelat yang bahkan sudah robek di berbagai sudut, pun dengan celananya yang usang, Fabian agaknya tidak pernah menyesali sama sekali tentang kisah hidupnya yang malang. Bahkan tidak jarang, bubur hangat akan diberikan oleh beberapa tetangganya secara bergantian, atau malah hidangan lezat akan dia dapatkan secara cuma-cuma dari kekasihnya. Kenny Alfaro, nama kekasih dari Fabian.
"Apakah mawar yang kuberikan masih kamu rawat dengan baik, Bi?"
Mata hazel Fabian tampak membesar, saat dia melihat wanita berambut panjang itu berdiri di depannya. Mata hitamnya tampak menyipit, dan lesung pipinya terlihat begitu nyata.
Fabian langsung melepaskan penyiram bunganya, kemudian dia mengelap tangannya dengan kaus yang ia kenakan. Bergegas menghampiri wanitanya, kemudian memeluk tubuh wanitanya dengan begitu erat.
"Tentu saja, Kenny. Aku selalu merawat apa pun kau kamu berikan, apalagi bunga. Bahkan cinta darimu akan selalu aku rawat dengan sempurna,"
Kenny tampak mengulum senyum, kemudian dia menunjukkan bekal yang dia bawa. Dibawa dengan menggunakan rantang berwarna silver, membuat Fabian langsung memeluk kekasihnya.
"Apakah kamu sudah makan siang?"
"Bahkan makan pun aku harus menunggumu, Kenny,"
"Kamu pembual ulung, Bi,"
Keduanya kini masuk ke dalam rumah, dan Kenny segera membuka rantangan yang dia bawa, sementara Fabian bergegas mengambil dua buah piring, dua buah gelas dan menyiapkannya di atas meja dengan sempurna. Potret suami istri, tampak begitu nyata. Keduanya seolah ditakdirkan untuk bersama dan saling mencintai, seorang pemuda tampan dan wanita cantik, bahkan seolah membuat iri siapa saja yang melihatnya dengan cara nyata. Namun siapa sangka, di balik semua hal itu, di balik kesempurnaan itu kisah cinta mereka penuh liku, dan tidak berjalan dengan seharusnya. Bahkan bisa dikatakan, hancur adalah hal yang harus mereka terima di depan mata.
"Bi, kamu ingat sebentar lagi adalah malam tahun baru, kan? Hal apa yang ingin kamu rencanakan?" tanya Kenny, sambil mengelap piring itu dengan tisu, kemudian memandang Fabian sekilas. Diberi pertanyaan seperti itu, Fabian pun langsung memeluk Kenny dari balakang, mencium bibir Kenny sekilas.
"Kenapa kamu bertanya seperti itu? Apakah kamu memiliki rencana lain selain menghabiskan malam tahun barumu bersama dengan keluargamu? Aku rasa itu adalah aktifitas yang selalu kamu lakukan setiap tahun, kan? Dan kamu juga tahu betul, apa yang aku lakukan setiap tahun. Sendirian, dan berdoa kepada Tuhan agar tahun depan aku masih bisa bersama denganmu, untuk waktu yang sangat lama. Menghabiskan semua waktu berdua, dan merasakan kebahagiaan bersama. Bahkan kadang-kadang aku berdoa jika mungkin, kita akan menikah dan memiliki banyak anak. Ah, sepertinya hal itu akan selalu menjadi mimpi terbesarku, Kenny,"
Mendengar hal itu, Jenny tampak terdiam. Sebuah rasa bersalah mulai merayapi hatinya dengan begitu nyata.
"Bagaimana jika kita pergi jalan-jalan? Sebuah kencan romantis berdua? Makan malam romantis, dan menghabiskan pergantian tahun baru bersama? Menghitung mundur sambil melihat kembang api berdua? Aku rasa hal itu adalah hal yang begitu aku inginkan selama ini bersama denganmu, Bi. Bisakah kita melakukannya tahun ini?"
Fabian tampak terkesiap. Bagaimana tidak, diajak Kenny untuk menghabiskan malam tahun baru bersama bahkan hanya bisa dia harapkan dalam mimpi. Sebuah hal yang bahkan nyaris tidak mungkin, dan tidak berani dia harapkan sama sekali.
"Namun, bagaimana dengan orangtuamu, Kenny? Apakah mereka tidak akan marah jika kamu tidak merayakan tahun baru bersama dengan mereka?" tanya Fabian pada akhirnya. Dia memang ingin bersama dengan Kenny. Namun dia juga tidak mau kalau sampai Kenny melawan orangtuanya hanya karena dirinya.
"Bi, sudahlah. Kamu tak perlu risau tentang orangtuaku. Kamu tentunya masih ingat jika aku punya sudara kembar, bukan? Keyra bisa menggantikanku menghabiskan malam tahun baru bersama dengan orangtuaku."
"Tapi, apa mereka tidak akan tahu?" tanya Fabian lagi yang agaknya cukup khawatir tentang hal ini.
Kenny pun mengggelengkan kepalanya, kemudian dia kembali tersenyum. "Tidak akan, karena setiap tahun Keyra tidak pernah bisa menemani kami menghabiskan malam tahun baru bersama. Karena dia tinggal di asrama. Jadi, kamu tidak perlu khawatir tentang hal itu. Lagi pula setelah dia buta, yang dikerjakan hanyalah berdiam diri di kamar, dan orang tua kami nyaris tidak pernah memperhatikan. Jadi, kamu tidak perlu berpikir macam-macama."