Aku melihat ibu pergi lewat pintu belakang.
“Yah, memangnya di dalam gubuk itu ada apanya sih? Kok ibu sampai melarang kayak gitu?”
“Ayah juga nggak tau, Nda. Mungkin saja di sana banyak barang berharga milik ibu.”
“Iya sih, mungkin begitu. Lalu, kotak yang ibu pegang kira-kira isinya apa ya, Yah? Soalnya kemarin waktu Arsya memegangnya ibu terlihat nggak suka. Ibu mendadak kayak orang marah, membentak Arsya segala. Apa isinya sangat penting sampai ibu membentak Arsya kayak gitu, Yah?”
Padahal aku tak berniat menceritakannya, tapi rasa penasaranku yang mengendalikannya.
“Membentak Arsya, Nda?” Mas Ubay sedikit terkejut.
“Iya, Yah, Ibu ‘kan dulu pengin banget punya cucu, tapi kenapa sekarang malah begitu ya? Padahal hanya pegang kotak itu saja.”
“Hmm, mungkin ibu punya alasannya sendiri, Nda. Mungkin saja isi di dalam kotak itu sangat berharga mangkanya ibu sampai kayak orang marah kayak gitu. Yang penting sekarang sudah baik-baik saja ‘kan? Sana kamu sholat dulu.”
“Yah, tadi Bunda lihat sesuatu di cermin kamar mandi. Persis apa yang Arsya lihat, Yah. Bunda jadi takut, Yah.”
“Apalagi sih, Nda? Paling hanya bayangnmu saja, Nda. Kamu masih terbayang tentang mimpi burukmu itu. Sholat dulu sana. Banyakin doa.”
“Tapi Yah ….”
“Iya, ceritanya nanti lagi. Sekarang kamu sholat dulu. Aku mau ke depan. Udaranya sejuk banget.”
Dia pergi meninggalkanku. Apa saja yang kuucapkan, mas Ubay tetap saja tidak percaya. Rasa takutku masih tebal menyelimuti. Ya, padahal sudah pagi, tapi nyatanya dia tetap menampakkan diri.
Aku memakai mukena dan bersiap untuk sholat. Cahaya lampu minyak yang temaram masih menemani kamar ini. Arsya pun masih terlelap tidur di atas kasur tepat di belakangku.
“Hihihi … aku menemukanmu. Anak pintar ….”
Dalam sujud di rakaat pertama, telingaku samar mendengarkan kalimat itu dari belakang. Seketika tubuhku merinding. Padahal sedang sholat, kenapa isi kepala dan telingaku bisa berkhayal hal yang menyeramkan. Aku tak ingin tergesa, tapi sepertinya memang ada seseorang yang berada di dekat putraku.
“Nda … hiks!”
Beberapa saat Arsya mendadak bangun dan menangis. Sebelum aku mengerjakan sholat dia tidur dengan tenang. Namun, saat telingaku mendengar hal yang membuatku merinding, tidurnya seperti tak nyaman. Terdengar olehku, posisinya bergelimpang kesana-kemari.
Saat ini posisiku sedang tahiat akhir. Kupercepat bacaan dan menutupnya dengan salam. Saat menoleh ke belakang, sekelebat mataku melihat sosok yang sama saat tadi berada di kamar mandi.
“Astaghfirullah! Apa itu! Apakah sosok itu lagi?”
“Nda ….”
Arsya kembali memanggil. Dia terisak, mungkin mimpi buruk lagi. Atau justru ada sosok makhluk yang sengaja mengganggu. Entahlah ….
“Iya Sayang, Bunda datang.”
Aku melepas mukena, melipat alakadarnya dan bergegas menemui jagoan kecilku yang sedang menangis.
“Ada apa, Sayang? Arsya mimpi buruk lagi.”
Tanganku membelainya agar dia merasa tenang.
Dia mengangguk seraya mengusap air matanya.
“Nenek-nenek serem itu, datang lagi, Nda. Padahal Arsya sudah berdoa tadi malam sebelum tidur. Dia malah datang lagi, tersenyum sama Arsya. Dia mau ajak Arsya pergi. Arsya nggak mau Nda, Arsya takut. Arsya maunya sama Bunda saja,” ucapnya seraya terisak.
“Iya, Arsya sama Bunda terus kok.”
Aku tersenyum agar Arsya kembali ceria.
“Nda, kayaknya teman nenek waktu itu, nenek-nenek serem yang ada dimimpi Arsya deh, Nda. Rambutnya soalnya sama, Nda. Arsya mau pulang saja, Nda. Arsya takut lama-lama ada di sini. Arsya mau pulang, Nda. Arsya nggak mau bertemu sama temannya nenek lagi. Wajahnya serem banget, Nda.”
Apa yang kupikirkan ternyata Arsya merasakan yang sama. Apalagi dia yang sering bermimpi, sudah pasti perasaannya sangat tak nyaman. Meski awalnya dia penasaran dengan yang katanya temannya ibu itu, saat mempimpikan sosok itu lagi, dia merasa ketakutan.
“Sayang … temannya nenek itu nggak ada. Arsya hanya bermimpi saja ya? Ada Bunda kok.”
Terpaksa hanya seperti itu yang bisa kuucapkan. Jika diceritakan kepada mas Ubay, sepertinya dia akan mengganggap hal yang wajar saja. Tidur pasti bermimpi. Apalagi tadi aku pun ikut berbicara yang seolah tak masuk akal. Dia pasti mengira aku dan Arsya sekongkol ingin pulang dari sini karena tidak betah.
“Tapi Nda, Arsya takut … Arsya mau pulang saja, Nda.”
Arsya terus merengek dengan sisa air matanya.
“Ya coba nanti, Arsya ngomong sama ayah saja ya? Siapa tau ayah mengizinkan pulang lebih cepat.”
Dia mengangguk. Biar saja anaknya meminta pulang, coba seperti apa reaksi yang akan mas Ubay perlihatkan.
***
“Ayah … pulang yuk? Arsya nggak mau lama-lama di rumah nenek. Arsya nggak mau bertemu sama temannya nenek lagi, Yah.”
“Temannya nenek?”
Pandangannya beralih padaku.
“Iya Yah, Arsya itu mimpi nenek-nenek temannya nenek tadi malam. Arsya takut, Yah. Arsya mau pulang. Arsya nggak mau ketemu sama temannya nenek lagi. Serem wajahnya, Yah,” rengek Arsya.
“Nda ….”
Mas Ubay memanggilku, mungkin meminta penjelasan dariku.
“Yah, ayo pulang, Yah,” rengek Arsya lagi.
Aku belum sempat menjelaskan pada mas Ubay.
“Lho, katanya Arsya mau main bola. Tuh bentar lagi terang. Pasti enak buat main. Halamannya luas banget lho, Sya. Ayah juga mau main bola sama Arsya kok.”
Mas Ubay mencoba untuk merayu anak semata wayangnya.
“Tapi Yah … Arsya takut. Arsya nggak mau ketemu sama temannya nenek lagi.”
Arsya masih mengatakan hal yang sama.
“Temannya nenek memang nggak ada ‘kan, Sya? Di sini ada Ayah sama bunda. Kenapa Arsya takut?”
“Nda … Arsya mau pulang, Nda ….”
Dia merengek lagi padaku serta memelukku.
“Nih dengarkan kata, Bunda. Arsya itu hanya bermimpi buruk saja. Arsya pasti akan baik-baik saja. Di sini ada Bunda yang selalu nemenin Arsya lho. Ada ayah juga. Nanti main bola yuk. Bunda udah nggak sabar.”
Baru sehari di sini, aku pun tak enak jika harus meminta pulang sekarang juga kepada mas Ubay. Semoga saja apa yang terjadi pada hari ini, tidak terulang lagi. Hanya seperti itu doa dan harapanku saat ini.
“Temannya nenek itu nggak ada, Sya. Nenek tinggal sendiri di sini. Tapi kalau Arsya mau pulang cepat, itu lebih baik.”
Ibu datang dan berbicara seperti itu. Apa mungkin beliau tersinggung? Atau memang menyuruh kami untuk cepat-cepat pergi dari sini?
“Tuh ‘kan, Yah. Sama nenek juga dibolehin pulang cepat kok. Ayo, pulang sekarang,” rengek Arsya lagi.
“Arsya, kita itu baru bertemu sama nenek. Masa Arsya kayak gitu. Di sini dulu ya? Ada Ayah yang jagain Arsya kok. Ayah janji.”
Mas Ubay mengusap kepala Arsya dengan lembut. Arsya hanya diam mendekapku.
“Bu, maaf ya, Arsya seperti itu. Dia baru saja bermimpi buruk. Jadi langsung minta pulang sekarang. Nanti kalau sudah main, pasti lupa kok,” ucapku dengan perasaan tak enak.
“Mimpi buruk? Itu pertanda kalian harus segera pergi dari sini,” jawab beliau dengan ekspresi datar.
Aku dan mas Ubay saling memandang. Tidak paham dengan apa yang beliau ucapkan.
“Maksud Ibu apa ya? Pertanda apa? Kami masih kangen sama Ibu. Baru sehari juga kami di sini. Maaf Bu, kalau Ibu tersinggung dengan ucapan Arsya.”
Mas Ubay kembali meminta maaf. Kami takut jika ibu memang merasa sakit hati karena ulah Arsya.
“Ya sudah kalau inginnya kalian seperti itu. Nanti malam boleh nyalain lampunya. Sementara ada kalian di sini, Ibu nggak masalah memakai listrik.”
“Kalau Ibu nggak nyaman, biarkan pakai lampu minyak saja, Bu,” ujarku.
“Nggak apa-apa. Untuk sementara nggak apa-apa. Sudah aman.”
Ucapan beliau sulit sekali kuartikan. Sudah aman. Maksudnya apa?