webnovel

~ 12 ~

I loved her first

I held her first

And a place in my heart will always be hers

i loved her first - heartland

Sedan hitam Proton Prevé milik Fabian melaju cepat meninggalkan area sekolah Nusa Bangsa. Rahang pria itu tampak mengeras seiringan dengan tatapan matanya menatap lurus ke arah sebuah mobil yang ada di hadapanya. Buku-buku tangan nya memutih mencengkram erat stir mobil tersebut.

Pria itu nekad keluar dari sekolah tanpa izin dari siapapun karena emosi telah kalap menguasai dirinya. Amarah pria itu sudah menahan emosinya sedari tadi, tepatnya saat Farel mengatakan kalau Diva tengah diantar oleh Arsen menuju rumah gadisnya itu.

Firasat lelaki itu benar, salah seorang temanya yaitu Arsen sepertinya menaruh hati pada gadis itu.

Fabian tak henti-hentinya merapalkan sumpah serapah ketika Fabian hampir saja kehilangan jejak mobil Arsen yang membawa Diva di dalamnya. Seringaian khas seorang Fabian tercetak jelas diwajah blaster Spanish-nya itu.

Pria itu melirik ke arah spion kanan mobilnya, memastikan jarak mobil milik pria itu dengan kendaraan dibelakangnya. Saat dipastikan jalanan telah sepi dan tak ada kendaraan lain selain mobilnya dan mobil Arsen. Pria itu mengambil langkah nekad menambah kecepatan mobilnya untuk membalap mobil Arsen yang ada di depanya. Kemudian tanpa pikir panjang ia memasang seatbelt dan memberhentikan mobilnya secara mendadak dengan posisi menyerong menghadang mobil yang sudah sedari tadi pria itu buntuti.

Fabian berdeham, merapihkan sedikit posisi dasinya yang sedikit bergeser dan keluar dari mobilnya. Seringaian pria itu sudah tidak terlihat lagi tergantikan oleh tatapan tajam dari pria itu.

Dengan langkah perlahan Fabian menghampiri mobil Arsen, menghampiri ke sisi kanan mobil tersebut tempat dimana Diva berada didalamnya. Lengan pria itu sedikit membunkuk, meletakan lengan di atas kap mobil. Tatapan mematikan darinya seolah-olah menembus kaca mobil itu dan menelusuk kepada Diva.

"Keluar!" Perintah Fabian dengan nada datar.

Walaupun sedang berada di dalam mobil dan terhalang oleh jendela kaca tersebut, Diva dapat dengan jelas mendengar perkataan dari pria itu. Seolah enggan untuk merespon perintah dari Fabian, Diva masih setia pada posisinya menatap lurus kedepan.

Arsen bingung, pria itu rasanya ingin keluar dan menemui Fabian tapi ekspresi dan respon yang Diva berikan seolah enggan untuk menanggapi pria diluar sana. Arsen paham, paham akan apa yang dirasakan gadis di sampingnya.

"Keluar atau gue pecahin kacanya!" Teriak Fabian dengan memukul keras jendela mobil tersebut. Kesabaran pria itu habis saat gadis itu tidak meresponnya.

Diva dan Arsen terkejut bukan main dengan ulah Fabian. Pria itu terus berteriak meminta Diva keluar dengan terus memukul jendela mobil Arsen yang hampir pecah.

Melawan rasa takutnya, Diva memutuskan untuk keluar menemui Fabiann walau sempat Arsen tahan. takut akan terjadi sesuatu yang akan menimpa Diva Arsen memutuskan untuk keluar dari mobil dan memperhatikan keduanya dari sisi samping mobilnya.

"Apa?" Tanya Diva bergetar, gadis itu mengangkat dagu menatap Fabian karena lekaki itu lebih tinggi darinnya. Sungguh gadis itu sangat takut akan kemarahan Fabian, pria itu bisa kehilangan kendali saat dalam keadaan kalut seperti ini.

"Lo yang apa? Kenapa lo dianterin sama dia?" Balas Fabian masih dengan nada bicaranya yang tinggi.

"Sekarang aku yang tanya kenapa? Gak suka hah?!" Balas Diva tak kalah kencang. Gadis itu menahan rasa pening dan perih di perutnya, ia ikut terbawa emosi dengan sikap Fabian.

Mengetahui situasi yang sudah mulai tidak kondusif Arsen mendekat ke arah Diva takut Fabian akan bertindak kasar kepada gadis itu. Arsen tahu, seperti apa Fabian kala emosi menggambil alih dirinya.

"Lo pulang sama gue" Tanpa mendapat persetujuan dari Diva, Fabian langsung menarik kasar lengan gadis itu menuju ke mobilnya.

Dengan sekuat tenaga Diva memberontak, ia sedikit merintih saat Fabian menariknya dengan kasar. Sudah dipastikan lengan nya akan memerah selepas ini.

"Lepas Fab! Aku gak mau"

Arsen mengejar Fabian dan menahan Diva. Jadi lah posisi Diva di antara dua pria, Fabian dan Arsen yang sama sama memegang lenganya. Bedanya yang satu menariknya sementara yang satunya lagi menahannya.

"Fab, jangan kasar sama perempuan" Ucap Arsen.

Fabian berhenti. Membalikan badanya 180 derajat menghadap Arsen. Dengan sekali hentakan Diva langsung ia tarik ke pelukan nya sehingga pegangan tangan Arsen di lengan Diva terlepas.

"Bukan urusan lo! Huh! gue tau. Lo suka kan sama Diva?" Tanya Fabian mendengus ke arah Arsen.

Arsen mengangkat sebelah alisnya. Pria itu tersenyum tipis "Kenapa emang? Lo mau hibahin Diva ke gue? Dengan senang hati gue terima"

"Brengsek!" Fabian melepas pelukan nya dari Diva dan menghampiri Arsen.

Bugh

Fabian memukul Arsen tepat diwajahnya. Arsen yang belum siap mendapat pukulan itu, akhirnya tersungkur dengan keadaan bibirnya berdarah.

Diva menutup membuka mulutnya tak percaya melihat Fabian memukul Arsen di hadapanya, mata wanita itu sudah berkaca-kaca karena ketakutan. Ia tidak habis pikir apa yang ada di pikiran pria itu.

Arsen perlahan bangkit. Memasang wajah menantang kepada Fabian. pria itu berkata, "Diva gak bahagia sama lo! Gue bakal jamin kebahagiaan nya kalo dia sama gu-"

Belum sempat Arsen melanjutkan perkataan nya, Fabian sudah dulu menghampiri nya dan meremas kasar kerah baju Arsen memberi peringatan. "Diva.Punya.Gue" Ucap Fabian dengan menekan kan setiap kalimatnya.

Hampir saja Fabian melayangkan pukulan kedua kepada Arsen, Diva sudah lebih dulu menahan nya, "Fabian udah!" Lerainya, gadis itu sudah bersurai air mata.

Fabian menghiraukan nya, ia melepas remasan nya. Tetapi masih menatap Arsen selayaknya seorang musuh mematikan baginya.

Diva menjauhkan Fabian dari Arsen, kemudia gadis itu mendekati Arsen. Menanyakan keadanya "Kakak gapapa?"

Arsen tersenyum tipis dan mengangguk.

Fabian memicing melihat interaksi keduanya. Kemudia pria itu tertawa sumbang dan berkata, "Hahahah! Jadi lo lebih milih temen gue sendiri? Dari pada gue, pacar lo?"

Diva menoleh ke arah Fabian, mengusap kasar air matanya. Menatap lurus ke arah Fabian "Dan kamu lebih milih ngejar Jenisa yang jelas bukan siapa-siapa kamu dibanding aku yang pacar kamu?" Sarkas Diva.

Skak mat! Fabian diam, perkataan Diva barusan berhasil membungkam nya.

"Pulang sama gue Div" Fabian kembali memerintah.

Diva diam, dia lebih memilih mengikuti Arsen yang menariknya untuk masuk kembali kedalam mobil pria itu. Ya! Diva lebih memilih pulang bersama Arsen dibanding dengan Fabian.

"DIVA! PULANG SAMA GUE!" Fabian kembali berteriak.

Nihil, tak ada respon apapun. Tak lama setelah itu mobil Arsen memutar balik dan berlalu bergitu saja. Meninggalkan Fabian.

"Brengsek!" Umpat Fabian, mengacak rambutnya frustasi.

***

Arsen tahu, Diva menangis karena sejak tadi gadis itu tak henti-hentinya mengusap sesuatu dari kedua matanya. Ia masih dengan posisi semula, menatap keluar jendela.

"Kalo lo udah gak kuat, lepasin aja Div" Celetuk Arsen yang membuat Diva langsung menoleh kearahnya.

Gadis itu tidak menjawab, hanya diam. Dan sedetik kemudian ia kembali melempar pandanganya keluar jendela.

Arsen meringis, sepertinya ia telah salah berkata.

"Pertigaan belok kanan ya kak" Ucap Diva. Sedari tadi gadis itu hanya bicara saat menunjukkan arah jalan saja, selebihnya ia diam. Bahkan saat Arsen mencoba mengajak nya mengobrol hanya dijawab seadanya saja oleh gadis itu.

Sampai, mobil Arsen telah berhenti tepat di gerbang rumah Diva. Tak lupa Diva mengucapkan terimakasih kepada Arsen yang sudah mengantarnya.

Dengan ragu gadis itu melirik Arsen untuk bertanya suatu hal "Mau mampir dulu kak? Biar aku obatin lukanya" Tawar gadis itu.

"Hm, gak usah deh Div makasih. Gak perlu kok, udah biasa gue luka begini. Gue kan cowok" Tolak halus Arsen.

Diva mengangguk-angguk paham,"Okay. Makasih ya kak sekali lagi"

Diva pun pamit untuk masuk kedalam, dan tak lama mobil Arsen sudah tidak terlihat lagi di depan rumah Diva.

***

Diva mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia mengubah posisinya duduk bersandar di kepala kasur. Ia merasa lebih baik setelah tidur cukup lama. Gadis itu melirik ke samping nakas untuk melihat jam, tapi selanjutnya ia menghembus kan kasar melihat ada obat disana yang sudah bunda nya siapkan belum disentuhnya sama sekali.

Ia sangat takut dengan obat karena rasanya yang sangat pahit baginya. Maka dari itu dia benar-benar menjaga kesehatan nya agar tidak jatuh sakit dan mengharuskan gadis itu mengonsumsi obat-obatan.

Ia menurunkan kaki nya menapaki lantai. Selanjutnya ia meraih gelas yang berisi air putih untuk di tenggaknya. Merasa kurang puas dan masih terasa haus ia pun memutuskan untuk menuju dapur mengisi kembali gelas tersebut dengan air dingin.

Ia beranjak dari kasurnya dan menuju dapur. Setelah sampai ia langsung mengisi gelas tersebut dengan air dingin dan langsung menenggaknya.

Ia pun berniat untuk kembali ke kamar untuk melanjutkan tidurnya. Karena rasa kantuk masih menyerangnya.

Saat ia sedang berjalan menuju kamar, tak sengaja ia melihat pintu ke arah belakang rumahnya masih terbuka.

Bi Ira lupa nutup nih, pikirnya.

Ia pun mendekati pintu tersebut dan berniat untuk menutupnya, tapi niat tersebut ia urungkan saat melihat bayangan pria dari luar sana. Pikiran negatif pun mulai menyerang, takut-takut ada pencuri yang masuk kedalam rumahnya.

Ia menelan saliva dan memutuskan untuk menghampiri bayangan tersebut untuk memastikan siapa pria itu.

"Papa?" Panggilnya. Ia pun bernafas lega, setidaknya bukan pencuri yang akan mencuri dirumahnya.

"Loh kamu? Kok belum tidur?" Tanya Alvin. Saat ini pria itu tengah duduk di sebuah kursi panjang berbentuk ayunan yang berada di tepi kolam renang.

"Aku baru bangun pa" Diva menghampiri Alvin dan duduk disamping pria berumur kisaran 40 tahunan itu. "Kok Papa belum tidur?" Tanya Diva balik.

"Papa belum ngantuk"

Diva mengangguk paham, selanjutnya tidak ada percakapan lain diantara keduanya. Mereka sama-sama sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Diva beberapa kali melirik ke arah Papa nya itu, jelas sekali kalau pria itu sedang melamun.

"Papa ada masalah ya?" Tanya anak gadis itu. Ia mengayun-ayunkan kakinya sembari menatap Papa nya, menunggu jawaban.

"Enggak. Sok tau kamu" Alvin terkekeh.

Diva mengerucutkan bibirnya, kesal dugaannya salah.

Suasana hening kembali tercipta, dan lagi-lagi Alvin kedapatan sedang melamun.

"Apa Papa bahagia?"

Mendengar kembali pertanyaan Diva, Alvin langsung menoleh menatap putrinya. Diva menegak kan badanya, merasa bersalah bertanya seperti itu.

Alvin kemudian tersenyum menatap putri satu-satunya di keluarga besar Ishara.

"Sini!" Alvin menarik Diva duduk dipangkuan pria itu. gadis itu pun menurut duduk di pangkuan Papanya yang dulu biasa ia lakukan saat masih duduk dibangku sekolah dasar.

"Ih Papa! Aku kan udah SMA, aku udah gede Pa!" Rengek Diva.

Alvin kembali terkekeh, dengan lembut pria itu menyampirkan anak rambut Diva kebelakang telinga gadis itu, "Mau kamu udah SMA atau menikah sekalipun. Kamu tetep putri kecilnya Papa" Ucap Alvin membuat hati Diva menghangat.

"Kenapa kamu nanya begitu? Jelas Papa bahagia. Papa punya Bunda, punya kamu, punya Bang Rio. Kalian semua buat Papa bahagia" Diva tersenyum haru dan langsung menghambur kepelukan Alvin.

Cukup lama, gadis itu pun melepas pelukanya. Ia menatap serius ke arah Papa nya bertanya sesuatu. "Pa! Apa harus ngerasain sakit ya kalau cinta sama seseorang?"

"Papa lupa, anak Papa sekarang udah besar ya. Udah tau cinta-cintaan bahkan udah punya pacar" Alvin mengusap lembut rambut panjang putri bungsunya itu.

"Pa! Aku nanya serius" Diva mengerucutkan bibirnya.

"Iya sayang Papa juga serius. Begini..." Alvin sedikit membenarkan posisi duduknya sebelum melanjutkan perkataan nya. "Cinta itu gak selama nya indah. Ibarat masakan gak selamanya akan terasa nikmat, pasti ada pahit dan asinya sama kayak percintaan. Kamu jangan jadiin itu sebagai alasan retaknya sebuah hubungan. Tapi, itu jadi tolak ukur kamu seberapa kuat kamu mempertahankan"

Diva menunduk, perkataan Alvin benar-benar menyentuh hatinya. "Gimana kalau yang mempertahankan itu cuma sepihak?" Tanya nya lagi.

"Gampang, angap aja itu seperti. Hm, surat"

"Surat?" Diva mengernyit bingung.

"Iya Surat. Ibaratnya kalau kamu berkomunikasi pakai surat itu harus ada feedbacknya atau umpan baliknya supaya bisa di katakan komunikasi. Bergitu pun sama kasus percintaan. Harus ada umpan baliknya supaya bisa dikatakan hubungan. Jadi dalam sebuah hubungan gak akan berhasil kalau yang berjuang hanya satu pihak, dari pada kamu berjuang lebih baik kamu belajar untuk melepaskan"

Diva terdiam. Apa ia harus melepaskan Fabian?

"Emangnya siapa yang berani nyakitin putri kecil Papa?" Alvin menatap tepat di kedua mata putri bungsunya, ia tersenyum "Menangislah karena Papa, kamu boleh nangis kalau seandainya Papa nyakitin atau ninggalin kamu"

Alvin mengusap kembali rambut Diva. "Tapi jangan pernah kamu menangis karena pria di luar sana. Papa berani sumpah Div, gak akan Papa biarin kamu nangis karena seorang pria selain Papa. Papa kamu sendiri aja berusaha untuk gak pernah nyakitin kamu, jadi gak ada hak pria manapun buat nyakitin kamu"

Ucapan Alvin berhasil membuat mata Diva berkaca-kaca. "Papa yang mencintai kamu pertama kali" Alvin mengambil tangan Diva dan mengenggam nya erat "Papa yang menggandeng tangan kamu pertama kali. Ini yang Papa takutin suatu hari nanti kalau Papa udah ga ada. Papa takut melepas kamu ke pria yang salah, Papa percaya dia bisa jagain kamu tapi gak tau nya dia malah nyakitin kamu. Enggak boleh ada satu pria pun yang boleh nyakitin hatinya putri kecil Papa"

Diva menangis mendengar semua ucapan kasih sayang Papa nya itu. "Hiks! Papa gak boleh pergi! Diva sayang sama Papa" Diva langsung menghambur kepelukan Alvin.

Alvin membalas pelukan putrinya itu. "Papa jauh lebih sayang sama kamu, putri kecilnya Papa"

tbc

Maaf kalo chapter ini gak sesuai keinginan kalian ya. KALIAN LUAR BIASAA aku ambyar liat antusias kalian di chapter sebelumnya.