webnovel

~ 11 ~

Ada kalanya aku lelah dengan sikap mu, kamu meminta ku untuk bertahan tapi sikap kamu seolah olah minta di lepaskan

.........

Setelah mendapat kabar dari Farel tentang keadaan Diva yang pingsan dan sampai sekarang masih belum sadarkan diri, Riza dan Zuma bergegas menuju UKS setelah mendapatkan izin dari guru yang sedang mengisi jam pelajaran di kelas mereka. Mereka khawatir setengah mati dengan kondisi teman nya itu, mereka sudah menduga kalau gadis itu pasti terlambat.

"Rel! Gimana?" Tanya Riza yang baru saja menginjakan kaki di UKS kepada Farel yang sedari tadi menemani Diva. Farel beranjak dari tempat duduknya membiarkan Riza yang menggantikannya.

Pria bernama Farel itu menggelengkan kepalanya, selanjutnya ia berkata "Dia udah di tanganin sama anak PMR tadi, tapi belum sadar juga"

"Ini anak kok bisa pingsan sih? Kronologinya gimana?" Sahut Zuma menatap Farel.

Farel mengambil botol minyak angin yang ada di nakas sebelah ranjang yang Diva tiduri, dan memberikan nya kepada Zuma. Minyak angin itu yang digunakan oleh anak PMR tadi untuk menyadarkan Diva, tapi nihil perempuan itu belum sadar juga.

Zuma meraih minyak angin tersebut. Dengan telaten wanita itu mengolesi minyak angin di kening Diva. Kemudian mendekatkan minyak angin tersebut ke indra penciuman Diva agar di hirup wanita itu dan dapat menariknya menuju alam sadar.

"Dia sama Fabian tadi telat. Gue ketemu sama mereka di parkiran. Terus, kita di suruh Bu Lisa baris di lapangan sama anak-anak yang telat juga. Eh pas gue mau ke ruang BK di suruh sama Bu Lisa, nih anak udah gak sadar" Jelas Farel.

Riza hanya ber-oh-ria tangan wanita itu meraih tangan Diva dan menggosokan nya untuk menyalurkan rasa hangat di tubuhnya.

"Tunggu, tunggu! Tadi lo bilang dia sama Fabian?" Zuma memicing melirik ke Farel.

Mendadak, Farel menjadi kelimpungan. Pria itu merutuki kemana perginya Fabian yang sampai saat ini belum kemari juga.

"I-Iya" Farel menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali karena kebingungan harus menjawab apa.

"Terus, kemana Fabian nya?" Tanya Zuma, lagi.

Riza ikut menoleh melirik Farel menunggu jawabannya.

"Hm, anu. Dia..." Farel menggantungkan kalimatnya dan langsung mendapatkan tatapan sengit tak bersahabat dari Zuma dan Riza.

"Anu kenapa? Anu lo ke jepit?" Sahut Riza gemas.

"Ngomong yang bener dong bego! Mana Fabian? Lo bilang dia telat kan bareng Diva?" Sarkas Zuma tak peduli posisi Farel yang satu tingkat di atas Zuma, alias seniornya. Jika menyangkut tentang temanya wanita itu tidak akan main-main, dia akan melawan siapa saja yang berusaha menyakiti temanya, baik Riza maupun Diva.

Riza bangkit dari duduk nya dan beranjak mendekati Zuma, berjaga kalau sewaktu-waktu temanya ini akan meledak.

"Ck! Gue bingung jelasinya" Farel menggaruk rambutnya kesal. Ia bingung, tidak mungkin ia bilang kalau Fabian pergi mengejar Jenisa. Bisa-bisa ia di garuk oleh singa di hadapanya ini.

"Coba lo jelasin pelan-pelan" Pinta Riza. Berbeda sekali dengan Zuma, Riza terkesan lebih dewasa dalam menghadapi permasalahan. Tidak seperti Zuma yang bawaan nya seperti ingin meledak-ledak.

"Pas tau Diva pingsan, Fabian langsung gendong Diva ke UKS ya gue ikutin. Terus pas dijalan dia di panggil Jenisa. Gak ada angin gak ada ujan, tiba-tiba tuh anak pergi gitu aja. Fabian langsung kasih Diva ke gue, abis itu dia ngejar Jenisa" Ucap Farel sejelas-jelasnya tanpa terpotong sedikit pun.

"Bangsat! Ngapain dia ngejar tuh anak!" Geram Zuma. Tangan wanita itu mengepal kuat menahan emosi. Dia tak habis pikir dengan jalan pikiran nya Fabian, si bodoh itu.

"Jenisa siapa lagi?" Tanya Riza.

"Lo gak kenal dia? Emang Diva gak pernah cerita?"

Kedua nya menggeleng kompak.

Farel menghembuskan nafas nya kasar "Dia cewek yang kalian liat waktu di kantin. Dia yang duduk di samping Fabian"

Zuma dan Riza mebelalakan matanya tak percaya. Amarah Zuma sudah sampai di puncak kepala dan siap untuk di ledakkan. Jadi perempuan itu yang membuat Diva murung, mereka menyesali Diva yang tidak kunjung membayar hutang penjelasan kepada mereka.

"Dasar jalang! Dimana dia?"

"Tenang Zum! Kita tunggu Fabian kesini aja" Untung saja Riza berhasil menahan Zuma yang hendak mencari keberadaan Fabian dam Jenisa, kalau tidak sudah di pastikan wanita bernama Jenisa itu akan mati kutu menghadapi amarah Zuma.

"Gimana gue bisa tenang. Gue kesel sama Fabian, mau nya apa sih tuh cowok"

"Iya tau gue. Sabar Zum" Berhasil, Zuma sudah lumayan tenang lewat deru nafasnya yang kembali berhembus normal.

Farel menghembuskan nafas lega. Tersenyum tipis ke arah Riza, seolah-olah mengucapkan terimakasih kepada Riza yang telah berhasil menahan Zuma. Riza yang paham akan arti senyuman Farel yang di layangkan kepadanya pun mengangguk kecil dan membalas senyuman pria itu.

Farel kembali melihat ke arah Diva. Mata wanita itu bergerak gelisah, ringisan kecil terdengar dari bibir wanita itu. Tak lama kedua matanya terbuka, ya! Gadis itu sudah sadar.

"Div?" Panggil Farel yang berhasil membuat kedua teman Diva menoleh kearah Diva yang baru saja sadar.

Ketiga nya bergerak lebih mendekat kearah Diva dengan mengelilinginya. Dengan wanita itu yang masih nampak terlihat pucat.

"Div? Lo gapapa?" Tanya Riza.

"Apanya yang sakit?" Tanya Zuma kemudian saat melihat sahabatnya itu tengah memijat keningnya disertai ringisan dari bibir gadis itu.

"Kepala gue sakit..." Lirih Diva.

Saat Diva hendak bangkit untuk merubah posisinya, Riza sudah lebih dulu membantunya "Pelan-pelan Div"

Riza menahan Diva dengan wanita itu berposisi duduk, sementara Farel dengan cepat memperbaiki posisi bantal nya agar Diva bisa bersandar disana. Perlahan, Riza menyenderkan tubuh lemas Diva di ranjang dengan bantalan yang sudah Farel atur tadi.

Zuma meraih teh hangat yang di sediakana anak PMR di atas nakas. "Minum dulu nih" kemudian membantu wanita itu membantu Diva untuk meminum teh tersebut.

"Kok lo bisa pingsan sih Div?" Tanya Riza penasaran.

"G-gue gak sarapan" Jelasnya, keadaan Diva masih terawang-awang belum sepenuhnya sadar.

"Kenapa bisa?" Tanya Riza, lagi. "Bunda lo gak nyiapin lo sarapan?"

Diva menggeleng. "Nyiapin kok, tapi gue gak sempet. Soalnya Fabian udah Jemput"

Mendengar nama Fabian, tangan Zuma kembali mengepal. Ia bersumpah serapah akan memukul Fabian tepat di hidung mancungnya itu.

"Mau gue beliin roti Div?" Diva menoleh kearah Farel, tersenyum tipis lalu menggeleng. Menolak halus tawaran dari pria itu.

Dalam hati, Diva bersyukur memiliki teman yang baik dan sangat perhatian kepadanya. Wanita itu melirik teman nya satu persatu, mencari satu-persatu, ia mencari seserorang siapa lagi kalau bukan Fabian.

Tahu jika Diva mencari Fabian. Riza dan Farel saling bertatapan mengisyaratkan sesuatu.

"Fabian nya mana?"

"Fabian lagi ke kelas tadi se-" Belum sempat Farel menjawab. Zuma sudah lebih dulu memotong pekataanya.

"Sebenernya apa sih tujuan lo sembunyiin ini dari gue sama Riza? Kita udah tau kalau Fabian sama Jenisa itu pasti ada main-?"

Sontak Farel dan Riza dibuat kelagapan. Mereka ingin menyembunyikan hal tersebut dari Diva, mereka tidak ingin Diva tahu. Tapi Zuma sudah lebih dulu mengatakannya.

"Fabian mana?" Potong Diva degan nada setengah membentak. Mata wanita itu sudah mulai terlihat berkaca-kaca. Jangan bilang...

"Dia lagi sama Jenisa" Sambung Zuma dengan nada santai.

***

"Je! Tunggu!" Berhasil, pria itu berhasil menahan lengan wanita yang sedari tadi ia kejar. Dengan lembut pria itu membalikan tubuh gadis yang di hadapanya menghadap kearahnya.

"Gue bisa jelasin!" Sambung pria itu.

"Jelasin apa kak?! Kenapa kakak tolongin dia?" Tanya Jenisa kesal.

"Dia tadi pingsan, masa iya gue diemin"

"Tapi tadikan ada kak Farel, kenapa gak kak Farel aja yang gendong dia? Harus banget kakak ya?"

"Ck! Je! Jangan kekanakan lah!" Geram Fabian ia menurunkan tangan nya dari lengan Jenisa. Menatap lurus ke arah gadis itu.

"Diva kan namanya?"

Fabian diam, tak menjawab. Pria itu hanya menatap gadis itu. Bungkam, tidak berkata apapun.

Jenisa tertawa sumbang, wanita itu tersenyum miring. "Dia kan yang nelpon kakak waktu kita jalan semalam? Aku liat id caller nya, Diva. Nama cewek yang tadi kakak gendong itu kan?"

Fabian memutar bola matanya kesal. Pria itu bertolak pinggang, memalingkan wajahnya dari gadis itu.

"Kenapa diem aja kak? Bingung mau ngelak gimana?"

Fabian menggaruk kepalanya kesal, ia menggeram dan kembali menatap ke arah gadis itu. "Mending lo balik ke kelas gih"

Jenisa melongo, menatap Fabian tak percaya. "Kok kakak malah nyuruh aku pergi? Kasih tau aku dulu kak siapa Diva?" Gadis itu masih kukuh meminta penjelasan dari Fabian.

"Je! Jangan bikin gue kesel, mending lo sekarang balik ke kelas!" Fabian memutar badanya 180 derajat bersiap meninggalkan wanita itu. Tapi dengan sigap wanita itu malah menahan tanganya.

"Kak! Jangan pergi dulu! Jelasin ke aku, Diva itu siapa kakak?" Bukan Jenisa namanya kalau tidak keras kepala. Ia harus mendapatkan penjelasan dari Fabian dulu baru ia akan diam.

Fabian kembali menggeram kesal, ia berbalik dan dengan kasar menghempas tangan wanita itu dari lengannya. "JE!" Fabian membentaknya, matanya menatap tajam ke arah Jenisa yang mendadak mati kutu mendapat bentakan dari Fabian.

Jenisa yang terkejut dengan bentakan Fabian perlahan melepaskan lengan pria itu, dan mundur secara berangsur. Mata nya mulai berair tak siap dengan bentakan itu.

Fabian menarik nafas nya dalam-dalam dan menghembuskan nya perlahan, ia memejamkan matanya sebentar mencoba mengontrol emosinya. Pria itu kembali membuka matanya menatap lembut ke arah wanita itu.

"Je, Sorry! Gue gak maksud" Saaat Fabian hendak meraih lengan wanita itu, Jenisa sudah terlebih dahulu menghempasnya. Wanita itu menangis kemudian meninggalkan Fabian.

"Ck! Bangsat!" Merasa kesal Fabian menendang kasar sebuah batu yang ada didepanya. Ia meremas rambutnya seraya menggeram. "Kenapa sih hal yang berhubungan sama cewek itu ribet?" Keluhnya.

Lelaki itu terlihat sedikit berantakan, seragamnya yang kusut dan rambut tebal nya yang acak-acakan. Seolah mengingat sesuatu pria itu melirik ke arah jam tangan nya dan menggumam. "Diva..."

Kemudian pria itu berlari tergesa-gesa menuju UKS tempat dimana ia meminta Farel membawa gadis itu kesana.

***

Ruangan itu tampak Hening, hanya ada Diva, Riza dan Zuma. Farel barusan pergi untuk meminta izin agar Diva dapat di pulangkan.

Mereka masih bergelut dengan pikiranya sendiri. Dengan Fabian sebagai pemeran utamanya. Memori gadis itu kembali berputar beberapa menit yang lalu. Tepatnya saat ia menanyakan keberadaan Fabian, gadis itu sempat tidak percaya dengan ucapan sahabatnya sendiri yaitu Zuma, tapi hal itu di perjelas dengan penuturan Farel dan sudah di pastikan hatinya tersayat mendengar itu semua.

Zuma juga membentaknya tak lama setelah itu, ucapan tajam Zuma masih terngiang di telinganya,

"Lo mau bego sampe kapan Div? Waktu awal lo sama Fabian pacaran, lo pergokin dia anterin junior basketnya, cewek yang katanya hits di SMA Nusa bangsa. Tapi lo dengan gamblangnya percaya sama alibi tuh cowok bangsat. Dua bulan setelah itu, gue masih inget betul waktu kita lagi jalan bareng ketemu Fabian sama anak baru di kelasnya yang langsung jadi most wanted di sekolah kita, dan lagi lagi lo diemin! Dan sekarang apa? Dia lebih milih ngejar adek kelas sialan itu dari pada nolongin lo yang jelas- jelas pingsan karena lo bela-belain ga sarapan karna cowok lo brengsek itu!"

Setelah mengatakan itu suasana mendadak hening, tak ada yang bicara baik Zuma ataupun Riza.

Pintu UKS terbuka, masuklah Farel dengan sebuah surat di tanganya. Pria itu dapat merasakan aura canggung di antara ketiga wanita itu. Entah ada apa, Farel tidak tahu sama sekali.

Farel mendekat ke arah Diva, kemudian menyerahkan surat yang di bawanya tadi. "Nih Div surat izin nya, lo dapat Izin dari Bu Lisa buat pulang"

Diva meraihnya dan tersenyum. "Makasih kak" yang dijawab anggukan oleh Farel.

"Lo mau pulang sama siapa Div?" Tanya Riza membuka suara di antara ketiganya.

"Sendiri, mungkin"

"Gue telpon bunda lo ya?" Tawar Riza.

"Jangan! Hm, maksud gue gak usah. Gue takut bunda khawatir"

Riza mengangguk paham, kemudian gadis itu melirik ke arah Farel ."Pulang sama Farel aja gimana?"

"Eh gak bisa! Gue bawa motor, mau terbang nih anak"

"Oh iya ya! Terus gimana?"

"Gue yang bakal anter Diva pulang" Ucap Arsen yang baru saja masuk ruang UKS. Arsen langsung berjalan, memposisikan dirinya tepat di samping Diva.

"Nah tuh dia anaknya, gue dah minta tolong Arsen buat anterin Diva" Jelas Farel. Riza pun mengangguk.

"Gue anterin pulang ya?" Ucap Arsen lembut, seketika Diva terpana dengan wajah tampan milik Arsen. Sadar, wanita itu langsung memalingkan wajahnya.

"Gak usah kak, aku takut ngerepotin"

"Gak ada yang lo repotin, tenang aja"

Diva bingung harus menerima tawaran Arsen atau tidak. Jika wanita itu menolak ia bingung harus pulang dengan siapa. Tidak mungkin ia naik angkutan umum, bisa-bisa ia akan pingsan lagi. Diva pun meangguk setuju.

Farel dan Riza pun bernafas lega. Setidaknya Diva terjamin tidak akan kenapa-kenapa karena ia akan di antar Arsen.

Lantas dengan sigap Arsen membantu Diva bangkit dari tempat tidurnya, dengan Farel dan Riza menjaga di belakang Diva.

"Lo anterin Diva baek-baek ya, ntar gue yang izinin ke Pak Haris" Ujar Farel. Memang dia lah yang meminta agar Arsen untuk mengantar Diva pulang. Kebetulan hanya dia lah dari ketiga temanya yang membawa mobil ke sekolah.

"Sip. Makasih ya!" Farel mengganguk sembari mengacungkan ibu jarinya.

Riza meraih tas sekolah Diva dan menyampirkan nya ke bahu Diva. Gadis itu menepuk pelan bahu Diva dan berkata. "Sampe rumah langsung istirahat Div, biar gak makin parah. Minum obat juga jangan lupa"

Diva tersenyum mendengar titah sahabatnya itu "Makasih ya Riz"

Riza mengangguk dan membalas tersenyum.

Diva mengedarkan padangan nya memandang Zuma yang bersedekap dada, wanita itu hanya memperhatikan Diva dalam diam. "Makasih ya Zum" Ucapnya walau hanya anggukan tak berarti yang di hadiahi gadis itu.

Arsen dengan telaten memapah Diva meninggalkan UKS menuju ke arah parkiran. Wanita itu masih bisa berjalan walau sedikit lemas dan agak sempoyongan maka dari itu Arsen memutuskan untuk memapahnya.

"Mau gue gendong Div?" Tawar Arsen setengah menggoda kepadanya.

"Eh! Jangan Kak. Aku berat!" Jawab Diva polos. Arsen sekuat tenaga menahan tawanya mendengar jawaban polos dari pacar sahabatnya ini.

Lucu juga nih cewek¸ batin Arsen.

"Awas hati-hati" Tangan Arsen mengadah diatas kepala Diva menghindari kepala gadis itu terbentu pintu mobil. Setelah memastikan Diva telah nyaman di kursi penumpang, setengah berlari Arsen berlari mengelilingi mobil dan masuk di kursi pengemudi.

"Nanti lo arahin ya jalanya. Gue kan gak tau rumah lo" Arsen mulai menstarter mobilnya, memasang gigi mobil tersebut kemudian menancap gas keluar dari area sekolah.

"Ok kak"

"Farel bilang lo belum sarapan Div?" Arsen menoleh ke arah Diva yang tengah menyandarkan tubunya pada jok mobil. Wajah wanita itu masih terlihat pucat dan matanya sedikit memerah akibat menangis tadi.

"Iya kak..." Jawab wanita itu sekenanya.

"Mau makan dulu?"

"Hm, gak usah kak. Aku mau cepet-cepet istirahat di rumah aja"

"Ok..." Arsen kembali fokus menyetir mobilnya menuju rumah Diva. Beruntunglah jalanan saat ini sangat lenggang karena saat ini bukan termasuk jam sibuk yang akan mengakibatnya kemacetan.

Tanpa mereka sadari sebuah mobil dengan kecepatan tinggi berada tepat di belakang mobil mereka. Dengan si pengendara memancarkan aura kemarahanya terlihat dari rahangnya yang mengeras dan cara pria itu mencengkram kuat stir mobil tersebut.

Cit..

Arsen dengan sigap menginjak rem mobil nya saat mobil itu berhasil menyalip mobil arsen kemudian menghadang mobil tersebut dengan memblokadenya.

"Bangsat!" Umpat Arsen.

Beruntunglah pria berambut sedikit ikal itu menginjak rem nya tepat waktu sebelum mobil di hadapanya itu terhantam oleh mobilnya. Arsen langsung menoleh ke arah Diva memastikan keadaan wanita itu. "Lo gapapa?" Tanya Arsen dengan nada khawatir.

Tampaklah wajah Diva yang semakin memucat akibat kejadian barusan. Gadis itu hanya mengangguk dengan nafasnya yang tidak beraturan serta irama detak jantungnya yang berdetak sangat kencang karena tak kalah terkejut dari Arsen.

Arsen kembali mengedarkan pandangan nya pada mobil tersebut. Sedetik kemudian pria itu kembali di buat terkejut karena mengenali mobil itu lebih tepatnya mengenali pemilik mobil itu...

Fabian.

Tbc

Hai gais. Kalian tau aku bener-bener terharu sama antusiasme kalian di chapter sebelumnya. Sumpah ya itu komentar terbanyak selama aku buat cerita. Kalian luar biasa sekali sampe aku gak bisa berkata-kata.

APA CUMA AKU DISINI YANG KESEL SAMA JENISA? Adakah yang sama? Mari membahasnya di kolom komentar dan jangan lupa tinggalin jejak kalian ya!!! love u so much gais

See next chap!