Kekesalan Azam hampir meledak, ia sudah mengepalkan kedua tangannya hingga sampai jari-jari kukunya memutih. Wajahnya sudah terlihat berapi-api, tatapan matanya terlihat sangat tajam dan menakutkan.
Siapa pun yang melihatnya pasti akan langsung kabur seketika itu juga. Tapi sosok Azam laki-laki yang lain dari pada yang lain. Dia akan membiarkan ibu tersebut memaki dirinya jika marah besar terhadapnya, Azam tidak peduli lagi dengan perasaannya. Azam ingin tetap terlihat tenang, lalu ia pun menampakan senyuman manisnya kepada ibu tersebut yang sedang menatapnya dengan begitu sinis.
Azam sebenarnya bingung harus melakukan apa, haruskah dia meladeni ibu tersebut? Atau dirinya harus menerima apapun yang dilakukan ibu muda itu padanya tanpa perlawanan? Azam menghembuskan nafasnya dengan begitu kasar, ia tidak ingin membuat dirinya sangat pusing hanya karena masalah hal yang sepele dan akhirnya Azam memutuskan untuk membiarkan ibu tersebut berkata apa saja tentang dirinya, ia akan tetap menerima semuanya dengan lapang dada.
Sewaktu Azam akan berdiri lebih dekat dengannya. Tiba-tiba saja ibu itu langsung saja merentangkan tangannya kedepan. Dia melarang Azam untuk mendekat.
Sesekali Azam tersenyum, sesekali juga dia mengertakan giginya. Sementara si ibu mengepal-ngepalkan tangannya.
Sepertinya saat ini akan terjadi perang dingin antara mereka berdua.
Tidal lama kemudian, Azam mendapatkan sebuah injakan dikakinya. Si ibu menginjak kaki Azam tepat dibagian kaki yang terluka. Sontak saja Azam langsung meringis ngilu. Sakit sekali, Azam sampai merasakan mual.
Bagi si ibu, injakannya itu sangat pelan. Tetapi lain lagi dengan Azam yang merasakannya. Tidak disangka air mata Azam sampai menetes.
'Ini begitu sakit. Aku tidak kuat. Bisa Azam! Kamu bisa menahan rasa sakitnya. Tahan, jangan sampai ambruk'. Batin Azam.
Si ibu semakin menatap sinis Azam.
"Heleh, lebay sekali. Laki kok lemah. Cuman diinjak dikit aja nangis."
Mungkin si ibu lupa bahwa kaki Azam sedang terluka sehingga membuatnya menginjak luka dikaki Azam.
"Ibu apa-apaan sih? Kenapa maen injak-injak kaki saya? Ibu tidak lihat kaki saya sedang sakit. Lihat, Bu, kaki saya berdarah, dan darahnya semakin banyak yang keluar akibat ulah Ibu."
Azam akhirnya terpancing emosi.
"Biasa saja, tuh. Lukanya ga besar-besar amat. Dasar lebay!"
"Arghhh ..." hanya dapat memukul-mukul pahanya sendiri. Azam tidak berani jika harus berlaku kasar kepada seorang wanita yang sudah berumur.
"Sekarang, Ibu maunya apa? Tolong Bu, jangan buat saya marah."
"Saya tidak mau apa-apa, termasuk uangmu. Nih ambil!"
Si ibu melemparkan uang dua ribuan sebanyak 4 lembar itu kewajah Azam.
Perbuatan yang terkesan kurang sopan yang dilakukan si ibu, membuat Azam harus kembali menahan emosinya. Kembali memberikan senyum. Azam memunguti uang dua ribuan tersebut, lalu langsung pergi dari sana secepat mungkin.
Ditengah jalan, Azam tidak sengaja melihat seorang pemulung. Dia merasa begitu kasihan. Apalagi pemelung tersebut menggendong seorang bayi.
Dimalam hari yang sangat dingin seperti ini, bukankah tidak baik jika seorang bayi berada diluaran.
'Kasihan sekali. Pasti bayinya sangat kedinginan'. Batin Azam.
Azam melihat uang dua ribuan yang tadi dilemparkan si ibu pemilik toko. Lalu Azam mengeluarkan dompetnya dan mengambil uang berwarna biru untuk menambahkan uang dua ribuan yang hanya 4 lembar itu.
"Semoga saja kali ini perbuatan tulusku tidak disalah artikan kembali oleh orang lain," ucap Azam. Dia teringat kejadian tadi dengan si ibu pemilik toko.
Azam mendekat dan menyapa pemulung tersebut.
"Permisi, Bu," sapa Azam ramah.
"Iya, ada apa? Apa saya tidak boleh mengambil barang rongsok di sini? Tolong, tolong maafkan saya. Sungguh saya tidak tahu," ucap pemulung itu ketakutan. Dia berfikir Azam akan memarahinya dan melarangnya memulung didaerah tersebut.
"Bukan Bu, bukan begitu. Saya hanya ingin memberikan sedikit rezeki untuk, Ibu."
Sontak pemulung itu langsung merasa terkejut. Dia tidak menyangka akan mendapatkan rezeki secara tiba-tiba. Dan juga cukup banyak baginya. Biasanya dia hanya mendapatkan uang sebanyak lima belas ribu saja kurang lebih dari hasil memulung.
"Tapi saya tidak berani mengambil uang itu, saya takut," tolaknya.
"Kenapa? Ambillah! Saya ikhlas, ini rezeki Ibu dari Tuhan. Saya hanya sebagai pelantara saja."
Seketika itu juga pemulung tersebut langsung mengambil uang yang disodorkan Azam padanya. Dia tidak peduli dengan apapun, yang penting saat ini adalah uang.
Bukannya mengucapkan terimakasih, pemulung tersebut langsung berlari. Dan tanpa sengaja luka Azam terinjak kembali.
"Aww ..." Azam meringis kesakitan.
Luka Azam semakin parah. Darah semakin banyak yang keluar. Azam memejamkan matanya, menahan rasa sakit.
"Sepertinya aku tidak ditakdirkan untuk berbuat baik. Semakin aku baik, semakin aku terluka. Eh, tidak deh, aku tarik ucapanku. Aku akan terus berbuat baik walau tak dihargai dan justru kebaikanku berbalas kejahatan dari orang lain, aku akan tetap baik. Hehe," tutur Azam berbicara sendiri.
Lalu Azam kembali melanjutkan perjalanannya. Ia ingin segera kembali, tapi sepertinya tidak mudah untuk bisa cepat kembali. Azam sudah berjalan cukup jauh dari penginapannya tadi.
Sekarang sudah semakin malam, kantuk dan rasa lapar sudah mulai dirasakan Azam. Apalagi dia harus menahan sakit dikakinya dan juga harus sedikit bersabar menahan lelah.
Azam berjalan dengan langkah gontai. Dia pasrah saja, tidak apa jika harus sampai telat. Percuma juga dia ingin cepat, tapi tenaganya mulai terkuras. Tapi Azam juga khawatir pada Isabel, dia takut Isabel terlalu lama menunggu. Pasti Isabel sangat membutuhkan pembalutnya. Dia juga ingat bahwa Isabel belum makan dari tadi pagi, sama sepertinya. Dan Azam juga yakin bahwa Isabel pasti sudah sangat mengantuk.
"Maafkan Mas, Isabel. Kamu jadi harus nunggu lama gara-gara, Mas. Pasti kamu sudah kesulitan di sana. Kamu juga pasti lapar dan ngantuk. Tunggu ya, Isabelku. Tidak lama lagi, Mas akan sampai."
Terkadang Azam kembali bersemangat untuk berjalan jika mengingat Isabel. Tetapi ia juga kembali tak bersemangat jika rasa sakit dan lelahnya semakin menjadi.
"Harusnya tadi aku beli sandal dulu. Seandainya penjualnya tidak galak seperti si ibu tadi, pasti aku akan ingat untuk membelinya. Sekarang telapak kakiku makin sakit. Uh, jempol kakiku juga berdenyut."
"Aku haus. Aku sangat haus," terang Azam.
"Tidak mungkin disekitar sini ada yang jualan air. Ini jalanan sepi," lanjutnya.
Azam berjalan dan terus berjalan. Langkah demi langkah kakinya terasa berat. Keringat mulai bercucuran didahi dan pelipis Azam. Dia usap keringatnya dengan menggunakan lengan bajunya. Bibirnya sekarang terlihat pucat. Tatapan matanya sendu, seperti orang yang tak memiliki gairah.
Udara malam hari semakin dingin, Azam begitu kedinginan. Anginnya sangat kencang sampai menusuk ketulang. Azam mulai menggigil dan gemeteran.
Azam tidak memperdulikan kondisinya sekarang. Saat ini justru dia sedang memikirkan Isabel. Dia takut Isabel kenapa-napa di sana saat ia tinggalkan sendirian.
Azam menggosok-gosokan kedua telapak tangannya agar memberikan kehangatan. Setelah itu dia menepelkan telapak tangannya dipipi dan dahinya. Azam melakukan hal itu terus menerus. Sedikit membantu, Azam sedikit merasakan hangat, tapi tetap saja tidak dapat menghilangkan rasa lelah dan sakitnya.
"Aww ... ssshh ..." Azam berdesis nyeri. Luka dikakinya kembali terkena benda tajam. Kerikil kecil tapi cukup tajam mengenai luka Azam.
Darah yang awalnya sudah mengering, kini bercampur dengan darah segar yang menetes kembali diluka Azam.