webnovel

Plagiat Cinta

Sinopsis Kisah seorang suami yg tak pernah dihargai dan dicintai, mencoba untuk mendapatkan hati istrinya dengan berbagai cara dan upaya. Dia bahkan rela berprilaku seperti mantan suami dari sang istri. Memberikan cinta yang sama seperti yang diberikan mantan suaminya dulu. Mungkinkah dia akan mendapatkan cinta istrinya? Atau justru hubungan mereka berdua akan berujung dengan perpisahan? Cerita cinta Azam dan Isabel dibalut dengan konflik keluarga yang tak kunjung berakhir. "Plagiat? Apa aku tidak akan mendapat masalah karena menjadi seorang plagiat?" Azam. "Aku menyukai caramu mencintaiku. Tapi apakah kamu bisa mencintaiku dengan caramu sendiri? Tanpa harus melakukan plagiat cinta?" Isabel.

Euis_2549 · 都市
分數不夠
363 Chs

Disuapi

Isabel mengangkat bantalnya keudara untuk melancarkan aksinya. Tanpa membuang waktu lagi, Isabel langsung memukul-mukul Azam menggunakan bantal tersebut.

"Aw ... aw ... aw ... Isabel hentikan, Mas mohon hentikan. Kamu mau Mas beneran pingsan? Atau kamu memang mau Mas mati?" ucap Azam mencoba menakut-nakuti Isabel dengan perkataannya.

"Bodo amat, aku ga peduli. Mas Azam ngeselin. Aku sudah beneran takut, tapi nyatanya Mas Azam cuma bohongan. Aku benar-benar marah sama, Mas," jelas Isabel.

"Iya, Mas, 'kan sudah minta maaf sama kamu. Jadi hentikan, jangan seperti ini, Mas lagi sakit," ucap Azam.

Isabel tidak menghiraukan perkataan Azam. Isabel tetap memukul Azam dengan bantal.

"Isabel, Mas bisa pingsan beneran kalau kayak gini," tutur Azam.

"Aku ga peduli. Biarin, biarin Mas pingsan," kesal Isabel.

"Nanti kalau, Mas pingsan ada yang nangis," ucap Azam. Isabel semakin kesal saja mendengar ucapan Azam. Isabel tahu siapa yang Azam maksudkan, orang yang Azam maksud itu pasti dirinya.

Isabel semakin keras memukul Azam. Dia tidak peduli lagi dengan kondisi Azam. Isabel sangat marah karena Azam telah berani mempermainkannya.

Azam pasrah, percuma saja dia melarang Isabel melakukannya. Isabel pasti tidak akan mendengarkan perkataan Azam. Akhirnya Azam membiarkan Isabel melakukannya. Jika Isabel sudah merasa lelah, pasti dia akan berhenti dengan sendirinya.

Ternyata tebakan Azam memang benar, setelah lelah akhirnya Isabel menghentikan aksi pukul memukul Azam.

"Kenapa berhenti? Ga mau mukul lagi?" goda Azam kembali.

Isabel langsung memberikan tatapan horor andalannya.

"Hehe, ampun Isabel, Mas hanya bercanda."

Azam bergidik ngeri mendapat tatapan yang begitu menyeramkan dari Isabel.

"Sumpah, Mas Azam sangat menyebalkan! Aku benci!" ucap Isabel menekankan perkataannya.

"Iya, maafkan, Mas," ucap Azam.

"Ga lucu ya, sumpah ga lucu."

"Hmm, maaf," ucap Azam sembari menjewer telinganya sendiri, persis seperti anak kecil yang sedang meminta maaf.

"Untung sedang sakit, kalau engga ... sudah habis kamu, Mas," kesal Isabel.

"Hehehe," Azam hanya cengengesan saja.

"Sudah, diam kamu, Mas," titah Isabel.

"Tapi, Isabel, Mas lapar. Mas sangat lapar, dari kemarin pagi, Mas belum sempat makan. Perut Mas sangat kosong, minta diisi," ucap Azam.

"Ya terus? Aku harus ngapain?"

"Belikan Mas, makanan. Mas mohon, Mas sudah sangat lapar," pinta Azam.

"Ga mau, beli aja sendiri," tolak Isabel.

"Tapi Mas ga bisa kemana-mana, Mas masih belum kuat. Mas sakit, Isabel," terang Azam.

"Mana ada orang sakit yang bisa bercandain orang lain," tutur Isabel.

"Itu cuma pemanasan," canda Azam.

"Tuh kan, ga ada orang sakit kayak gitu. Sudah ah, urus aja diri Mas Azam sendiri. Aku ga mau ngurusin Mas lagi."

"Yah, kok gitu sih. Lihat perut Mas sudah bunyi," ucap Azam.

"Bunyi itu didengar, bukan dilihat," kesal Isabel.

"Oh, didengar ya? Kirain dilihat. Mas baru tahu," Azam terus saja menggoda Isabel.

"Au ah, serah Mas saja," ucap Isabel.

"Beliin Mas makan. Isabel, beliin dong," pinta Azam.

"Huh, ya sudah, aku akan beliin. Bawel banget sih. Tunggu bentar. Oh ya, Mas Azam mau makanan apa?" tanya Isabel sebelum pergi untuk membeli makanan.

"Apa aja, yang penting bisa dimakan."

"Batu juga bisa dimakan," sinis Isabel.

"Kamu mau punya suami ompong?"

"Mas! Hentikan!" bentak Isabel. Entah mengapa Isabel selalu marah dan tidak suka mendengar kata suami dari mulut Azam.

"Baik, baik. Maafkan Mas, kembali," ucap Azam.

Isabel langsung pergi, tidak ingin lagi meladeni Azam.

Kini Azam hanya sendirian didalam kamar, Isabel sudah pergi keluar untuk membeli makanan. Azam merasa bosan sendirian dikamar. Tidak ada seseorang yang bisa diajak ngobrol, tidak ada Isabel yang bisa dia tatap dengan penuh cinta. Tidak ada yang bisa dia goda dengan candaannya.

Cukup lama Azam menunggu Isabel. Hingga beberapa saat kemudian, Isabel kembali dengan membawa makanan untuknya.

"Nih, ambillah! Cepat makan! Biar cepat sembuh, lalu kita pergi dari sini," tegas Isabel. Isabel memberikan makanannya pada Azam. Tapi Azam tidak menerimanya.

"Ambil, Mas!" titah Isabel.

"Tangan Mas gemetaran. Ga bisa ngambilnya. Jangankan untuk makan, untuk memegang makanannya saja rasanya sulit," terang Azam.

"Terus kalau ga bisa buat makan, kenapa harus pesan makan. Aku udah jauh-jauh beliin."

"Tapi Mas susah makannya. Mas sangat lapar. Bantu Mas untuk makan, ya," pinta Azam memohon bantuan Isabel.

"Apa? Ga, aku ga mau. Ga sudi aku bantuin Mas Azam," ucap Isabel yang kembali berkata pedas.

"Apa kamu mau, melihat Mas, mati kelaparan? Kamu mau Mas mati karena ulahmu? Apa susahnya bantu, Mas? Membantu orang itu bisa dapat pahala. Tapi kalau membiarkan orang yang kesusahan, tanpa mau membantunya, nanti kamu berdosa," ucap Azam ceramah panjang lebar.

"Hmm, ya sudah, aku memang harus bantu apa?" tanya Isabel.

"Tolong suapi, Mas," pinta Azam.

"Apa? Berani sekali kamu, Mas. Aku tidak mau!" tolak Isabel.

"Berarti kamu memang mau melihat Mas mati. Baiklah, Mas tidak masalah jika harus mati," pasrah Azam.

"Heleh, ga mungkin karena cuma ga makan sehari doang bisa langsung mati," ucap Isabel.

"Ada kok, kalau ga percaya, cari saja diinternet. Pasti ada beritanya orang meninggal karena kelaparan," ucap Azam mencoba menakut-nakuti Isabel.

Sebenarnya Isabel juga takut dengan yang Azam ucapkan. Tapi dia juga tidak mau kalau harus menyuapi Azam.

Isabel dalam dilema besar. Dia bingung, harus menyelamatkan nyawa seseorang atau mempertahankan prinsipnya.

"Bagaimana, Isabel? Sudah siap mendengar kabar kematian, Mas?"

Isabel menjadi semakin takut saja. Dengan berat hati akhirnya dia mau menyetujui permintaan Azam untuk membantunya makan dengan cara menyuapinya.

"Iya deh, iya. Aku bantuin," pasrah Isabel pada akhirnya.

"Nah gitu dong, sekarang ayo bantu, Mas. Suapi Mas," ucap Azam.

"Ck ... ih."

Isabel benar-benar ogah menyuapi Azam. Tapi dia tidak punya pilihan lain selain melakukannya. Azam mencoba untuk duduk, dia terbangun dan menyandarkan tubuhnya pada sandaran ranjang.

"Aaa ..." ucap Azam sembari membuka mulutnya.

Isabel mulai mengambil sendok dan menyiukan makanan diwadah, lalu menyuapi makanan pada mulut Azam. Saat menyuapi Azam, Isabel sama sekali tidak mau menatap wajah Azam.

Walau Azam tahu Isabel melakukannya dengan sangat terpaksa, tapi tetap saja Azam merasa bahagia. Ini pengalaman yang begitu indah. Suatu momen yang tidak dapat dilupakan dalam hidupnya.

Azam mengunyah makanannya, mencoba untuk menelannya.

"Uhuk ... uhuk ..." tiba-tiba Azam terbatuk-batuk.

"Ck, apalagi sih, Mas? Pelan-pelan dong makannya," ucap Isabel.

"Mas ingin minum," tutur Azam.

"Minum ya tinggal minum. Kenapa harus bilang keaku?"

"Tapi Mas ga bisa minum sendiri, harus dibantuin."

Isabel mengambil gelas yang berisikan air dan memberikan pada Azam.

"Buka mulutnya," titah Isabel. Azam menurut dan membuka mulutnya.

Isabel melanjutkan kembali menyuapi Azam sampai makanan didalam wadah habis tanpa sisa.