Cahaya kuning keemasan itu masih melilit di perut Ratri. Perlahan-lahan ujung cahayanya membentuk sebuah kepala ular bermahkota. Mbok Sum dan Wibi tertegun menyaksikan itu semua.
"Sepertinya lelembut ular tunggon itu yang kelak akan mengikuti kelahiran anakmu. Terjawab sudah mengapa simbokmu ini selalu menganjurkan kalian untuk menebus kesalahan kalian waktu itu," kata Mbok Sum sambil memandang tajam pada Wibi.
"Sudahlah, Mbok! Kalau kejadian itu dianggap kesalahan kami, kenapa juga bancakan dan sesajen yang Simbok buat tidak bisa menghentikan para lelembut yang mengejar Ratri? Ada apa sebenarnya, Mbok?" Tanpa rasa takut Wibi bersuara keras pada Mbok Sum sambil membalas tatapan matanya.
'Anak ini, sepertinya sudah menaruh kecurigaan padaku,' sejenak Mbok Sum terdiam mendengar pertanyaan Wibi.
"Ya sudah, kalau kamu tidak mempercayai perkataan Simbok. Kalian tanggung sendiri akibatnya!" kata Mbok Sum kemudian pergi meninggalkan Wibi.
Wibi kembali memperhatikan keadaan Ratri. Dilihatnya beberapa kali ular cahaya itu mengelilingi perut Ratri sebelum kemudian masuk ke dalam melalui pusarnya. Ratri merasakan hawa sangat dingin menusuk pusarnya dan melihat sendiri ular cahaya itu perlahan masuk ke dalam perutnya. Sesaat kemudian Wibi berhasil meraih tangan Ratri dan menahan tubuhnya agar tidak jatuh ke lantai.
Lelembut ular tunggon itu berhasil masuk ke perut Ratri! Itu semua terjadi di depan mata Wibi tanpa bisa dia cegah. Apa yang pernah dikatakan oleh Mbok Sum akan menjadi sebuah kenyataan bahwa kelahiran anak kedua Wibi kelak akan diikuti oleh lelembut yang kini telah berada dalam perut istrinya. Apa yang baru saja dialami Wibi telah menciptakan halusinasi dalam kehidupan nyata tanpa bisa dia hindari lagi.
Wibi segera membopong tubuh istrinya menuju tempat tidur. Dia membaringkan tubuh tak berdaya itu dan membungkusnya dengan selimut. Sesekali terlihat tubuh Ratri sedikit bergetar seperti menahan hawa dingin yang masih ada di tubuhnya. Matanya terpejam, tetapi bola matanya bergerak cepat seolah-olah sedang melihat sekelilingnya.
Sementara itu Wibi hanya bisa duduk termenung menunggu kondisi Ratri pulih kembali. Dia memikirkan kejadian-kejadian misteri yang telah menimpa istrinya. Setelah suara senandung yang mengganggu Ratri kini Wibi berhadapan secara langsung dengan salah satu lelembut yang selama ini hanya dia yakini saja tanpa pernah dia lihat sendiri wujud dan keberadaannya. Ular tunggon, lelembut penunggu kebun belakang rumahnya, muncul ke alam manusia dan mengganggu kehidupan keluarganya.
Wibi tak habis mengerti dengan situasi ini. Setelah dilanggarnya pantangan bepergian pada hari Selasa Kliwon dulu mengapa lelembut selalu mengganggu Ratri dan anak dalam kandungannya meskipun Mbok Sum selalu rutin membuat bancakan dan sesajen untuk meredam kemarahan lelembut tersebut.
'Apakah ini karena aku dan Ratri tidak meyakini tradisi dan ritual sesajen para leluhur? Mengapa juga Simbok selalu mendesak Ratri agar mau melaksanakan sesajen? Apakah semua ini ada hubungannya dengan tampah kecil itu dulu?'
Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk dalam otak Wibi. Dia pun teringat pada tampah kecil untuk sajen baurekso penunggu kampungnya yang disimpan Mbok Sum di dalam kamar.
Akhirnya Wibi sampai pada kesimpulan sementaranya untuk memecahkan persoalan yang sedang menimpa keluarganya.
'Mbok Sum! Ya, Mbok Sum! Perempuan tua dengan wajah awet mudanya pasti menyimpan rahasia dibalik peristiwa mistis ini!' kata Wibi dalam hati.
"Mas ... Mas Wibi ...." Tiba-tiba terdengar suara lirih dari mulut Ratri.
"Ratri, kamu telah sadar, Rat?" Wibi memperhatikan istrinya.
Ratri masih memejamkan mata meskipun dari mulutnya terdengar lirih suaranya. Wibi menggenggam tangan Ratri. Suhu hangat tubuhnya mulai terasa. Dan perlahan-lahan Ratri membuka kedua matanya.
"Mas, aku merasa capek sekali, apa yang telah terjadi pada diriku?" tanya Ratri sambil meraba-raba perutnya. Setelah itu dia mencoba untuk bangun dan duduk.
"Sepertinya ada lelembut yang mengganggumu lagi," jawab Wibi sambil memegang tubuh Ratri untuk membantunya duduk.
"Iya, Mas, aku ingat sekarang. Dan lelembut ular tunggon itu berhasil masuk dalam perutku."
"Jangan buru-buru mengambil kesimpulan seperti itu, Rat."
"Tapi aku melihat dan merasakannya langsung, Mas. Aku merasakan aliran udara sangat dingin ketika ular tunggon itu masuk ke dalam perutku!" Kembali Ratri memegangi perut besarnya.
"Bisa jadi semua itu hanya halusinasi saja. Sugesti Simbok tentang lelembut itu telah menguasai pikiran kita, Rat."
"Mas Wibi selalu saja tidak percaya. Aku yang merasakan sendiri, Mas! Dan itu sakit sekali!"
"Bukan begitu, Rat. Aku hanya merasa aneh saja dengan kejadian-kejadian yang telah menimpamu. Dan ini semua masih menjadi misteri bagiku." Wibi tidak tahu pasti apakah kejadian itu benar-benar nyata atau hanya halusinasi mereka saja.
"Mas, benarkah lelembut ular tunggon itu ada di dalam perutku? Menunggui anakku hingga kelahirannya seperti apa yang pernah diucapkan Simbok?" tanya Ratri diselimuti rasa ketakutan yang teramat sangat.
"Aku ... aku, tidak tahu, Rat! Apa kamu masih merasakan sakit yang tidak wajar pada perutmu?" Wibi balik bertanya. Ratri hanya menggelengkan kepalanya.
"Berarti ini hanya halusinasi. Halusinasi, Rat! Ya, ini hanya halusinasi!" kata Wibi berusaha meyakinkan Ratri dan dirinya. Dia menatap tajam mata Ratri.
Ratri menunduk memperhatikan perut besarnya. Dielus-elus perut itu dan dia merasakan tidak ada sesuatu yang aneh dengan perutnya.
"Lelembut itu telah masuk ke perutku, Mas. Meski saat ini aku sudah tidak lagi merasakan apa-apa, tapi aku takut jika dikemudian hari akan timbul masalah dengan anak di kandunganku ini."
"Jangan berprasangka seperti itu, Rat. Jangan sampai halusinasi ini menimbulkan kejadian nyata karena rasa ketakutan kita sendiri."
"Tapi ini bukan sekedar halusinasi, Mas! Aku merasakan sakit saat cahaya itu masuk ke perut. Bukankah lelembut itu memang ada?" Lama mata sayu Ratri menatap Wibi. Dia ingin pembenaran dari apa yang diyakininya selama ini.
"Iya, Rat! Lelembut itu memang ada. Dia makhluk ciptaan Gusti Alloh juga. Selama ini kita memang tidak pernah merasakan keberadaannya," jawab Wibi sambil memandang lembut istrinya dan mengelus-elus perut besarnya.
"Kita baru benar-benar berinteraksi dengan lelembut seperti ini setelah Simbok menyatakan dengan tegas kalau kita telah melanggar pantangan leluhur. Dan Simbok selalu mengatakan kalau lelembut itu akan terus mengganggu kehidupan kita ...." lanjut Wibi. Dia mulai merasakan sugesti dari kata-kata Mbok Sum dan merasa terjebak di dalamnya.
'Haruskah aku mempercayai semua ini dan menerima kembali tradisi kepercayaan leluhur? Bukankah sesajen dan bancakan yang dibuat Mbok Sum pun tidak bisa meredam gangguan lelembut tersebut?' Saat ini Wibi belum bisa menemukan akar dari permasalahan yang sedang menimpa keluarganya.
"Ratri ... apa kamu tidak merasakan kalau semua yang telah dilakukan Simbok itu tidak bisa meredam kemarahan lelembut tersebut, bahkan semakin kuat lelembut itu mengganggumu?" Ada sesuatu yang mengganggu pikiran Wibi. Dia mengambil minuman dan meneguknya beberapa kali.
"Entah, Mas! Sepertinya aku juga merasakan begitu. Atau mungkin karena kita tidak sepenuhnya percaya pada tradisi ini sehingga lelembut itu semakin marah."
"Kita memang tidak percaya, Rat. Tapi bagaimana dengan Simbok? Beliau pun tidak bisa berbuat banyak untuk melindungimu dengan ritual bancakan dan sajennya."
"Terus ... bagaimana, Mas?" tanya Ratri dengan wajah cemas. Wibi menatap Ratri dengan tajam. Dia ragu untuk mengungkapkan kecurigaan hatinya. Dia khawatir Ratri akan marah karena Wibi mencurigai Mbok Sum.
"Mas, kamu memikirkan apa? Jangan membuatku takut begitu," lanjut Ratri sambil memegang tangan Wibi.
"Simbok, Rat ...! ceritakan tentang Simbok. Mengapa beliau selalu memaksa kita untuk kembali melaksanakan tradisi ini sementara gangguan lelembut ini malah semakin kuat!"
Ratri membalas tatapan mata suaminya. Sorot matanya tajam menghunjam masuk ke dalam bola mata Wibi dan menyusuri urat-urat syaraf menuju ke pusat otaknya. Seolah-olah ingin mencari tahu mengapa Wibi mencurigai Mbok Sum. Sejenak Ratri terdiam sambil mengingat-ingat masa kecilnya bersama Mbok Sum.
"Simbok, dia sebenarnya bukan ...." Seperti tahu kalau dirinya sedang diperbincangkan, Mbok Sum tiba-tiba masuk ke dalam kamar dan memotong pembicaraan Ratri.
"Nduk, kamu sedang membicarakan Simbok, ya? Sepertinya kondisimu sudah pulih kembali. Ayo keluar, bancakan sudah siap dibagikan ke anak-anak tetangga," kata Mbok Sum.
Suasana hening sejenak. Wibi dan Ratri masih saling pandang. Ada sesuatu yang belum tersampaikan. Sesaat kemudian Wibi menoleh ke arah Mbok Sum. Tiba-tiba Wibi berdiri menghadap Mbok Sum.
"Mbok ... bancakan ini sepertinya tidak berguna!" Wibi memberanikan diri menyela pembicaraan Mbok Sum.
Ratri terkejut mendengar perkataan Wibi. Dia tidak menyangka suaminya akan berbuat nekat membantah perkataan Mbok Sum. Mbok Sum pun tak kalah terkejutnya, dia menatap tajam ke arah Wibi. Raut mukanya menandakan rasa tidak suka pada perkataan Wibi.
"Kenapa kamu berkata begitu, Nak?" tanya Mbok Sum mencoba bersikap tenang.
"Karena ... karena bancakan itu tidak berhasil meredam kemarahan lelembut! Bahkan semakin kuat mengganggu Ratri dan anak dalam kandungannya," jawab Wibi. Mbok Sum menghela napas panjang, ditatapnya Wibi dan Ratri secara bergantian.
"Ini akibat kesalahan dan kecerobohan kalian berdua! Kalian tidak pernah menuruti kata-kata Simbokmu ini. Kalian telah melanggar pantangan tetapi tetap saja ngeyel)* dan maido)* dengan bancakan serta sesajen yang Simbok buat." Mbok Sum kembali berusaha mempengaruhi mereka berdua.
"Kami memang tidak percaya dengan ritual tersebut, Mbok. Tapi bagaimana dengan Simbok sendiri? Simbok begitu percaya dan selalu melestarikan tradisi tetapi lelembut itu tetap saja datang mengganggu Ratri," sanggah Wibi.
Mbok Sum merasa terpojok dengan perkataan Wibi. Tapi dengan hati-hati Mbok Sum memberikan jawaban agar Wibi tidak terus mencurigai ritual bancakan dan sesajen yang sering dilakukannya.
"Eee ... Simbok sudah pernah bilang sama Ratri kalau bancakan dan sesajen itu yang membuat harus kalian sendiri, terutama Ratri, karena itu kesalahan kalian sendiri! Dan Ratri sudah berjanji untuk itu. Walaupun saat ini dia belum bisa melaksanakan janjinya. Jadi Simbok yang harus membuatnya sendiri! Tetapi ... ya, dengan risiko seperti ini. Lelembut itu masih terus mengganggu meskipun tidak sampai melukai ataupun membunuh."
"Sudah, Mas, cukup! Aku sependapat denganmu. Tetapi tidak baik bila harus bertengkar dengan orang tua sendiri," kata Ratri menengahi, "Maafkan Mas Wibi, ya Mbok." Mbok Sum hanya diam sambil menatap tajam pada Wibi kemudian pergi meninggalkan mereka berdua.
Sementara itu Wibi belum puas dengan alasan yang diutarakan Mbok Sum. Menurutnya ada yang janggal dengan perkataan Mbok Sum.
Kenapa harus Ratri sendiri yang membuatnya? Apakah ada yang disembunyikan oleh Mbok Sum? Begitu kuatnya kecurigaan itu muncul dalam hati Wibi.
Bancakan dan sesajen yang dilaksanakan oleh Mbok Sum telah memperkuat keberadaan lelembut. Meskipun sebenarnya tanpa bancakan dan sesajen pun, Wibi dan Ratri tetap akan berhadapan dengan lelembut itu sepanjang kehidupannya.
Karena sebenarnya Mbok Sum itu sendiri penyebabnya, begitu kesimpulan dalam pikiran Wibi. Dia merasakan lelembut itu ingin mencelakai Ratri dan anak dalam kandungannya karena mengincar sesuatu yang telah dijanjikan.
*****
Catatan :
Ngeyel : tidak mau menurut.
Maido : tidak percaya