webnovel

Perjanjian Ketiga

Perjanjian Ketiga adalah cerita fiksi horor berlatar belakang tradisi masyarakat Jawa. Bercerita tentang sebuah perjanjian kuno dan keramat di balik tradisi bancakan dan sesajen. Perjanjian yang dilakukan oleh Simbok atau Mbok Sum dengan baurekso Wewe Gombel ini telah mengorbankan istri pertama dan anak pertama Ndoro Sastro. Siapakah Mbok Sum? Akankah terjadi korban selanjutnya pada perjanjian yang ketiga ini? Bersiaplah jika kamu adalah anak pertama atau cucu pertama dalam keluargamu. Karena perjanjian ini selalu mengorbankan 'yang pertama' ....

bomowica · Horror
Not enough ratings
26 Chs

Nenek Bongkok

Malam itu belum begitu larut bagi Wibi dan Ratri. Mereka masih saja asyik di ruang tengah sambil melihat acara televisi. Tetapi udara dingin malam itu bagaikan sirep bagi Ratri. Berkali-kali dia menguap meskipun berusaha untuk tetap terjaga di samping Wibi. Wibi sendiri masih asyik membolak-balik halaman buku Primbon peninggalan ayahnya. Sementara Ayu sudah terlelap tidur di kamarnya sendiri setelah sebelumnya ditemani oleh Mbok Sum.

Malam semakin dingin dan terasa agak mencekam bagi Ratri. Tiba-tiba rasa kantuknya menghilang. Dia merasa aneh dan gelisah. Dunia yang dia tempati perlahan-lahan seperti berubah bagai dunia lain baginya. Sepasang mata seolah-olah sedang mengawasi Ratri. Terbayang olehnya kuku-kuku panjang siap untuk menerkamnya seperti dulu. Saat itu lima belas menit menjelang pukul dua belas malam. Dan Wibi pun merasakan kegelisahan hati istrinya.

"Kamu kenapa, Rat?"

"Tidak tahu, Mas. Aku takut! Seperti ada yang mengawasiku." Wibi beranjak dari tempat duduknya dan mematikan televisi. Kemudian dia menghampiri Ratri dan melingkarkan tangannya ke pinggang Ratri untuk membantunya berdiri. Begitu dekat jarak wajah mereka.

"Masuk ke dalam yuk!" ajak Wibi. Ratri tersenyum manja. Dan mereka saling bertatap mata. Tangan Ratri melingkar di leher Wibi.

"Hmm ... Rat, kamu ...." Kecupan lembut mendarat di bibir Ratri. Dia memejamkan matanya merasakan sensasi rasa ketika Wibi membelai lembut pipi dan lehernya.

"Mas ...." Ratri mendesah perlahan ketika tangan itu menyentuh dadanya. Mereka semakin bergairah dan baru menyadari di mana mereka berada ketika terdengar suara pintu kamar dibuka. Wibi menghentikan cumbuannya ketika Mbok Sum melangkah keluar kamar.

"Simbok belum tidur, to?" tanya Ratri sambil membetulkan kancing daster bagian atas.

"Ee ... belum. Kalian juga belum mengantuk?" jawab Mbok Sum sambil menutup pintu kamar Ayu.

"Ini mau berangkat tidur, Mbok," kata Wibi sambil membantu Ratri berdiri. Ratri hanya tersenyum saja mengikuti kemauan suaminya.

Mereka kemudian berjalan menuju kamarnya. Sementara Mbok Sum tetap berdiri memperhatikan mereka masuk kamar dan menutup pintunya. Meski kandungannya telah berusia tujuh bulan Ratri masih tetap ingin bermanja-manja dalam pelukan suami tercintanya. Wibi pun paham apa yang harus dilakukannya malam itu. Mereka beradu rasa kembali untuk menuntaskan gairah yang telah terlanjur menyala.

"Sebentar ...," kata Wibi melepas pelukan Ratri dan beranjak keluar kamar.

Sebentar kemudian Wibi sudah masuk kembali dan meletakkan buku Primbonnya di atas meja. Dia menuju ranjang dan merebahkan tubuhnya di samping Ratri. Dipandanginya wajah manis Ratri yang sudah tidak sabar menunggu Wibi mencumbunya kembali.

"Rat," kata Wibi memecah kesunyian malam di kamar, "aku tadi melihat Simbok membawa tampah kecil keluar lewat pintu belakang. Mau ke mana Simbok, ya?"

"Kenapa sih, Mas, ngurusi Simbok lagi?" tanya Ratri dengan wajah cemberut.

"Bukannya ngurusi, Rat. Siapa tahu itu ada hubungannya dengan lelembut yang selalu mengganggumu. Sepertinya tampah itu berisi sesajen. Terus mau dibawa ke mana malam-malam begini?" jawab Wibi memberi penjelasan.

Seandainya sesajen itu untuk aku dan anak dalam kandunganku, mengapa lelembut masih menggangguku? Sejenak Ratri terdiam dan membenarkan apa yang menjadi pertanyaan Wibi.

"Kata Simbok itu sesajen untuk baurekso kampung ini. Untuk keselamatan keluarga kita. Itu sudah dilakukan Simbok semenjak kita belum menikah, bahkan saat Ibuku belum meninggal." Wibi terkejut saat Ratri menyebut ibunya.

"Siapa, Rat, ibumu ...? Jadi benar kalau Simbok itu sebenarnya bukan ibu kandungmu seperti yang pernah kamu ceritakan beberapa waktu sebelum kita menikah?" Ingatan Wibi kembali ke masa dulu sewaktu masih berpacaran dengan Ratri. Wibi memandangi Ratri sambil tangannya menyelinap dibalik daster Ratri dan membelai lembut belahan dadanya.

"Benar, Mas. Lebih tepat sebenarnya Simbok itu nenekku," jawab Ratri dengan nafas memburu sambil membelai rambut dan wajah Wibi.

Ratri mendekatkan wajah Wibi dan mengecup bibirnya. Dan percakapan mereka pun terhenti. Mereka saling beradu rasa dan mencoba menuntaskan hasrat yang sempat terputus di tengah jalan. Meski usia kandungannya menginjak tujuh bulan, bukan menjadi halangan bagi mereka untuk bercumbu. Dengan perut besarnya Ratri memejamkan mata menikmati gerakan perlahan yang dilakukan Wibi.

Tiba-tiba dia merasa ada getar-getar gelisah menyentuh hatinya. Dia merasa ada yang mengawasi aktivitas ranjangnya. Perlahan Ratri membuka mata dan betapa terkejutnya dia melihat Ayu berdiri di belakang tubuh Wibi di pojok dekat pintu kamar.

"Ayu ...? Kenapa berada di situ?" teriak Ratri terkejut sambil mendorong tubuh Wibi.

Cepat-cepat dia membetulkan posisi dasternya. Wibi pun tak kalah terkejut dan segera menyahut selimut untuk menutupi bagian bawah tubuhnya. Dia menengok ke arah pojok kamar. Seorang anak kecil dengan rambut panjang menutupi sebagian wajahnya menatap ke arah mereka.

"Anak itu bukan Ayu, Rat! Dia lelembut itu!" kata Wibi sambil menoleh ke arah Ratri.

Sayup-sayup Ratri mendengar anak itu bersenandung. Dan seperti waktu kejadian di kelasnya, anak dalam kandungannya ikut bergerak-gerak mengikuti iramanya. Senandung itu semakin lama semakin jelas dan diselingi ketawa kecilnya. Kemudian mereka melihat anak kecil itu perlahan-lahan membesar dan berubah wujudnya menjadi seorang nenek tua bungkuk. Nenek tua itu pun tertawa terkekeh-kekeh sambil mengacungkan tangannya ke arah Ratri.

"Kowe ... kowe ... tak jaluk! Tak jaluk!—kamu saya minta!" katanya dengan suara berat dan serak.

Ratri menggigil ketakutan. Dia tak kuasa menatap wajah dan matanya. Serta merta Wibi yang hanya berkain selimut itu berdiri di hadapan Nenek Bongkok. Dia bersiap menghadapi segala kemungkinan yang terjadi. Meskipun dia menyadari sepenuhnya dan menyugesti dirinya sendiri bahwa tidak akan terjadi kontak fisik di antara dua makhluk berbeda dimensi.

"Jangan panik, Rat! Berdoa dan minta perlindungan pada Gusti Alloh!" kata Wibi.

Ratri mencoba berdoa dan memejamkan matanya. Tetapi halusinasi tentang Nenek Bongkok itu begitu kuat mencengkeram pikirannya. Dan dalam pandangan matanya lelembut itu semakin membesar bentuknya.

Hal itu tidak dialami oleh Wibi yang berhasil menguasai dan menyugesti dirinya sehingga dapat mengalahkan halusinasi yang disebabkan oleh keberadaan lelembut tersebut. Sedangkan Ratri mengalami halusinasi yang lebih berat karena lelembut itu muncul memang untuk mengganggu dan mempengaruhi dirinya. Dialah yang selalu menjadi target dari kemunculan lelembut tersebut.

"Mas, aku takut! Nenek Bongkok itu semakin besar bentuknya!"

"Lawan dia, Rat! Jangan sampai terpengaruh oleh halusinasimu sendiri!"

"Duh Gusti Alloh lindungilah aku dan anak dalam kandunganku!" Ratri menutup wajah dengan kedua telapak tangannya, "Nenek Bongkok, pergi kau dari sini!"

"Kowe arep tak jaluk! Kowe arep tak jaluk! —Kamu akan saya minta!" kata Nenek Bongkok lagi.

Kata-kata Nenek Bongkok terdengar berulang-ulang dan menggema di kamar mereka. Tetapi suara itu semakin lama terdengar semakin menjauh bersamaan dengan menghilangnya penampakan Nenek Bongkok tersebut.

Suasana kamar kembali hening. Sementara malam itu jarum jam telah lewat pukul dua dini hari. Wibi dan Ratri segera merapikan pakaiannya dan duduk termangu di tepi pembaringan. Wibi menengok ke arah Ratri. Wajah manis itu terlihat pucat dengan mata terpejam. Wibi pun mendekat dan mendekap erat tubuh istrinya.

"Aku takut, Mas. Nenek Bongkok tadi begitu menakutkanku. Apakah dia sudah pergi?" Ratri memeluk erat tubuh Wibi dan menyandarkan kepala di dadanya.

"Sudah, Rat," jawab Wibi sambil membelai lembut rambut panjang Ratri.

Kenapa lelembut itu selalu mengganggu Ratri? Bukankah tadi Simbok baru saja memberi sesajen? Kejadian itu semakin menguatkan dugaan Wibi bahwa pemberian sesajen itu akan memperkuat keberadaan lelembut tersebut. Sesajen itu menjadi makanan bagi lelembut dan akan mengundang kembali kemunculannya.

"Nenek Bongkok itu tadi mau memintaku. Apakah dia juga akan meminta bayiku, Mas? Berarti dia akan datang lagi?" Ratri melepas pelukannya dan menatap Wibi dalam-dalam. Ketakutan itu masih membayang di wajah manisnya.

"Entah, Rat. Aku juga belum mengerti maksud dari semua ini. Lelembut itu seperti sedang mengharapkan sesuatu. Dia selalu mengikuti kehidupan kita. Sepertinya ini sudah bukan halusinasi lagi." Wibi terlihat menarik napas panjang dan pandangan matanya menerawang ke langit-langit kamar.

Sesaat kemudian Wibi kembali memeluk erat tubuh Ratri dan menidurkan dalam pelukannya. Kehadiran Nenek Bongkok malam itu telah membuyarkan gairah mereka berdua. Ratri yang masih belum bisa menghilangkan rasa takutnya akhirnya terlelap dalam pelukan Wibi.

Sementara Wibi masih terjaga dan mencoba mengurai kejadian-kejadian misteri yang menimpa keluarganya. Tetapi tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk mencari ujung pangkal dari permasalahan ini.

Benarkah hanya karena aku dan Ratri dulu melanggar pantangan bepergian lantas lelembut itu terus mengganggu? Seandainya dulu tidak ada kolomengo yang diucapkan Simbok, apakah Ratri akan benar-benar terbebas dari gangguan lelembut? Dan sesajen itu, apakah hanya sekedar tradisi yang harus dilestarikan Simbok tanpa ada maksud lain? Semua pertanyaan itu berkecamuk di dalam rongga kepala Wibi.

Rupanya mendung kelabu masih menyertai perjalanan hidup keluarga Wibi. Dia masih belum bisa menemukan titik terangnya. Dan kembali dugaannya mengerucut pada Mbok Sum.

*****