Rojali menyempatkan diri berbicara empat mata dengan Gunawan sebelum melakukan rapat dengan para manajer. Ia menelpon sekretarisnya itu untuk menemuinya di kamar khusus yang tidak seorangpun bisa masuk kecuali dirinya.
"Gun, Kau sudah bicara dengan Sutasih atau seseorang di rumah?" tanya Rojali hati-hati setelah menarik nafas.
"Mohon maaf, Pak. Tapi tidak ada petunjuk, sebaiknya kita hati-hati agar pelakunya tidak merasakan gerakan kita," jawab Gunawan.
Ketakutan Rojali semakin menjadi-jadi setelah Ia pulang dari kediaman Mbah Argo. Mbah Argo meramal bahwa ada orang terdekat yang berniat mencelakainya, tapi orang tersebut tidak ditunjukkan secara jelas oleh Mbah Argo.
Satu-satunya cara untuk membereskan hal itu adalah menyingkirkan orang tersebut dari hidupnya. Rojali benar-benar merasa terancam, apalagi yang diramalkan oleh Mbah Argo adalah orang terdekatnya. Ia menggelengkan kepala dan kembali berkutat dengan persiapan rapat.
Satu hal lagi yang digaris bawahi oleh Rojali adalah pergaulan Hermanza yang kian hari kian tidak karuan. Padahal anak sulungnya itu masih SMP, sikap memberontaknya akibat masa pubertas menimbulkan kekhawatiran Rojali. Rojali pun menaruh sikap waspada kepada anak lelakinya.
"Apa Kau akan mati kalau tidak nongkrong dengan teman-temanmu sekali saja, Her?" Geram Wulan di suatu malam. Rojali mendengar keduanya adu mulut namun enggan keluar kamar.
"Tidak. Teman-temanku bukan pembunuh," ketus Hermanza.
Rojali kembali terkejut mendengar kata 'pembunuh' dari mulut anaknya. Ketakutannya kepada orang-orang terdekatnya kian menjadi. Wulan, Hermanza, dan Rismanza sekarang adalah orang yang paling berbahaya di matanya.
"Kau tidak bisa pulang pergi seenaknya dari rumah ini, Her. Kau punya aturan, sekolahmu juga harus Kau urus. Ibu nggak mau dapat laporan dari wali kelas lagi kalau Kau membolos sekolah," teriak Wulan.
"Kalau itu memang mau Ibu, lebih baik aku mengalah. Aku akan pergi dari rumah ini agar Ibu tidak merasa terbebani oleh diriku dan aku bebas," seru Hermanza.
Keesokan paginya Hermanza menunggangi motor besarnya, jaket merah dan celana abu-abu selaras dengan wajahnya yang tampan khas anak anak remaja. Tak ada yang tahu bahwa di dalam tas hitamnya Ia menggondol sekantung uang dan perhiasan milik Rojali dan Wulan.
Seperti biasa, Wulan sibuk berdandan setelah memastikan anak-anaknya berangkat sekolah. Sesekali Ia melirik ke pintu kamar Rojali, suaminya belum keluar dari kamar. Ia menghembuskan nafas bosan.
Cklek.
Rojali keluar kamar, "Ada apa dengan Hermanza?" Tanyanya pada Wulan karena Ia yakin anak itu sudah pergi dari rumah.
"Anak itu semakin bandel saja," jawab Wulan dengan menggerutu.
Jawaban itu sama sekali tidak memberi petunjuk bagi Rojali, Ia mengerutkan dahi. Tentu saja Wulan tidak tahu tentang keresahannya. Wulan hanya tahu bagaimana dirinya bisa menjadi kaya raya seperti sekarang ini.
"Sarapan, Mas," ucap Wulan. Rojali hanya mengangguk sembari menyesap cerutunya. Wulan pun bergegas mengambilkan sepiring nasi lengkap dengan lauk pauknya.
"Kopinya, Wulan. Jangan terlalu manis," ucap Rojali.
"Pakai susu?" Tanggap Wulan sembari menyajikan sarapan di depan Rojali dan menyingkirkan piring bekas kedua anaknya.
"Tidak usah," jawab Rojali.
Seusai sarapan, Rojali tidak langsung mengenakan jas dan berangkat ke kantor seperti biasanya. Tetapi Ia menaiki lantai dua dan duduk di balkon yang menampakkan pemandangan asri khas jalanan. Tampak dari atas juga, Wulan mengenakan pakaian sutra mini dan sepatu beehak tinggi.
"Mau kemana Ia?" Gumam Rojali lirih. Ia menuruni tangga dan ingin melihat apa yang terjadi. Setelah sampai bawah, Ia melihat mobil asing di halamannya.
Wulan memasuki sedan merah, sedan yang tidak mungkin digunakan sebagai andong oleh pemiliknya. Rojali yakin bahwa yang membawa Wulan bukanlah orang biasa. Diam-diam Ia menyembunyikan wajahnya dengan helm hitam lalu memacu kuda besinya mengikuti sedan merah itu dari kejauhan.
Rojali melihat dengan kepala sendiri bahwa istrinya dibawa menuju hotel bintang lima ternama di kotanya. Bibir Rojali bergetar. Wulan yang Ia perlakukan bak permaisuri ternyata tega melakukan hal itu di belakangnya.
Peristiwa pagi itu berjalan sangat cepat. Ia menggeram dan menggertakkan giginya. Hancurlah sudah perasaannya. Ia ingin pergi ke kantor tapi hatinya sudah tidak berselera untuk bekerja lagi. Pulang ke rumah? muak dengan wajah Wulan! Wajah pengkhianat!
"Gunawaaan, kopi!" Teriaknya sesampainya di pintu masuk.
Ia lemparkan jas mewahnya ke sembarang arah lalu menghempaskan diri ke sofa. Satu menit kemudian Gunawan membawakan minuman yang bosnya pesan. Rojali sudah tidak peduli dengan panasnya air yang ada di dalam cangkir, ditenggaknya mentah-mentah air kopi itu hingga habis.
"Pak?" Gunawan terkejut dengan kondisi bosnya yang acak-acakan. Wajah Rojali pucat pasi, bibirnya bergetar hebat.
"Istriku selingkuh, Gun," ucapnya dengan suara hampir tidak terdengar. Gunawan melebarkan matanya.
Gunawan yang tidak berani bertanya apa-apa, membiarkan Rojali menghabiskan jadwalnya dengan rebahan di ranjang kantor. Sebagai sekretaris Ia membatalkan beberapa jadwal Rojali ataupun menundanya. Hingga melewati waktu makan siang pun Rojali tidak kunjung mengangkat punggungnya dari kasur.
"Antarkan aku pulang, Gun," racaunya. Gunawan mengangguk mengikuti kemauan bosnya.
Hari itu Gunawan sangat kewalahan karena banyak klien tidak puas dan melakukan protes. Pabrik gula merasa dirugikan karena pasokan tebu yang harusnya dikirim hari itu oleh perusahaan Rojali harus mundur seminggu. Beberapa puluh petak sawah diambil alih oleh yang mengaku memiliki sertifikat tersebut.
Rojali memasuki rumah yang sepi, Wulan belum juga menampakkan batang hidungnya. Hermanza menonton televisi sembari rebahan di sofa. Rismanza entah ke mana. "Kau sudah pulang, Her?"
"Hmm," sahut Hermanza malas.
"Kukira Kau minggat," ucap Rojali.
Hermanza tidak menanggapi ucapan Ayahnya dan tetap tertuju ke layar televisi.
Setelah melepas sepatu dan jaketnya, Rojali memasuki ruang tengah dengan meja penuh makanan. Secangkir kopi mengundang perhatiannya di antara gelas-gelas yang lain yang berisi susu dan jus alpukat. Tiga menit berlalu dan Ia hanya sendiri di ruang makan dalam kubangan penat dan sesak di dada.
Hermanza dan Rismanza menjerit saat mendapati ayah mereka telentang di lantai ruang tengah dengan mata terbuka. Denyut nadinya telah hilang. Pembantu-pembantu mereka berlarian menuju sumber suara. Belum ada sepuluh menit Sutasih menyajikan makan malam untuk keluarga kecil Rojali dan Wulan, kepala keluarga itu ditemukan oleh anak-anaknya dalam keadaan tidak bernafas lagi.
"Jangan bercanda Kau, Her!" Seru Wulan saat Hermanza menelponnya.
"Kapan Ibu percaya sama anak sendiri, sih? Aku selalu dianggap tidak berguna," Hermanza berteriak. "Bahkan saat Bapak meninggal pun Ibu tidak ada di sampingnya," ucapnya prihatin. "Egois."
Hermanza sebenarnya tahu bahwa sejak dulu Ibunya main belakang untuk mendapatkan kesenangan. Ia sadar betul bahwa dirinya tidak berada di dalam keluarga yang baik-baik saja. Tapi Ia memilih untuk diam.
***