Safitri merasa dirinya hancur saat Simbok berkata bahwa mau tak mau Ia harus menerima lamaran Yoyon. "Yoyon itu anak pesantren, Fit. Kamu beruntung dilamar anak pondokan."
"Simbok, aku nggak tahu sifat Mas Yoyon seperti apa, keluarganya seperti apa. Dia pesantren dua tahun dan itu nggak tamat, Mbok," tanggap Safitri.
"Kalau nanti udah kan jadi tahu sifatnya seperti apa. Bapakmu sudah tidak ada, kita perlu orang laki-laki, Fit. Siapa tahu nanti rejeki kita nambah lagi," kekeh Simbok.
Gagal berbicara dengan Ibunya, Safitri bergegas ke rumah Sriningsih. Ia pikir masih ada kesempatan untuk memilih. Tapi ternyata gagal juga, Kakaknya tidak bisa memberikan solusi meski tidak membenarkan sikap Ibunya. "Simbok memang keras kepala, egois," desisnya.
Safitri hanya diam di rumah, terkadang kemarahannya Ia luapkan dengan meremas-remas kertas koran bekas atau sobekan buku sekolahnya dulu. "Untuk apa aku sekolah tinggi-tinggi jika akhirnya aku harus menikah dengan orang yang tidak aku inginkan," gumamnya.
Hari yang telah Yoyon tunggu-tunggu telah tiba, akhirnya Ia berhasil mempersunting gadis yang dua belas tahun lebih muda darinya. Hatinya berjingkat-jingkat, orangtua Safitri tidak protes ataupun menawar dengan mas kawinnya yang hanya sehelai mukena dan Al-Quran.
Telinganya sengaja Ia tulikan dari kritik dan saran keluarga besar sang mempelai wanita, "Mas apa nggak sebaiknya mas kawinnya ditambahin lagi, cincin atau apa."
"Hah? Itu lakinya? Lho, kok Safitri sampai dapat orang kayak gitu, sih. Apa Simboknya nggak mikirin bibit bebet bobotnya. Mukanya kayak orang nggak niat banget."
"Mbak Sriningsih, Simbok gimana sih?"
Sriningsih hanya mendesah putus asa dengan apa yang sudah terjadi. Mau bagaimanapun Ia bertindak, nasi sudah menjadi bubur. Dugaannya benar, bahkan laki-laki itu belum apa-apa sudah menunjukkan kekikirannya, sampai-sampai Ia malu sendiri dengan apa yang adik iparnya tunjukkan ke orang-orang.
Saat Udin menikahi Sriningsih, hampir semua harta Udin berpindah tangan ke Sriningsih. Cinta Udin begitu besar, meski Udin bukan berasal dari keluarga kaya, seperti halnya Yoyon, tapi perjuangan dan pengorbanan Udin begitu besar demi mendapatkan Sriningsih. Bapak tiri Sriningsih sampai sungkan dengan Udin saat acara seserahan.
Dua hari sudah pernikahan Safitri dan Yoyon berlalu. Yoyon pun tinggal di rumah mertuanya bersama Safitri. Rumahnya Ia tinggal dan ditempati oleh Rosidah karena Rosidah akhir-akhir ini sering bertengkar dengan adiknya, Rohmah. "Kok bisa bertengkar, Mas?" Tanya Safitri menanggapi cerita Yoyon.
"Maklum, namanya juga perempuan," jawabnya asal.
"Aku juga perempuan, berarti kalau nanti aku berantem sama orang lain 'maklum' ya, Mas?" Ujar Safitri meledek suaminya.
"Kamu itu jangan ngeyel jadi orang. Udah tahu itu nggak baik, masih ditanyakan," sewot Yoyon.
Safitri tertegun dengan ucapan suaminya, Ia baru menyadari bahwa ternyata suaminya lekas marah dan tidak ramah sama sekali. Ia merenung beberapa saat, berbagai bayangan memenuhi pikirannya. Apakah benar, ini sifat asli suaminya?
Ia bergegas menuju dapur setelah suaminya beranjak dari tempatnya duduk semula, menghibur diri dengan merebus air dan menanak nasi. Tak ada apapun yang bisa dimasak, Safitri menghembuskan nafas sembari mengambil kerupuk sisa prasmanan kemarin. Hari ini Simbok sudah pergi ke pasar kembali sementara Ia tidak memiliki uang sedikitpun.
Pekerjaan suaminya yang serabutan dan tak menentu, membuat Safitri memaklumi Ia harus hidup seadanya sementara waktu. Makan dengan garam pun Ia mau asal ada nasi, mungkin nanti atau besok akan ada rejeki.
Deru motor terdengar dari luar rumah, Safitri menyibakkan tirai jendela untuk melihat siapa yang datang. "Itu Pak Dhe Rojali, kamu nggak perlu nemuin dia," sergah Yoyon.
"Ya sudah Mas Yoyon saja yang menemui," jawab Safitri.
Ada apa gerangan dengan orang ternama itu? Mengapa dirinya tidak diperbolehkan menemui tamunya? Safitri menepiskan pertanyaan yang menyelimuti pikirannya. Biarkan saja apa maunya Yoyon.
"Selamat ya, Yon. Maaf Pak Dhe telat kondangannya," Rojali menepuk-nepuk pundak Yoyon.
"Terimakasih, Pak Dhe," jawab Yoyon.
Rojali memberikan amplop putih dan satu keresek besar makanan instan mulai dari roti, susu kaleng, hingga mie instan.
"Ini uangnya nggak usah dipakai, buang saja rotinya yang tadi dikasih sama Pak Dhe Rojali," ucap Yoyon kepada istrinya.
"Lho, kenapa Mas?" Safitri tidak percaya dengan apa yang keluar dari mulut suaminya.
"Aku tidak suka dengan orang itu," jawab Rojali.
Safitri mengerutkan dahinya, 'Tidak suka?' Benar-benar keterlaluan keputusan suaminya. Bagaimana bisa Ia menyingkirkan semua pemberian orang lain hanya karena tidak suka? Sedangkan istrinya tidak dimintai pendapat sedikit pun.
"Uang itu bisa dipakai buat beli beras selama sebulan, Mas," ucap Safitri dengan pelan.
"Aku saja yang pegang," jawab Yoyon dengan ketus. "Aku tidak sudi memakai uang ini untuk keperluan kita, lebih baik kuberikan saja ke Rohmah sama Rosidah," lanjutnya.
Safitri tidak habis pikir dengan semua yang suaminya ucapkan, rasanya tidak masuk akal. Belum genap satu minggu Ia hidup bersama Yoyon, Ia sudah banyak mencatat lampu kuning. Yang pertama, Yoyon belum pernah memberinya uang belanja. Segala kebutuhannya Ia dapatkan dari Simbok mulai dari makanan, sabun, hingga iuran kas RT.
Kedua, suaminya sudah terlalu sering menunjukkan sikap tempramental di depannya. Ketiga, Ia berkali-kali lebih mementingkan adiknya dari pada Safitri apapun alasannya. Ini yang membuat Safitri sakit hati.
Setelah kondangan ke tempat Yoyon, Rojali melajukan motornya ke rumah Pipit. Semalam istrinya yang satu itu mengeluh tidak enak badan. "Kita ke dokter saja, Pit. Aku takut demammu semakin parah," ujar Rojali mendapati istrinya lemas dan tidak bernafsu makan sama sekali.
"Aku nggak apa-apa, Mas," ujar Pipit. "Aku telat bulan," lanjutnya.
"Telat bulan?" Dugaan Rojali mungkin saja benar, tapi Ia belum yakin kalau bukan dokter sendiri yang berkata.
"Makanya kita ke dokter saja, Pit," Rojali mengulangi ucapannya.
"Nggak usah, Mas. Mungkin saja … mungkin saja aku hamil," ucap Pipit.
"Bagaimana kita tahu kalau kamu hamil tanpa dokter, Pit?" Kekeh Rojali.
"Beli testpack saja, Mas," jawab Pipit. Rojali menuruti saran istrinya.
Ia meminta sekretarisnya untuk membawakan testpack ke rumah Pipit. Benda itu menunjukkan dua garis merah setelah Pipit gunakan, Pipit pun tersenyum senang. "Haikal akhirnya punya adik," gumamnya.
"Di mana anak itu sekarang?" Rojali teringat anak lelakinya yang masih ingusan.
"Masih sekolah, Mas," jawab Pipit singkat. "Bagaimana kabar Wati, Mas? Sudah membaik?" Tanya Pipit.
"Ah, Ia hanya shock dengan nasib bayinya. Sekarang masih betah bersama Ibu dan Ratih," tanggap Rojali.
"Belum pulang ke rumahnya lagi?" Pipit belum puas.
"Aku tidak akan memaksa," Rojali bergumam.
Pipit bukan peduli pada Wati, Ia hanya menunjukkan bahwa Ia lebih beruntung dibanding istri termuda Rojali. Senyumnya mengembang bersama seringai di wajahnya.
***
Cerita ini saya tulis dengan sederhana. Karakter tokohnya saya sampaikan secara implisit.
Jika teman-teman memiliki kritik dan saran, silakan sampaikan di kolom komentar.