webnovel

Pangeran Milenial

Rehan Kurniawan. Lelaki 27 tahun. Model majalah yang sangat tampan dan oleh teman-temannya dijuluki 'Pangeran Milenial'. Dia adalah seorang mahasiswa yang baru saja lulus S3. Siap kerja jadi Supervisor sebuah perusahaan besar dan menikah. Tiga foto gadis diberikan oleh sang ayah dan ibu kepadanya. Fifian, Cantika, dan Katly. Rehan disuruh memilih salah satu setelah melakukan kencan buta. "Aku ini belum ingin menikah!" teriaknya saat menggila di sebuah bar dengan mengangkat gelas wine ke udara. "Apa enaknya menikah?! Aku kan baru saja lulus dari masa-masa jadi mahasiswa abadi! Harusnya senang-senang dulu ya kan?!" Rehan ditemani Alex melepas untuk melepas stress setelah melakukan kencan buta. Mereka berdua mengabiskan berbotol-botol wine keras malam itu. Lalu menari sepuasnya dengan lagu DJ yang menghentak-hentak hingga lupa segalanya. Tahu-tahu sudah pagi. Tahu-tahu Rehan bangun di sebuah hotel dengan seorang gadis di sampingnya! Sama-sama telanjang! Ya ampun! Siapa gadis itu?! Dan apa yang telah mereka lakukan?!

Om_Rengginnang · 现代言情
分數不夠
6 Chs

Aku Harus Pergi

"Dia membenciku. Harusnya kau juga," kata wanita itu. "Kumohon biarkan aku pergi. Tidak perlu mengkhawatirkan hal itu hanya kau meniduriku."

 

"Tapi aku…"

 

"Maaf jika semalam aku nggak mengenalimu," sela wanita itu. Bahu-bahu kecilnya semakin bergetar ketika dia mengusapi air matanya dengan kedua punggung tangan bergantian. "Aku baru sadar pagi ini dan … mn … aku minta maaf sudah menyeretmu ke dalam masalahku. Jadi lupakan saja. Aku nggak apa-apa. Kau punya masa depan yang sangat cerah, Rehan."

 

Ah, jadi wanita ini tahu siapa dirinya. Mungkin dia pernah melihat wajah sosok selebgram Rehan Kurniawan muncul di beranda sosial medianya?

 

Apapun itu, Rehan kalah. 

 

Setelah berpakaian lengkap, wanita itu berdiri di depannya dan membungkukkan badannya 90 derajat. Tunggu dulu, apa dia memiliki darah keturunan Korea? Kenapa melakukan hal itu kepada Rehan?

 

"Aku sangat-sangat berterima kasih karena kau sudah merawatku semalam," kata wanita itu. Lalu tersenyum tipis. "Aku berhutang banyak padamu."

 

Rehan masih duduk di atas ranjang dengan selimut menutupi sebatas pinggang saat itu. "Tunggu dulu, boleh aku tahu namamu?"

 

"N-Namaku?" tanya wanita itu, seketika wajahnya langsung terlihat gusar saat dia sudah kembali berdiri tegak. 

 

"Ya, namamu," kata Rehan. "Jika kau merasa berhutang padaku, bisa kau memberitahuku namamu?"

 

Wanita itu mengusap tengkuknya pelan. "M-Mn, bagaimana jika tidak harus nama?" tanyanya. "Aku akan membayarmu dengan cara lain. Mn, mungkin kalau kita bertemu lain kali kutraktir makan bersama di restoran?" 

 

"Apa benar-benar rahasia?" tanya Rehan. Mendadak menyesali kenapa semalam dia tidak menilik isi tas kecil wanita itu lebih jeli. Mungkin di sana ada kartu identitas yang letaknya tersembunyi, iya kan? 

 

"Maaf."

 

"Baiklah, tapi kau yakin kita akan bertemu lagi lain kali?" tanya Rehan. "Maksudku, bagaimana cara aku mencarimu? Bisa kita bertukar nomor ponsel?"

 

"Maaf," kata wanita itu lagi. "Tapi, kapan-kapan kalau kau ingin bertemu denganku, aku ada di Kafe One Eighty Coffe and Music."

 

"Ah… aku tahu tempat itu," kata Rehan. "Itu nggak jauh dari kampusku dulu."

 

"Oh… begitu."

 

"Tapi kenapa aku nggak pernah melihatmu di sana?" tanya Rehan. "Apa kau karyawan baru?"

 

"Ya, aku masuk sana belum ada seminggu," kata wanita itu. "Sebagai barista."

 

Rehan pun tersenyum tipis. "Baiklah, kapan-kapan aku akan menagih hutangku ke sana," katanya. "Dan jangan menghindar kalau kukunjungi."

 

"Pasti," kata wanita itu. Lalu membungkukkan badan sekali lagi. "Sampai jumpa."

 

Rehan harusnya biasa saja setelah wanita itu keluar dari pintu, tapi entah kenapa seperti ada yang lepas dari dalam hatinya. Sesuatu. Tapi Rehan sendiri tidak tahu apa itu. Dia hanya kembali berbaring selama beberapa menit dan memandang langit-langit kamar untuk menyadari segalanya. 

 

Semalam itu bukan mimpi. Kehangatan tubuh wanita itu bahkan masih terasa di sisinya. Ah, Rehan bahkan belum memintanya untuk menjaga diri dan kesahatan lebih baik sebelum pergi. Dia pasti sangat-sangat sakit. Sejak awal kondisinya memang buruk, demamnya justru muncul, dan semalam mereka bercinta hingga entah jam berapa sebelum tertidur bersama. 

 

Apa dia benar-benar tidak apa-apa?

 

"Ahh…" desah Rehan pelan. Dan dia sungguh-sungguh menyesal mengapa tidak menawarinya sarapan bersama juga. Dasar Rehan bodoh. Apa sih yang kau pikirkan? Omelnya pada diri sendiri.

 

Pagi jam 10, Rehan baru keluar dari hotel itu setelah mandi dan sarapan pagi. Dia langsung menjawab telepon dari Maria setelah mengaktifkan ponsel untuk pertama kali. Suara wanita itu dipenuhi kekhawatiran. 

 

"Halo, Nak?" 

 

"Ya, Ma?"

 

"Kau baik-baik saja?"

 

Rehan menaruh ponselnya di pegangan ponsel di atas dashboard mobilnya. Dia menyetir sambil menjawab. "Ya, memang kenapa, Ma?"

Maria terdengar mengela nafas lega. "Hahh… syukurlah," katanya. "Kupikir terjadi sesuatu padamu."

 

"Aku baik-baik saja, Ma."

 

"Iya, tapi semalam kau ada di mana? Papa menanyakanmu pagi ini."

 

"Aku bersama Alex, Main."

 

"Main?"

 

Rehan berpikir keras secepat mungkin. "Ya, main game semalaman. Lalu tidur di apartemennya dan baru bangun tadi," katanya. Berbohong. "Bilang ke Papa aku akan segera pulang. Maaf tadi malam aku pergi begitu saja daripada marah-marah di rumah."

 

Maria terdengar menghela nafas sekali lagi. "Iya, nggak apa-apa," katanya. "Yang penting cepet pulang aja. Papa juga mau minta maaf sudah terlalu memaksamu. Toh kau sudah setuju dengan kencan butanya juga. Maklumilah, orang darah tinggi memang mudah sekali emosi."

 

"Iya, Ma."

 

"Baiklah, sampai jumpa."

 

"Iya, sampai jumpa."

 

Sambungan telepon itu pun terputus. Dan Rehan langsung menghempas helaan nafas panjangnya yang menyumpal di dada. "Aku mungkin akan gila kalau tidak melupakan perjodohan itu," gumamnya. 

 

Tiga hari kemudian, Rehan pun benar-bener menemui gadis pertama yang harus dia kencani. Namanya Fifian. Seorang mantan pramugari. Dia pulang setelah berhasil menanam beberapa usaha aksesori di Jakarta dan bisa menghasilkan fee lebih besar daripada saat menjadi pramugari. Tentu saja sangat cantik. Memang pramugari mana yang tidak good looking dan punya attitude bagus?

 

Andaikan Rehan tidak bertemu dengan wanita yang bekerja sebagai barista itu di Bar El Noir, mungkin dia akan memikirkan Fifian baik-baik. 

 

Fifian sungguh gambaran gadis ideal. Senyumnya baik, tawanya cantik, tutur katanya halus, dan tahu kapan suasana hati lawan bicaranya tidak berada di sana. 

 

"Kamu bosan dengan obrolan ini ya, Rehan?" tanya Fifian. Lalu menyesap jus jeruknya pelan-pelan. "Aku tahu kok. Maaf ya, kalau nggak membuatmu nyaman. Aku juga nggak masalah kalau kamu nggak memilihku. Kita masih bisa jadi teman."

 

"Tidak, bukan begitu, Fifi," kata Rehan. "Aku hanya … punya sedikit masalah sedikit. Kurang mood. Maaf nggak bisa fokus kepadamu."

 

Fifian menggelengkan kepala pelan. "Nggak masalah," katanya. "Kalau pun kamu beneran nggak suka padaku juga bisa dimaklumi. Lagipula kau adalah model, selebgram, dan kudengar … punya banyak fans di sosial media sampai dijuluki Pangeran Milenial di kampus ITB dulu."

 

Rehan pun tersenyum kecut. "Haha… kau terlalu melebih-lebihkan," katanya. "Aku menganggap itu pansos saja. Biasa kan untuk jaman sekarang. Tapi sebenarnya aku biasa saja."

 

"Iya, aku tahu," kata Fifian. Lalu berdiri dan mengulurkan tangan untuk berjabat tangan padanya. "Terima kasih sudah bersedia bertemu hari ini. Semoga kau benar-benar menemukan pasangan yang tepat untuk pernikahanmu nanti."

 

"Iya," kata Rehan. Lalu segera berdiri dan menjabat tangan lembut itu. "Kau juga, Fifi. Kuharap kau tidak sungkan atau apa padaku kalau kita bertemu lagi lain kali."

 

Fifian tersenyum lebar. "Iya, pasti," katanya. Lalu melepaskan jabatan tangan. "Kalau begitu sampai jumpa."

 

Rehan tidak pernah merasakan apapun saat orang lain mengatakan 'Sampai jumpa' kepadanya. Namun, sejak dia mendengarnya dari gadis waktu itu, entah kenapa jadi terasa menyebalkan. 

 

"Iya, sampai jumpa."

 

Rehan menemui gadis kedua dan ketiga dengan alur yang kurang lebih sama. Dan begitu dia pulang ke rumah, dia langsung menuju kamar, mandi, dan tiduran di atas ranjang dengan tetap mengenakan bathrobe karena terlalu kepikiran. 

 

"Aku benar-benar ingin melihat wajahnya lagi…" gumam Rehan pelan. "Apa sebaiknya aku menemuinya saja ke kafe itu?" 

 

Bersambung...