Tanpa diketahui oleh Temmalara, Data dan Ujung membuntuti Temmalara yang hendak pulang ke Rumahnya yang berada di Luar Dinding Benteng. Mereka mengamati Temmalara yang menyelinap masuk ke Rumahnya lewat jendela. Keduanya menjadi penasaran karena tingkah lakunya, kemudian melakukan hal yang sama dengannya.
Mario dan Anakbatu terlihat asyik membuat pulau. Sebelum masuk ke Rumah, Temmalara sempat memasukan pasir ke dalam kendinya airnya yang telah kosong. Temmalara tersenyum licik ketika pasir itu ia taburkan ke wajah mereka berdua.
Hacuh!
"Aduh! Temmalara!" bentak Mario perlahan terbangun dari tidurnya.
"Seperti anak kecil saja," ketus Anakbatu.
"Mau sampai kapan kalian tidur sudah waktunya bekerja." ujar Temmalara sembari menepukan tangannya berkali-kali.
Prok!
"Sore ini memangnya ada pekerjaan apa?" tanya Mario sambil menguap.
"Aku butuh bantuan kalian untuk mencari informasi tentang pembunuhan Juragan La Besi. Kalian pasti telah mendengar kabar kematiannya iya kan?"
"Tentu jangan pernah anggap remeh kemampuanku Kakak," sahut Anakbatu.
Saat sedang bersiap-siap, Mario dan Anakbatu berpapasan dengan Data dan Ujung yang sudah menyelinap masuk ke Ruang Tamu. Temmalara pun ikut dalam pembicaraan mereka berempat meskipun masih agak kesal dengan kelakuan kedua rekan kerjanya yang kurang sopan itu.
Menurut saran dari Mario, empat orang saja tidaklah cukup untuk bisa memecahkan teka-teki pembunuhan ini. Data dan Ujung sebaiknya meminta Kapten Karassa untuk mengerahkan prajurit di bawah pimpinannya untuk mencari mayat La Besi di Sekitar Sungai Wallanae dan mencari bekas galian kuburan di sekitar Rumahnya
Dari pembicaraan itu, Anakbatu menarik kesimpulan kalau pelaku pembunuhan ceroboh dan tidak hati-hati. Menurut pengalamannya bahkan orang yang dibunuh di dalam Benteng Somba Opu pun banyak yang mati mengenaskan tanpa diketahui apa-apa.
--
Sesuai arahan dari Temmalara, Mario dan Anakbatu menuju ke Persawahan La Besi untuk mencari informasi yang mereka bisa dapatkan. Disana mereka menjumpai para petani yang melakukan aktivitas seperti biasa meskipun Pemilik Sawah itu dibunuh.
Pekerjaan di ladang sudah hampir selesai, mereka beristirahat sambil meminum sisa air dan memakan bekal makanan yang hampir habis.
"Apa yang kalian ketahui tentang Tuan kalian La Besi? sudah kuduga akui saja Paman jujurlah kepada kami Prajurit Wajo. Kalian bersekongkol untuk menguasai lahan ini ya?" tanya Anakbatu tersenyum sinis.
"Maafkan kami Tuan Muda, ampun kami tidak tahu apa-apa tentang Tuan kami. Kami hanya Buruh Tani hanya itu, Juragan La Besi orang yang sangat baik," jawab Petani itu.
"Kalau dia baik tidak mungkin dia dibunuh. Orang itu hanya memanfaatkan Paman saja," ujar Anakbatu.
"Dari tadi kau sudah keterlaluan Anakbatu! jadi tolong jelaskan Paman tentang keseharian Juragan ini. Kebaikan apa yang pernah diberikan kepada kalian," balas Mario.
"Tuan Besi membayar kami dan terkadang menyuruh para Pengawas memberikan beberapa karung beras untuk kami. Tapi selain kebaikannya, aku sama sekali tidak mengetahui sisi lain dirinya. Apakah dia mempunyai Anak ataukah dia memiliki usaha lain. Mungkin saja dia memiliki Sawah di Wanua lain, kami semua yang ada di sini tidak tahu menahu."
"Hanya itu? memangnya Juragan sama sekali tidak pernah keluar rumah?" tanya Mario.
"Jadi begini nak, Paman sudah bekerja di Persawahan ini selama 30 tahun. Untuk penampilannya, fisik Tuanku gendut, rambutnya telah memutih dan botak sebahagian. Paman rasa dia paling senang memakai pakaian berwarna merah. Tuanku paling sering terlihat jika ada sesuatu yang ingin disampaikan kepada Pengawas Pertanian misal penebangan Hutan Bambu di wilayah sana 3 tahun yang lalu untuk meluaskan Persawahan ini."
"Berarti Juragan ini mandul?" tanya Mario keheranan.
"Kesimpulanmu itu salah Kak Mario," sahut Anakbatu seraya menepuk jidatnya.
"Namamu Mario ya, tidak nak orang sepertinya perlu pewaris untuk melanjutkan usaha ini. Apalagi Persawahan ini begitu luas, turun temurun kami hidup dan mencari penghasilan disini."
Anakbatu hanya geleng-geleng kepala karena rasanya percuma jika mereka berdua menanyai para Petani itu.
--
Rombongan Prajurit Wajo yang berjumlah 30 orang datang dengan membawa sekop dan cangkul di pundak mereka. Rombongan itu bergerak mensusuri sekitar Rumah La Besi. Data disuruh kembali oleh kapten untuk menemani dan membantu Temmalara.
Sampai menjelang Maghrib, mereka semua belum juga mendapat petunjuk dan menemui jalan buntu.
"Temmalara kenapa tidak kita periksa ulang saja. Mungkin saja kesimpulan kita ada yang salah?" tanya Mario.
"Tidak mungkin, seperti kata Anakbatu tadi hanya satu hal yang pasti pembunuhnya adalah orang yang ceroboh dan bodoh. Tapi kenapa pelaku ini licin bagaikan belut," jawab Temmalara.
"Mungkin ada buku atau semacamnya disana, bagaimana pendapatmu Kak Data?" sahut Anakbatu.
"Ada banyak kertas di Rumah Juragam itu akan tetapi Temmalara, kalian tahu sendiri dia tak bisa baca tulis sama seperti kalian berdua. Tidak ada gunanya kelas bangsawan harus bergantung pada bantuan rakyat jelata," balas Data.
"Bngsawan itu menurutku kebanyakan tidak lebih terhormat dari pengemis. Mereka itu hidup layaknya parasit dengan menghisap penghasilan rakyat jelata," ucap Anakbatu melirik tajam Datam
"Benar Anakbatu mereka lebih mirip parasit masyarakat. Sekali parasit tetap parasit!" tegas Temmalara.
"Bocah bergaya jagoan!" bentak Data.
"Kalau kau merasa tandanya apa yang kukatakan benar Data," ujar Temmalara santai.
"Haha sudah-sudah kalian berdua mirip Kakak Adik, harus aku. Jika berkelakar kemiripan kalian bertambah." ujar Mario, sembari menepuk pundak Temmalara dan Data.
"Asal kau tahu kau yang Kakaknya Mario. Amu baru kenal orang ini beberapa hari yang lalu," balas Data seraya mengacungkan jarinya ke wajahnya Mario.
"Hah! tapi kau kan rekannya dalam bekerja, betul atau betul? ya tidak Anakbatu!" balas Mario tersenyum sinis.
"Betul karena itu kalian tiga serangkai harus akrab..." sahut Anakbatu menirukan gaya bicara Mario.
Mereka telah memutuskan sehabis sholat maghrib, Temmalara dan Anakbatu akan mencari informasi lebih banyak lagi di pusat kota mengenai Juragan La Besi. Sedangkan Mario dan Data akan mencari sesuatu yang mungkin berguna di rumahnya, berupa catatan atau petunjuk lain.
--
Jalanan semakin gelap, Temmalara mulai menyalakan obornya. Di tengah jalan Temmalara mendapato dengan seseorang yang akan mengganggu dirinya.
"Hai selamat malam Tuanta Perjaka!" sahut Lakiung.
"Eh?" Temmalara perlahan menengok ke belakang.
"Sedang apa?" tanya Lakiung.
"Tunjukkan kebolehanmu Temmalara," sahut Anakbatu langsung menepuk pundak kawan.
"Hoy Anakbatu!" balas Temmalara tersipu malu.
"Pasti tugas dari Kapten Perang ya... wah sulit juga ya jadi seorang Tentara," sahut Lakiung
"Tidak juga misi kami dari Garisun lokal Tosora adalah pelaku pembunuhan Juragan Bangsawan yaitu Sulewatang La Besi yang dibunuh. Diperkirakan pembunuhannya sudah lusa kemarin. Apa kau punya kenalan yang bisa membantu kami Lakiung?"
"Hihi aneh lucunya kalian ini percuma saja pasti jasadnya sudah dibuang pembunuhnya ke Danau. Menyerah saja, ada 5 Danau disini. Lebih baik kalian Tentara Wajo tidak perlu ambil pusing."
"Mau jadi apa Wajo kedepannya, kalau orang di dalamnya memiliki pemikiran sepertimu Lakiung?" tanya Temmalara.
"Ara... kau itu orang Gowa lebih baik diam saja," sahut Lakiung.
"Tapi menurutku mayatnya dibuang di Sungai Wallanae jika dilihat dari lokasi pembunuhan," sahut Anakbatu.
"Yang benar mana, Danau apa Sungai?" tanya Temmalara kebingungan.
"Jika dibuang di Danau pasti sudah ketemu oleh orang yang memancing sehari-hari. Danau disini kecil dan orang-orang punya tambak ikan disitu, kemungkinan dugaanku 50/50. Aku juga mendengar dari Pedagang Pasar, katanya para prajurit berhasil menghabisi buaya-buaya besar yang mengancam nyawa masyarakat."
"Hihi apa hubungannya perburuan buaya dan pembunuhan kali ini?" tanya Lakiung.
"Aku sendiri tidak tahu... intinya Prajurit Wajo tidaklah sebodoh yang kau kira Kakak Lakiung. Kita hanya bisa berharap saja, apa benar-benar tidak ada kenalan yang bisa membantu kami."
"Bodoh tidak jelas... aku tidak mau tahu dan tidak mau ikut campur urusan kalian," ketus Lakiung.
"Bagaimana dengan kelompok Gagak Hitam sekarang?" tanya Anakbatu
"Aku tidak peduli kehidupan pribadi pelanggan haha coba kalian tanya sendiri dengan Paman Sero di Pitumpanua."
"Kapan kau ini berhenti dari pekerjaan haram," balas Temmalara.
Temmalara dan Anakbatu memutuskan untuk berbalik arah karena rasanya seperti sia-sia. Mereka saja bahkan tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya dengan keterangan yang minim. Setidaknya untuk melanjutkan pencarian informasi, Temmalara harus menunggu Mario dan Data.
Mario dan Data akhirnya menemukan petunjuk dari salah satu surat yang mereka periksa, Mereka berempat berkumpul lagi di Persawahan tadi. Suasananya sepi, di bawah sinar bulan purnama.
Beberapa Prajurit Wajo yang kebetulan lewat menyapa mereka. Prajurit di Wajo sendiri yang mendapatkan jatah untuk berjaga malam, wajib melaksanakan perintah dibawah pengawasan Letnan ataupun Kapten.
"Tertera disini, nama lengkap yaitu, Sulewatang La Besi. Umur 60 tahun, hanya ini informasi yang bisa kami temukan." ujar Data sambil membaca isi surat tersebut.
"Berarti menurutku yang membunuh La Besi ini kalau bukan keluarganya pasti pelayannya, kalau perampok aku rasa tidak akan mungkin seceroboh dan sebodoh itu. Begitu juga dengan pembunuh bayaran," balas Anakbatu.
"Iya kami paham kenapa diulangi lagi Anakbatu," sahut Temmalara.
"Jadi bagaimana Data, apa disitu ada nama-nama Keluarganya?" tanya Mario.
"Oh ada yang ini..." jawab Data.
"Berarti kita akan mengecek kediaman Adiknya besok, siapa tahu Adiknya tahu sesuatu mengenai kematian Kakaknya dan motif seseorang membunuhnya," balas Temmalara.
"Siap Tuan! kami rakyat jelata siap mengikuti dan melaksanakan perintah dari tuan bangsawan," sahut Mario
"Berlebihan kau ini," ketus Temmalara.
"Kau kan sudah jadi bangsawan," balas Mario.
"Kubilang terlalu berlebihan," balas Temmalara.
Di kegelapan malam, rombongan jaga malam Prajurit Wajo itu mendekati mereka berempat. Ia menyampaikan pesan untuk Temmalara dan Data.
"Hah! mayat mengapung ditemukan di Wanua Penrang?" sahut Data.
"Ya tepatnya di perbatasan antara Tosora dan Penrang, seorang wanita paruh baya yang sedang mencuci pakaian melihat mayat yang mengapung di sungai itu," ujar Prajurit itu.
"Kenapa tidak dimakan buaya mayatnya?" tanya Temmalara.
"Hoy kau! katanya kau Anak Petani yang baru bergabung itu ya. Beraninya kau bertanya hal bodoh ke kami! jelas kami musnahkan buaya dan sarangnya yang mengganggu keamanan desa-desa!" teriak Prajurit itu.
"Kalian jangan mendengarkan kelakar orang ini, membuat sakit hati saja," ketus Data.
"Kalian semua juga disuruh menghadap ke kapten sekarang!" bentak prajurit itu
"Baiklah kalau begitu," balas Data.
Tanpa berlama-lama, mereka mulai berjalan ke masjid terdekat untuk sholat isya. Kemudian setelah selesai mereka berempat berjalan ke Rumah Kapten. Data dan Temmalara menyampaikan apa yang mereka berdua ketahui dan juga memperkenalkan Mario dan Anakbatu kepasa Karassa.
"Akan menguras banyak waktu jika kita menanyai para pesuruh dan pengawas sawahnya satu persatu. La Besi memiliki banyak sawah di lima wanua: Tempe, Empaga, Totinco, Sengkang, dan Tosora. Kita harus mengubah strategi," ujar Karassa setelah mendengar kesimpulan dari Anakbatu dan Temmalara.
"Apa kau tahu sesuatu Kapten dari kerabatmu?" tanya Ujung.
"Menurut kabar burung yang kudengar, Anak Juragan bertengkar memperebutkan sawah miliknya. Mungkin saja akhirnya mereka tega menghabisi nyawa Ayahnya sendiri," jawab Karassa.
"Kudengar kau adalah Sulewatang. Kapten menurutku sebaiknya kita periksa keluarga paling dekatnya namun jangan menemui anaknya secara langsung," ujar Temmalara.
"Benar Temmalara aku juga berpikir demikian. Juragan itu sebenarnya lebih cocok mendapatkan gelar Puang daripada Sulewatang. Biasanya orang-orang militer yang mendapatkan gelar Sulewatang karena sewaktu-waktu dibutuhkan jika ada ancaman baik dari dalam ataupun luar," balas Karassa.
"Mungkin saja La Besi memiliki koneksi di militer, bisa saja pembunuhnya meminta perlindungan kepada para petinggi militer," ucap Anakbatu.
"Tidak mungkin Anakbatu, kau pikir pihak militer mau disuap dengan harta sebesar itu. Kesimpulan yang kau buat bagus tapi jangan mengada-ngada," balas Ujung.
"Oh ya Kapten, apa kami rakyat Gowa tidak apa-apa ikut campur? kami membantu karena bekerja sebagai bawahan Temmalara," tanya Mario.
"Hah? bawahan," ucap Temmalara.
"Wilayah Wajo adalah Wilayah Gowa, begitupun sebaliknya. Di atas kertas wilayah ini milik Kesultan Gowa. Bukan hanya Wajo namun Seluruh Sulawesi adalah kerajaan bawahan. Aku sendiri tidak keneratan kalau kalian mau membantu menecahkan kasus ini, bisa jadi kalian diberi upah nantinya, status kalian sama dengan Tentara Bayaran," jawab Karassa.
"Bagaimana kondisi mayat itu Kapten? kita tidak boleh kalah dari para jelata ini." ujar Data.
"Gendut, tidak disemir, botak sebagian. Ia memakai pakaian merah dan di jarinya ada cincin batu akik berwarna merah. Kira-kira mayat itu sudah 2 atau 3 hari karena mengeluarkan aroma busuk yang menyengat."
"Tidak salah lagi dari informasi yang kita berhasil kumpulkan, itulah mayat Juragan."
"Keberuntungan iya kan Temmalara?" tanya Karassa.
"Mungkin saja kapten, besok kita lakukan apa yang kusarankan tadi. Kemungkinan besar pelaku tidak meminta perlindungan militer. Kapten izinkan aku untuk mengecek rumah keluarganya untuk mencari siapa pelaku di antara mereka. Itulah jawabanku Kapten," jawab Temmalara.