Kota Tosora
Setelah melaporkan kepada Kapten Karassa, Temmalara melakukan sholat istikharah bersama-sama dengan Kapten dan yang lainnya memohon petunjuk. Temmalara sendiri baru tahu kalau ada sholat selain sholat 5 waktu dan sholat ied.
"Jadi selama ini kau ikut sholat jumaat tapi ketika masuk masjid tidak sholat 2 rakaat terlebih dahulu?" tanya Karassa.
"Jujur pengetahuan agamaku kurang," jawab Temmalara.
"Kapten, kenapa kita tidak ke dukun saja?" tanya Data
"Itu syirik namanya, lagipula kita tidak bisa menuduh siapa pembunuh La Besi sembarangan tanpa bukti," jawab Karassa.
"Jadi bagaimana Kapten? apa kita mencari informasi Juragan itu mulai besok saja?" ujar Temmalara
"Menurutku jangan, oh ya kau Temmalara anggota baru itu ya? aku sudah berpengalaman dalam masalah ini. Kita diburu oleh waktu, bahkan kita belum mengetahui siapa nama Juragannya." sahut Ujung, salah satu Prajurit Wajo dan kawan akrab Data.
"Namanya La Besi Ujung dia masih besan dari saudara jauh Arung Matoa Wajo. Apa yang engkau katakan memang benar, namun untuk saat ini bagaimana kalau kita berempat ke Rumahku terlebih dahulu. Akan kita coba pecahkan pembunuhan ini di antara kita, jika mengajak terlalu banyak orang hanya akan memecah konsentrasi saja," sahut Karassa.
Dari masjid di didekat sawah itu, mereka berempat segera beranjak menuju ke Rumah Sang Kapten. Rumahnya terletak di Bagian Tengah Kota. Kota Tosora adalah kota yang sangat besar, memiliki populasi sekitar 10.000 jiwa.
Peluang menemukan pelaku pembunuhan diantara puluhan ribu manusia di kota itu sangat minim, apalagi kalau pelaku sudah kabur dari Tosora. Menurut pengalaman Karassa sendiri banyak kasus pembunuhan yang tak terungkap karena pelaku berhasil melarikan diri.
Jika hal ini terus dibiarkan, maka penjahat akan semakin berani untuk berbuat kejahatan karena keadilan tidak sanggup untuk ditegakkan. Keamanan adalah kunci dalam perdagangan suatu wilayah.
--
Sesampainya di Rumah Kapten, terlihat dari depan Rumah itu memiliki pelataran yang sangat luas. Cat kayunya indah dan nampak mengkilat karena rutin diberi minyak khusus pada bagian Tiang Panggungnya.
Ayam-ayam peliharaan Kapten berkeliaran sangat banyak. Temmalara refleks langsung menangkap salah satu ayam jantan dan mengelusnya. Rumah mewah impian seperti inilah yang selalu diimpikan oleh Temmalara apalagi semenjak dia menjadi Prajurit.
Petok!
"Haha bocah apa yang kau lakukan, ayam milik Kapten itu," sahut Ujung menepuk pundak Temmalara.
"Maaf aku..."
"Tidak apa jadi bagaimana menurutmu tentang ayamku Temmalara?" tanya Karassa.
"Wah Kapten bahkan memiliki ayam yanh dari kepala sampai ekor hitam semua!" jawab Temmalara sangat senang langsung menghampiri ayam misterius yang dilihatnya.
"Senang juga ya kau dengan ayam. Ini ayam cemani kudengar berasal dari Pulau Jawa." balas Karassa sambil memegang pundak Temmalara.
"Apa aku boleh minta satu Kapten hehe?" ujar Temmalara menunjuk ayam jantan besar milik Karassa.
"Hoho tidak ada makan siang gratis Prajurit," celetuk Karassa tersenyum sinis.
"Betul kata Temmalara bagi ayam 1-2 ekor ya Kapten," sahut Ujung.
"Sudah bercandanya ayo masuk ke dalam," sahut Karassa.
Mereka berempat, menaiki tangga kemudian masuk ke dalam Rumah Panggung itu setelah melepas sendal. Karassa menyuruh Istrinya untuk memanaskan makanan, terlihat ada beberapa Pelayan yang sigap membantu istrinya ketika berada di dapur.
"Hebat Kapten, di usia muda bisa sukses. Ayam Cemani dan Pelayan pasti mahal kan?" tanya Ujung.
"Tidak... tidak juga ujung asalkan kita ulet dan rajin, kalau kita berusaha pasti mampu," balas Karassa.
"Tidak usah terlalu merendah kapten, kami semua mengakui kapten."
"Itulah kehebatan para bangsawan memangnya rakyat jelata," ujar Data.
Brak!
Temmalara spontan menggebrak meja itu, karena perkataan Data amarahnya langsung menggebu-gebu.
"Refleksmu keterlaluan," balas Ujung.
"Aku tidak peduli asal kalian tahu Bangsawan itu sekelompok pemalas yang langsung kaya! mereka bisa sukses karena warisan orang tua. Kalau aku anak seorang Sultan pasti aku lebih hebat!" sahut Temmalara.
"Apa maksudmu hah!? Kapten itu punya anak bayi yang baru berumur 5 bulan dasar Petani sialan!" teriak Data sambil memegang kerah baju Temmalara.
"Sudah kalian bertiga! kau Temmalara terlalu seperti anak kecil. Data yang lebih tua seharusnya harus sudah bisa menghargai orang lain apapun itu pekerjaannya. Kau juga Ujung bukannya melerai malah ingin menghajar Temmalara. Aku minta maaf kalau memang menyinggung perasaan kalian," tegas Karassa.
"Tidak Kapten aku yang seharusnya minta maaf, dalam hatiku terpatri kekesalan pada bangsawan," ujar Temmalara.
"Data dan Ujung aku juga minta maaf. Kita semua disini sebagai teman bukan sebagai seorang Prajurit. Kalau bertugas sebagai Prajurit sudah lain ceritanya, ingat itu baik-baik tiada ampun!" timpal Karassa.
"Baik Kapten!" serempak mereka bertiga saling bersahutan.
"Ini tehnya masih panas, diminum sampai habis." sahut Istrinya Karassa, menyuguhkan teh kepada mereka berempat.
"Sayang ingat ya jangan lupa," ujar Karassa seraya menarik tangan istrinya.
"Wah Kapten romantisnya," sahut Ujung.
"Tenang Ujung, kita pasti bisa mendapatkan calon yang cantik nanti. Kita tidak akan kalah dari kapten! Hoy Temmalara jangan seperti orang utan, masih panas teh itu langsung kau habiskan." sahut Data melirik Temmalara yang langsung saja meminum habis teh itu.
"Sedapnya... jarang bisa meminum minuman mewah seperti ini," ucap Temmalara.
"Haha tidak juga justru aku khawatir dengan kondisi lidahmu Prajurit," sahut Karassa.
"Kapten asal kau tahu orang-orang seperti kami jangankan minum teh makan saja terkadang susah lalu oleh para Daeng kami disuruh membayar pajak. Jika tidak maka kerbau kami akan direbut mereka." ucap Temmalara seraya melirik ke arah cangkir teh yang telah kosong itu.
"Apa yang terjadi di Gowa kalau masih tidak sanggup membayar pajak?" tanya Karassa.
"Entahlah Kapten yang jelas hanya orang tidak waras yang bahagia membunuh para gelandangan. Tapi mau itu di Gowa atau Wajo, semua Kerajaan sama saja."
"Salahkan saja Bangsawan karena kelemahan kalian itu," balas Data.
"Ya apa Kapten ingin mendengarkan kisah si Bodoh dari Bantaeng?" tanya Temmalara.
"Si Bodoh dari Bantaeng? aku tidak pernah mendengar kisah itu?" tanya Ujung keheranan.
"Pada suatu hari hidup seorang bocah yang hidup di desa dekat dengan Kota Bantaeng. Ayahnya senang minum tuak (khamr) dan suka bermain dadu (judi), sedangkan Ibunya selalu saja menuruti kemauan ayahnya seperti seorang budak yang selalu bilang iya tuan dan siap tuan. Saking bodohnya karena tidak bisa berfikir dan mempunyai kemampuan sendiri, si bodoh ini selalu takut untuk melawan seperti seakan-akan berhadapan dengan bangsawan." ujar Temmalara secara getir menceritakan kejadian itu.
"Aku jadi makin penasaran," ujar Ujung.
"Kakak Ujung bisa minta tehmu?" tanya Temmalara.
"Silahkan aku juga sedang tidak ingin minum teh," jawab Ujung menyuguhkan tehnya yang mulai dingin kepada Temmalara.
*Slurp*
"Dia adalah yang kelima dari sebelas bersaudara. Dari kecil, anak itu tidak pernah diurus, ia selalu melampiaskan kekesalannya dengan melempar batu ke arah burung atau tupai atau kelinci atau apalah. Sampai ia mendapatkan kelinci dan kelinci itu ditukar dengan busur tua. Dia yang masih kecil agak kesulitan menggunakan panah jadi harus meracik racun, sampai tembakannya tidak pernah meleset lagi."
*Slurp*
"Si Bodoh itu terus bekerja di ladang, menolong yang kesusahan, dia maif sekali karena berpikir kalau senang membantu orang maka ia akan diberi segenggam koin perunggu. Hahaha... bahkan debu pun tidak diberi, ia berusaha memburu bebek untuk diberi ibunya dan berusaha tampil keren didepan ayahnya namun sang anak hanya diacuhkan. Lama kelamaan kegelapan tumbuh di hati sang anak, kegelapan ini semakin besar saat sang ayah kalah terus di meja judi." ujar Temmalara menunduk dan beberapa saat hanya terdiam.
"Sepertinya kisah ini umum ya dikalangan rakyat jelata," ujar Data.
"Ya begitulah hutang terus menumpuk dan dijual anaknya satu-satu menjadi budak di pasar budak. Lalu tebak apa yang terjadi Kakak-kakak sekalian, Ayah sialan itu menggunakan uang menjual anak untuk bermain judi lagi."
*Slurp*
Teh itu langsung habis diteguk oleh Temmalara. Ketiga orang itu kini paham sebenarnya siapa dikisahkan dalam ceritanya itu.
"Lama kelamaan ibunya menjadi gila dan mati minum racun, Ayahnya mati dihabisi rentenir dan kepalanya di arak keliling desa. Kakak yang paling disayangi mati dibunuh rampok, hahahahaha..." Temmalara langsung tertawa histeris.
"Apanya yang lucu?" ujar Ujung.
"Dimana para bangsawan yang berlagak seperti orang hebat waktu si Bodoh itu Kakaknya terbunuh, siapa yang peduli keluarganya hanya sampah. Tapi para bangsawan jauh lebih sampah. Mereka pikir hanya karena keturunan seorang perempuan yang katanya turun dari langit mendarat di Luwu kira-kira 700-800 tahun yang lalu, mereka bisa mendapatkan uang tanpa harus bekerja keras mendapatkannya!?"
"Tumpahkan saja kesedihan di hatimu Temmalara," ucap Karassa.
"Hanya baru-baru ini ia mendapatkan kebahagian setelah menjadi sesuatu, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi lebih kuat dan mencari kekayaan agar bisa hidup makmur. Bukan untuk siapa-siapa namun untuk dirinya sendiri itulah cerita si Bodoh itu Kapten."
Oeeekk!
Mereka berempat berdiri dari tempat duduk dan spontan mendatangi Bayi Sang Kapten untuk menenangkannya.
"Sama Paman yuk... ciluk baa," ujar Ujung
Oeeekk!
"Oh..." ucap Temmalara melirik bayi itu.
Hehe.... ahh.. hehe... - reaksi Bayi itu sambil memegangi baju Temmalara.
"Kau ini bagaimana? kenapa hanya dipandangi bukannya diajak main," sahut Data.
"Aku tidak suka anak kecil," ketus Temmalara.
"Jangan seperti itu Adik, cepat atau lambat kau harus menikah tahu," sahut Karassa.
"Sudahlah kapten, Petani ini otaknya hanya menanam padi, wajar saja kalau ia akan jadi perjaka naif abadi haha." sahut Data menunjuk-nunjuk Temmalara.
"Menikah, apa serunya dan apa untungnya?" balas Temmalara.
"Menikah itu mudah haha kasihan perjaka abadi naif sepertimu mana tau... oh Tuanta Petani," sahut Data.
"Sudah cukup bercandanya sekarang waktunya kita serius. Kalian bertiga cepat berbaris di luar rumah kita akan memulai langkah selanjutnya sebentar lagi." seru Karassa sembari menggendong anaknya yang tertidur pulas.
Setelah menenangkan anaknya, Sang Kapten berdiri dan menghadap ketiga anak buahnya yang telah berbaris rapi menunggu di depan rumahnya.
"Sekarang kita bekerja lagi. Temmalara kau cari tahu lebih banyak tentang Juragan di persawahan tadi atau tempat lain. Data dan Ujung kalian berdua bantu Temmalara, aku harus mengawasi patroli Benteng di Dinding Utara. Kalau sudah menemukan sesuatu tolong laporkan, ini langkah selanjutnya untuk menemukan siapa pelaku pembunuhan La Besi," sahut Karassa.
Sebelum pergi ke Persawahan, Temmalara berniat untuk membangunkan Mario dan Anakbatu yang tertidur di Rumah Panggung kecil pemberian Kerajaan Wajo untuk dirinya. Data dan Ujung memutuskan untuk diam-diam mengikutinya dari belakang sampai tibalah mereka di kediaman baru miliknya.