Vote sebelum membaca 😘😘
.
.
.
.
.
Malam yang gelap kini harus mengalah membiarkan matahari mengambil bagiannya, dia mengintip perlahan di ufuk timur untuk membangunkan seseorang yang masih tertidur. Belum juga cahaya matahari menerobos masuk ke gorden, perempuan yang sedang tertidur itu lebih dulu membuka matanya.
Dia mengedarkan pandangan mencari suaminya, tapi suara gemercik air membuat Sophia yakin kalau Edmund ada di kamar mandi. Dia mengangkat kepalanya untuk melihat jam yang sudah menunjukan pukul setengah tujuh pagi, yang artinya dia baru tertidur selama 4 jam.
Tidak tahan dengan rasa kantuk yang terus menggoda, akhirnya Sophia kembali menjatuhkan kepalanya di atas bantal. Menaikan selimut untuk menutupi tubuh polosnya, mata Sophia kembali terpejam.
Sophia tidak menyesal membiarkan Edmund menyentuhnya, dia selalu meyakinkan dirinya kalau Edmund memiliki hak akan dirinya. Edmund adalah suaminya, itu yang selalu Sophia ucapkan dalam hatinya sepanjang malam tadi.
Dia menyukai Edmund, tidak tahu kapan dia mulai memiliki rasa itu pada suaminya. Sophia perlahan melupakan kejadian saat Edmumd memperkosanya, dan menggantikannya dengan hal-hal bahagia yang dia lewati bersama suaminya.
Edmund berjanji akan setia padanya, dan itu membuat hati Sophia meledak karena bahagia. Bahkan mungkin kini rasa sukanya berubah menjadi cinta, apalagi semalam Edmund melakukannya dengan sangat lembut.
Sophia ingat, suaminya hanya menjanjikan kesetiaan padanya, bukan perasaan. Jadi dia sudah mempersiapkan diri jika Edmund mengatakan kalau dia tidak mencintainya.
Sebelum Sophia benar-benar kembali masuk ke alam mimpi, telinganya mendengar suara pintu kamar mandi terbuka. Dia membuka matanya perlahan, pandangannya langsung tertuju pada Edmund yang sedang memilih pakaian, dia hanya memakai handuk yang melilit di pinggangnya.
Mengingat kewajibannya sebagai seorang istri untuk menyiapkan kebutuhan suami, Sophia kembali bergerak. Dia duduk di atas kasur sambil memeluk bantal yang menutupi dadanya. Kepalanya yang terasa pusing membuatnya menyandarkan kepala pada bantal yang dia peluk, mendesah tertahan saat rasa sakit itu semakin menjadi-jadi.
"Tidur saja lagi."
Sophia menatap Edmund yang sedang mengancingkan pakaiannya. "Aku akan sarapan di luar," lanjutnya menatap Sophia sekilas.
"Aku tidak bisa bolos bekerja di minggu pertama."
Edmund menggelengkan kepala sambil tersenyum kecil saat Sophia berucap, suaranya serak dan terdengar sangat seksi.
"Aku boss-nya, kau bisa datang kapan pun kau mau."
"Tidak boleh seperti itu," ucap Sophia dengan nada bicara mengecil.
"Boleh, tidur saja. Kau pasti lelah semalam."
Ucapan Edmund membuat pipi Sophia memanas dan memerah, mengerti dengan apa yang dimaksud suaminya. Sophia menenggelemkan wajahnya di atas bantal lalu kembali tidur di atas ranjang.
Melihat itu Edmund terkekeh pelan, dia melihat wajah malu istrinya dari pantulan cermin di depannya. Pertama kalinya dia menyentuh Sophia secara sadar, dan dengan statusnya sebagai suami membuat Edmund bahagia. Sophia tidak menolakya, perempuan itu tahu kewajibannya sebagai seorang istri.
Dan tentang janjinya semalam, tentu Edmund tidak main-main. Dia akan setia pada Sophia meskipun perasaan cinta belum hadir. Namun, Edmund akan belajar mencintai istrinya, ibu dari anak-anaknya yang akan mendampinginya hingga hari tua.
Itu yang Edmund inginkan, dia ingin menikah sekali seumur hidup. Dia juga tidak ingin anaknya memiliki keluarga yang tidak utuh, terlebih lagi jika anak-anaknya terlahir dari wanita yang berbeda. Edmund tidak menginginkannya.
Tentang Sara, dia memang belum bisa melupakannya. Bahkan Edmund mengakui kalau dirinya masih sangat mencintai wanita itu. Namun hidup terus berlanjut, dia tidak akan terus terpuruk. Edmund sudah menyandang gelar suami dan sebentar lagi dia akan menjadi seorang ayah. Memikirkan masa depan dengan anaknya lah yang membuat Edmund perlahan melupakan Sara.
"Kau menginginkan sesuatu?"
Sophia membuka selimut yang menutupi kepala, dia menggeleng pelan. "Tidak ada."
"Kalau tidak, aku akan pergi sekarang."
"Sepagi ini?"
Edmund mengangguk sambil memilih jam tangan. "Ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan," ucapnya berjalan ke arah istrinya.
"Diam di apartmen, mengerti?" Edmund menundukan kepala menatap Sophia.
"Aku tidak janji."
"Sophie," ucap Edmund penuh penekanan. "Kau bisa kelelahan jika bekerja."
"Tidak, tidak, kau pergi saja. Aku masih ngantuk," ucapnya sambil memejamkan mata lagi.
"Tidak bekerja, oke?"
Sophia menggeleng. "Aku tidak janji, Ed."
Edmund menghela napas pelan, dia menegakan tubuhnya kembali. Dia melangkah keluar dari kamar setelah mengusap kepala Sophia pelan. Edmund juga membuatkan sandwich sebelum berangkat ke kantor, dia tidak bisa meninggalkan istrinya begitu saja. Setidaknya dia melakukan sesuatu untuk Sophia sebagai imbalan menemani malamnya.
Jarum jam terus berputar, Sophia kembali bergerak dalam tidurnya. Dia merasa sudah cukup memejamkan mata, ini saatnya untuk bangun dan mengguyur tubuh agar lebih segar. Sophia berjalan ke arah kamar mandi dengan selimut yang menutupi tubuhnya, dia mandi di bawah guyuran shower yang seketika membuatnya segar.
Ketika dia turun ke bawah, pandangan pertamanya tertuju pada piring yang berisi dua sandwich. Sophia tersenyum saat dia melihat memo dengan tulisan tangan Edmund yang khas. Hatinya menghangat mendapatkan perlakuan manis. Dan sekali lagi, perasaan cinta Sophia pada Edmund semakin bertambah.
Tiba-tiba saja Sophia merindukan Edmund, padahal dia baru saja pergi dari apartemen tiga jam yang lalu. Sophia tidak tahan, dia ingin berada di satu ruangan yang sama dengan Edmund. Meskipun mustahil dia menginginkan berada di satu ruangan yang sama dengan Edmund saat ini, Sophia memikirkan sesuatu yang membuatnya bisa berada di gedung yang sama dengan Edmund.
Dia mengambil ponselnya di nakas, jarinya meluncur di atas layar lalu menempelkan ponsel itu ke telinganya.
"Selamat pagi, Señora."
"Pagi, Ben, tolong jemput aku 30 menit lagi."
"Baik, Señora."
Sophia segera mematikan telpon, dia tersenyum dan mulai melangkah untuk mengganti pakaiannya dengan pakaian yang pantas dipakai ke kantor.
***
"Kau sadar ini jam berapa?!"
Sophia mengangguk tanpa menatap mata Catherine yang mengintimidasinya. Sejak dia datang beberapa menit yang lalu, Catherine tidak berhenti menatapnya tajam dan memarahinya.
"Kau ini hanya pegawai magang, dan sudah terlamat di minggu pertama!"
"Maaf," cicit Sophia pelan.
Dia tahu sangat telambat, tapi setidaknya dirinya sudah datang sebagai bentuk tanggung jawab. Jika saja mereka tahu dirinya adalah istri Edmund, pasti tidak akan ada yang berani memarahi. Namun, Sophia tidak menginginkannya, dia memilih menjalani konsekuensi karena terlambat daripada mengaku sebagai istri Edmund dan berakhir menjadi bahan tertawaan.
Sophia berangkat dari apartemen pukul sebelas siang. Prinspipnya adalah lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali. Dibalik itu, dia juga sangat merindukan Edmund.
"Kenapa kau terlambat?"
Mata Sophia terangkat sesaat untuk menatap Catherine yang mengintimidasinya. "A-aku tidak bisa tidur semalam," ucapnya pelan.
"Kau tidak bisa tidur? Apa kau insomnia?" Caroline ikut bergabung dalam percakapan, dia berdiri di samping Catherine sambil melipat tangan di dada.
Sophia menggeleng. "Tidak."
"Tidak bisa tidur semalaman bukan alasan untuk datang terlambat!"
"Tunggu, Cath." Caroline memegang tangan temannya. "Lihat di lehernya, dia memiliki kissmark."
Mata Sophia membulat, dengan cepat dia membenarkan letak syal untuk menutupi warna merah di lehernya.
"Kau bisa tidur karena bercinta?"
Sophia terdiam, pipinya memerah karena malu.
"Astaga, dia masih anak-anak tapi sudah berani melakukan itu," gumam Caroline menatap jijik Sophia. "Kenapa perusahaan ini menerimanya?" gumamnya pada diri sendiri.
"Aku adalah ketua team ini, jadi jika kau terlambat lagi akan aku laporkan pada atasanku apa pun allasannya, mengeri?" Catherine berkata dengan tegas layaknya atasan profesional.
Sophia mengangguk. "Mengerti."
Perempuan itu meremas tangannya yang terasa dingin, dia merasa takut lebih dari biasanya. Padahal dirinya sering kali berurusan dengan anak buah Gunner, tapi kali ini terasa berbeda. Dia tidak berdaya dan serasa ingin menangis, Sophia sekarang sangat cengeng.
"Sekarang buat laporan pemasukan dari R.S Angeles pada bulan ini, aku menunggunya setelah makan siang."
Mata Sophia membulat. "Setelah mekan siang?"
"Ya, kenapa? Itu salah satu hukumanmu!" Teriak Caroline menunjukan ketidaksukaannya pada Sophia.
"Ba-baik, akan aku lakukan."
"Seharusnya kau memberi dia hukuman yang berat, itu hukuman sepele," bisik Caroline.
Catherine menggeleng. "Kita belum melihat kemampuannya."
"Miss Catherine?"
Merasa namanya dipanggil, Catherine membalikan badan. "Miss Maria," ucapnya mendekat pada sekretatis CEO, Edmund D'allesandro.
"Ada yang bisa saya bantu, Miss?"
"Saya ingin meminta waktu Nona Sophia," ucapnya melirik Sophia yang duduk sambil menunduk.
"D-dia sedang menjalani hukumannya, Miss. Jika anda tidak keberatan, dia boleh pergi setelah menyelesaikan semuanya," ucap Catherine dengan ragu-ragu.
"Hukuman? Apa yang dia perbuat?"
"Dia terlambat karena bercinta semalaman," celetuk Caroline yang sedang bekerja di mejanya, perempuan itu dasarnya memang memiliki mulut yang cerewet.
Sophia menatap Maria seketia, menatap wanita yang tersenyum tertahan ke arahnya.
"Ini perintah dari Tuan D'allesandro," ucap Maria yang membuat Catherine bungkam seketika. Dia melirik pada Sophia, mengisyaratkan untuk mengikuti Maria.
"Kau akan dipecat," bisik Catherine saat Sophia berjalan melewatinya.
"Saya mohon maaf atas kelakuan mereka, Señora." ucap Maria sembari menundukan kepala saat mereka sudah masuk ke dalam lift.
Sophia melihat ke arah Maria yang ada di belakangnya. Sophia menghela nafasnya dan menghapus air mata yang hampir saja jatuh. "Tidak apa apa, itu resiko yang harus aku tanggung. Tapi mereka memang menyebalkan untuk ukuran rekan kerja."
"Seharusnya anda mengatakan kalau anda adalah istri Tuan Edmund, Señora," saran Maria.
"Lalu aku akan jadi bahan tertawaan oleh mereka," ucap Sophia tersenyum kecut. Karena dia menunggu pengakuan dari Edmund, bukan dirinya yang mengakui.
Maria tersenyum kecil. "Jadi, kenapa anda terlambat, Señora?"
"Jangan menggodaku, Maria," ucapnya dengan pipi yang memerah kembali. "Ngomong-ngomong, kenapa Edmund ingin menemuiku?"
"Saya tidak tahu, Señora, anda bisa menanyakannya sendiri." Maria mempersilahkan Sophia keluar dari lift terlebih dahulu.
Maria kembali ke mejanya setelah mengantarkan Sophia sampai pintu ruangan Edmund. Dia mengetuk pintu dan baru masuk saat mendengar suaminya mengizinkan. Terlihat Edmund yang sedang sibuk di meja kerjanya dengan berkas yang cukup banyak namun tertata rapi.
Sophia merasa senang melihat wajah Edmund yang dia rindukan. Matanya terus saja memandang suaminya yang sedang bekerja. Sophia duduk di sofa menunggu Edmund menyelesaikan pekerjaannya. Satu menit, dua menit, tiga menit hingga lima menit berlalu Edmund seakan memganggapnya tidak ada. Sophia mulai kesal, apalagi mengingat banyak pekerjaan yang menunggunya.
"Kenapa kau memanggilku?"
Edmund tidak menjawab, dia masih berkutat dengan tumpukan kertas itu.
"Edmud," rengek Sophia dengan manja membuat Edmund menghentikan pekerjaannya, dia menatap Sophia dengan tajam. Tangannya terlipat di dada persis seperti orang yang sedang marah.
"Aku, aku banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Jika tidak ada yang ingin kau bicarakan aku akan keluar."
"Banyak yang ingin aku bicarakan denganmu," ucap Edmund dengan nada meninggi. "Kenapa kau ke mari?"
"Tentu saja untuk bekerja, lagi pula aku bosan di apartemen," ucap Sophia sambil memajukan bibirnya dan mengembungkan pipinya.
"Tidakkah kau kelelahan? Bagaimana bisa kau punya tenaga masuk kantor sementara semalam diriku hampir saja membuatmu pingsan?"
Mata Sophia terbelalak mendengar ucapan Edmund yang begitu frontal. Pipi Sophia terasa panas mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Edmund.
"Aku baik-baik saja," ucap Sophia sambil melotot dan memajukan bibirnya.
"Okay, nanti malam akan aku buat kau tidak baik-baik saja," ucap Edmund bagaikan sebuah janji
"A-apa maksudmu? Berhentilah berpikiran mesum,Ed!" Sophia sambil memalingkan wajahnya yang memerah, meembuat Edmund terkekeh melihat sikap lucu istrinya.
"Tunggu, mesum katamu? Aku ingin mengajarimu renang sampai kelelahan, Sophie. Itu bukan hal mesum, 'kan?"
Sophia menggigit bibir bawahnya menahan rasa malu.
Edmund melangkah ke arah istrinya, dia memasukan tangannya ke saku celana lalu menudukan kepala ke telinga Sophia. "Lihat siapa yang berpikiran mesum," ucapnya dengan pelan.
Rasa kesal Sophia bertambah saat pemilik mata biru safir itu tertawa lepas.
"Hhaha! Aaw! Sakit Sophie apa yang kau-Aww!" Edmund berteriak saat Sophia menyubit perutnya cukup keras. Membuat tubuh Edmund oleg dan akhirnya terjatuh ke atas sofa.
Istrinya tidak kunjung berhenti mencubit, Edmund memegang kuat tangan Sophia. Dalam sekali tarikan Sophia sudah ada di atas pangkuan Edmund.
Mereka saling bertatapan, Sophia menatap dengan kesal sementara Edmund menatapnya menggoda. Sophia memalingkan wajahnya ke samping enggan melihat suaminya yang menyebalkan, tapi Edmund memegang dagu Sophia dan mengarahkan wajah itu untuk kembali menatapnya.
"Kau menyebalkan, Edmund! Menyingkir dariku!" Teriak Sophia tepat di depan wajah suaminya. Raut mukanya memperlihatkan amarah yang sangat dalam, Sophia sangat tidak suka digoda seperti ini. Apalagi oleh orang yang dia cintai.
"Kau menduduki ku, Sophie. Seharusnya dirimu yang menyingkir," ucap Edmund pela dengan wajah jahil.
Sophia melihat posisi duduknya. "Kau yang menarikku ke dalam pangkuanmu," gerutu Sophia tidak beranjak dari sana. Dia nyaman berada di pangkuan suaminya. Begitu pun dengan Edmund, dia melingkarkan tangannya di pinggang Sophia dan merapatkan tubuh mereka. Sophia tidak menolak apa pun yang dilakukan Edmund.
Istrinya ini sungguh unik, Edmund menyukai sifat kekanakannya. Sophia memang masih remaja, bahkan umurnya belum genap 20 tahun. Edmund kembali mengingat hal yang dia lakukan pada Sophia ketika pertama kali bertemu, dia merasa bersalah karena membuat Sophia terjebak dengannya dalam ikatan pernikahan.
Raut wajah Edmund yang jahil perlahan berubah menjadi datar tanpa ekspresi. Sophia menyadarinya, dia mengerutkan kening dengan penuh tanya. Tanpa di duga bibir Edmund menyentuh bibir Sophia selama beberapa detik. Tidak ada ciuman, tapi hanya kecupan.
"Give me more than a kiss," pinta Edmund di depan wajah Sophia. Dia kembali menyatukan bibir mereka.
Edmund tersenyum saat Sophia yang pertama kali menggerakan bibir. Membiarkannya kembali mengecap rasa yang pernah di rasakan, bibir manis Sophia yang terasa seperti buah leci.
"Kau memakai lipgloss leci?"
Sophia mengangguk malu.
Suaminya terkekeh pelan sebelum kembali menyatukan bibirnya. Tangan Edmund memeluk Sophia lebih erat agar tubuh mereka saling bersentuhan. Bahkan kini bibirnya sudah mulai turun ke leher Sophia. Menyingkirkan syal yang menutupinya lalu meluncurkan lidahnya di leher jenjang milik istrinya.
Hanya detak jam yang terdengar di ruangan Edmund. Hingga tiba-tiba pintu ruangan terbuka begitu saja. Mereka berdua segera menjauhkan wajah dan melihat ke arah pintu.
"Astaga, bukankah ini jam kerja?" Sergío menaik-turunkan alisnya menggoda.
"Dad, kenapa kau datang?" Edmund mendudukan istrinya di atas sofa.
"Tenanglah, Kid. Aku datang karena mendengar dari Nich kalau kau memperkerjakan menantuku," ucap Sergío sambil duduk di singlr sofa.
"Ya, dia yang memaksa."
"Apa uang yang Edmund berikan belum cukup, Sophie?"
"Ti-tidak seperti itu, aku ha-"
"Ya, ya, itu pilihanmu." Sergío memotong ucapan menantunya. "Ada yang ingin Dad bicarakan denganmu, Ed."
"Tentu."
"Kira bicara sambil makan siang, dan kau Sophie, ikut bersama kami."
Sophia menatap Edmund, mengisyaratkan dengan tatapan bahwa dia tidak bisa.
"Duluan saja, ada yang harus aku kerjakan sebentar lagi."
"Pekerjaan bisa ditunda, Ed," ucap Sergío penuh penekanan.
"Hanya sebentar, Dad."
"Baiklah, ayo kita pergi, Sophie."
Sophia mengangguk kikuk dan ikut berdiri, dia tidak bisa menolak ajakan Sergío. Rasanya itu tidak sopan. Dia mengikuti Sergío dari belakang.
"Bagaimana kabarmu, Sophie?" Sergío bertanya ketika keduanya berada dalam lift.
"Baik, Dad. Bagaimana denganmu?"
"Lebih baik, apalagi aku akan mendapatkan cucu," ucapnya diiringi tawa.
Sophia hanya tersenyum kecil, dia mengusap perutnya pelan. Tiba-tiba saja sebuah pemikiran muncul dalam otaknya, bahwa Edmund mungkin tidak ingin terlihat bersamanya karena malu. Dia tidak ingin ada yang tahu kalau dirinya memiliki istri yaitu Sophia.
Memikirkannya saja membuat mata Sophia memerah.
"Kau baik-baik saja, Sophie?"
Sophia mengangguk dan menghapus air matanya yang hampir jatuh. Dia melangkah keluar lift mengikuti Sergío.
Semua orang menundukan kepala begitu Sergío lewat, setelahnya mereka memberikan tatapan yang aneh kepada Sophia. Apalagi saat dia berpapasan dengan Caroline dan Catherine, keduanya tidak dapat menyembunyikan keterkejutan. Tatapan sinis menjadi hal biasa untuk Sophia.
"Kenapa kau menybunyikan identitasmu Sophie?"
Sophia melirik Sergío yang berjalan di sampingnya. "Aku tidak menyembunyikan apa pun, Dad."
"Kau seharusnya memakai nama D'allesandro dibelakang namamu," saran Sergío ketika mereka masuk ke dalam mobil.
"Ehn, sepertinya aku belum pantas menggunakan marga itu."
"Apa yang kau bicarakan? Kau lebih dari pantas, Sophie," ucapnya sambil mengelus kepala Sophia.
Dan saat itu pula, Sophia merasa mendapatkan lagi perhatian seorang ayah. Sergío begitu menyayangi layaknya anak sendiri. Meskipun dia belum mendapatkan hati Edmund, setidaknya Sophia sudah mendapatkan kasih sayang dari kedua orangtuanya.
***
ig : @Alzena2108