Hal yang paling sial adalah ketika kamu sudah berdandan dengan niat hingga menjadi cantik ulala baby namun malah berakhir jalan kaki.
Riv heran dengan Pra yang bisa-bisanya lupa isi bensin. Gayanya saja membawa mobil, eh bensinnya malah habis ditengah jalan.
Mana Riv sudah cantik sekali malam ini, memakai dress putih masa harus jalan kaki yang jauhnya kira-kira lima meter. Sampai rumah Pra bisa-bisa Riv sudah banjir dengan keringat.
"Praaaa ih gimana sih lo?" Riv emosi, tentu saja. Jika tadi Pra tidak menjemputnya pasti Riv sudah berangkat bersama orang tua dan kakaknya atau mungkin sekarang dia suka curi-curi pandang mencari mangsa.
"Ya mana gue tahu kalau bensinnya habis. Udah lama gak gue bawa juga," balas Pra lalu menghampiri Riv yang berjongkok di samping mobil.
"Makanya kalau mau dipake itu dicek dulu. Bensinnya masih ada nggak, mobilnya udah diservis belum. Kalau kayak gini yang rugi gak cuma lo tapi gue juga!" Sembur Riv. Rasanya Riv ingin menangis saja apalagi Pra yang tampak tenang-tenang saja.
"Ya maaf Riv. Kan ini dinamakan dengan ketidaksengajaan, jadi lo gak bisa nyalahin gue gitu aja," Pra rupanya masih saja membela dirinya yang malah membuat Riv gedek bukan main.
"Ya emang gak sengaja tapi masak lo gitu aja gatau sih? Sebel gue sama lo!" Riv berdiri lalu berjalan meninggalkan Pra. Mencari taksi disekitar sini pun juga susah, mau naik ojek online tapi malam menunggu. Jalan kaki juga tidak pilihan yang bagus.
"Eh tunggu!" Ucap Pra yang kemudian mengikuti Riv.
"Gue coba telepon tetangga lo deh," ucap Pra tiba-tiba yang menghentikan langkah Riv.
"Siapa? Tetangga gue siapa?"
"Riverdan lah."
"Gila lo ya?!" Sembur Riv. Hellow, kenapa harus meminta bantuan Dan segala sih?! Yakali Dan mau direpotkan dengan urusan orang asing yang tidak penting ini. Kenapa tidak meminta jemput Samudera saja coba?
"Kak Sam mana mau lo repotin kayak gitu," seolah bisa membaca pikiran Riv, Pra pun menjawabnya.
"Lha terus emang Dan mau gitu direpotin?" Tanya Riv dengan sebal. Sebelum Pra menjawab, Riv buru-buru menyela.
"Wait wait wait darimana lo kenal—ah enggak, darimana lo tau tentang Dan? Jangan-jangan kalian satu aliansi ya?"
Riv mengamati mimik wajah Pra namun tidak ada perubahan mimik yang mencurigakan, bahkan Pra terlihat sangat tenang sekarang ini.
"Lo lupa? Beberapa minggu yang lalu lo pernah cerita tetangga yang nyebelin namanya Dan. Ck gimana sih?" Gantian Pra yang mengomeli Riv.
Memang iya ya kalau Riv menceritakan Dan kepada Pra? Riv lupa, tolong ingatkan Riv jika itu memang benar-benar terjadi. Eh tapi kan kalau Riv menceritakan tentang Dan hanya sebatas 'tetangga yang menyebalkan' bukan nomor telepon Dan. Riv punya saja tidak. Satu pemikiran terlintas di otak Riv.
"Praa—" Riv menatap Pra dengan pandangan horor lantas berkata, "—jangan bilang kalau selama ini kalian berdua pacaran. Kalian ternyata!"
Riv merasakan sentilan keras di dahinya, sakit sekali. Sedangkan Pra sebagai tersangka penyentilan dahi Riv malah yang tampak kesal. Seharusnya yang kesal kan Riv, enak saja menyentil dahi Riv.
"Ck gue masih normal keles. Masih suka apem," sekarang gantian Riv yang menggeplak tangan Pra dengan kesal. Bagaimana bisa Pra berkata seperti itu dengan santai, di depannya lagi yang notabene punya apem.
"Seriusan mau minta tolong Dan?"
"Tunggu dulu," pinta Pra lalu berjalan meninggalkan Riv. Pra menuju mobilnya yang mogok, untung saja bukan di area larangan parkir. Pra tampak berbincang dengan seseorang di telepon namun hanya sebentar.
"Gak mau kan pasti?" Tanya Riv setelah Pra sampai di sampingnya lagi.
"Kata siapa? Bentar lagi dia sampai sini," jawab Pra dengan santai sedangkan Riv jelas terkejut.
"Kok bisa-bisanya sih dia mau lo suruh-suruh?" Heran Riv karena sepertinya jika mereka—Pra dan Dan— bertatap muka tidak ada tanda-tanda saling mengenal namun kenapa sekarang malah bisa seperti ini?
"Riv, gue kasih tahu."
Riv mengalihkan pandangannya pada Pra yang tampak tampan diterpa cahaya bulan. Riv berubah pikiran, jalan kaki saja tidak papa deh berdua dengan Pra daripada harus ada Dan diantara mereka berdua.
"Apa?"
"Ada tiga hal yang gak bisa kembali walau sekuat apapun lo paksa," ucap Pra sambil mengelus puncak kepala Riv.
Tiga hal yang gak bisa kembali, apa?
***
Riv benar-benar tidak menyangka jika Dan akan datang menjemputnya —ralat, menjemput Riv dan Pra. Mengapa bisa tiba-tiba seperti ini?
Riv mengamati Dan yang turun dari mobilnya. Dan hanya memakai kaus rumahan dan celana pendek, ditangan kanan Dan membawa sebotol bensin.
"Loh kok malah dibawain bensin?" Tanya Pra pada Dan. Dan tidak menjawab melainkan menadahkan tangannya. Pra yang paham langsung menyerahkan kunci mobilnya.
"Kan gue minta tumpangan. Bukan minta dibeliin bensin," Pra tidak menyerah juga. Di mata Riv, Pra dan Dan seperti pasangan yang merajuk.
"Sama aja," jawab Dan singkat. Dan dengan wajah datarnya menuangkan bensin dengan bantuan corong. Apa itu tidak susah ya?
"Beda lah. Gue kan jadi hutang sama lo," balas Pra.
"Gue sibuk," balas Dan lagi. Riv hanya diam mendengar perdebatan keduanya. Riv juga heran, Pra dan Dan berbicara layaknya teman lama padahal umur Pra dan Dan terpaut jauh.
"Ck gue kan minta anterin bukan minta dibeliin bensin. Gimana sih?" Ucap Pra dengan kesal. Sebenarnya masalah Pra tuh apasih, diantar Dan ataupun dibelikan bensin kan sama-sama nanti sampai tujuan kenapa malah jadi ribet banget.
"Berisik!"
Nah, sukurin kan. Loh loh loh, seharusnya Pra yang marah tapi kenapa Dan yang mencengkram kerah baju batik Pra? Riv melongo melihat kejadian yang tidak diduga-duga. Memang sih Pra tadi berbicara pada Dan, tapi Riv tidak dengar karena terlaku lirih.
"Ngomong apa lo? Ulangi?" Tanya Dan dengan emosi. Mata Dan benar-benar melotot, Dan yang sekarang sama dengan Dan yang menghajar cowok di rumah Dan beberapa waktu yang lalu.
Riv ingin melerai namun mengingat saat dirinya dulu jadi menjadi sasaran membuat Riv pikir-pikir dulu. Pra pasti bisa melawan Dan jadi Riv memilih mendiamkan saja.
"Brengsek!" Sebenernya apa yang Pra katakan hingga membuat Dan mengumpat. Untung saja Dan tidak melayangkan pukulan pada Dan, tetapi tetap serem juga melihat ekspresi Dan sekarang ini. Jika tidak segera dilerai bisa bahaya maka dengan keberanian yang hanya lima puluh persen Riv melerai.
"Om stop!" Riv melepaskan tangan Dan yang mencengkeram kerah baju Pra. Anehnya, cengkeraman itu terlepas begitu saja.
Riv berdiri di antara Dan dan Pra. Sebenarnya Riv pengin pipis saking paniknya tapi apa boleh buat. Pra juga hanya diam saja, mungkin nanti Riv harus memberi Pra pelajaran.
"Apa?" Tanya Dan dengan dingin, sangat sangat dingin.
Duileh, Riv benar-benar panik sekarang.
***