Malam ini, kami datang ke masjid agung bertiga: aku, Wawan, dan Bos Koko. Hal pertama yang harus dilakukan bos koko adalah berkonsultasi dengan seorang ustaz. Kali ini, Bos Koko dibantu oleh Ustaz Fikri Muhammad. Selain kami dan ustaz, ada juga dua penjaga masjid: namanya Pak Edy, dan istrinya Mbak Maya. Ustaz Fikri berumur sekitar tiga puluh tahunan. Dia menanyakan banyak hal pada Bos Koko, tapi yang paling kuingat adalah ketika dia mengatakan ingin masuk Islam karena tiga pegawainya yang selalu taat beribadah di kantor: yaitu aku, Wawan, dan Karina.
Setelah itu, Ustaz Fikri kembali menjelaskan berbagai macam tentang Islam, apa saja kewajiban ketika menjadi seorang muslim, sejarah seputar Islam, dan tentang tata cara Islam beribadah. Ketika Bos Koko sudah yakin dan paham, selanjutnya Bos Koko diminta mengucapkan dua kalimat syahadat. Dengan membaca dua kalimat syahadat, berarti seseorang yakin di dalam hatinya akan Ke-Esaan Allah, dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah.
"Bisa kita mulai, Bapak?" tanya Ustaz Fikri.
"Bisa, Ustaz," jawab Bos Koko mantap.
"Bismillahirrahmanirrahim. Siap, ya! Tolong ucapkan dengan sungguh-sungguh dan dengan keyakinan hati," pinta Ustaz Fikri.
"Saya bersungguh-sungguh dan sangat yakin, Pak Ustaz," sahut Bos Koko.
"Baiklah." Ustaz diam sesaat, kemudian menarik napas panjang. "Bismillahirrohmanirrohim. Asyhadu an laa ilaaha illallah ...," Ustaz Fikri menuntun Bos Koko membaca dua kalimat syahadat.
"Asyhadu an laa ilaaha illallah," Bos Koko melafazkannya dengan wajah menunduk, dan mata terpejam khusyuk.
"Waasyhaduanna Muhammadar Rasuulullah," sambung Ustaz Fikri.
"Waasyhaduanna Muhammadar Rasuulullah."
"Aku bersaksi, bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah," Ustaz Fikri menambahkan.
"Aku bersaksi, bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah."
"Dan aku bersaksi, bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah," lanjut Ustaz Fikri.
"Dan aku bersaksi, bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah," Bos Koko mengucapkannya dengan baik.
"Alhamdulillah."
Semua orang mengucap hamdalah, termasuk Ustaz Fikri. Setelahnya,dia memeluk Bos Koko diiringi Wawan dan Pak Edy. Sedangkan Mbak Maya memelukku dengan penuh rasa haru. Setelah melakukan salat Isya berjamaah dan berbincang banyak hal seputar Islam di masjid, tepat pukul jam 20.30 kami pamit pulang. Di perjalanan pulang, aku banyak diam. Sedangkan Wawan yang duduk di depan bersama Bos Koko sangat antusias membahas apapun mengenai Islam. Beberapa kali, Bos Koko mencuri pandang dari kaca spion di atas dasbor mobil.
Perasaanku campur aduk. Bagaimana jika Bos Koko masuk Islam hanya karena permintaan dariku saja? Sungguh, perasaan ini tidak bisa kumengerti. Sampai di sebuah persimpangan, Wawan turun dan mengucap salam kepada kami. Lalu, dia menghilang di sebuah gang.
"Rey," panggil Bos Koko. Dia menatapku dari kaca spion di atas dasbor.
"Iya, Pak?"
"Ikut ke rumah saya sebentar, ya." Hah, kerumahnya? Nanti kalau aku diapa-apain bagaimana? Ini sudah pukul 21.00! "Ta-tapi, Pak ...."
"Sebentar saja. Ada yang mau aku tunjukkan ke kamu."
"Em ... Baiklah, Pak."
Di perjalanan aku terus berdoa, semoga Bos Koko tidak macam-macam di rumahnya nanti.
***
Mobil berbelok ke arah kiri. Seorang satpam tergopoh membuka pagar rumah yang tinggi berwarna hitam ini. Setelah mobil masuk, pria paruh baya berseragam satpam itu menutup pintu pagarnya dengan cepat. Mulutku menganga, saat melihat rumah Bos Koko dari awal masuk halaman. Bukan karena rumahnya terlalu mewah, melainkan rumah ini persis sekali dengan rumah yang kupilih di komputer waktu itu. Rumah tiga lantai dengan cat berwarna biru, halamannya cukup luas. Aku syok. Ternyata Bos Koko benar-benar membangunnya. Pun aku semakin takjub, saat menyadari ternyata setiap detail rumah ini sama persis seperti fotonya.
"Yuk, turun," ajaknya, setelah mobil terparkir di garasi.
Dia membukakan pintu mobil untukku. Bos Koko melangkah ke arah depan, dan aku mengekor dari belakang. Setelahnya, Bos Koko memencet bel sebanyak dua kali. Kepala ini terus berkeliling, menatap setiap bagian rumah. Sungguh, aku tidak menyangka kalau Bos Koko benar-benar membangunnya. Tidak berapa lama, keluar seorang wanita paruh baya yang tidak asing bagiku. Dia membukakan pintu. Wanita itu adalah orang yang biasa mengasuh Zeze, jika datang ke kantor.
"Silakan masuk, Tuan, Mbak," ucap wanita itu dengan tubuh sedikit membungkuk.
"Makasih, ya, Je," sahut Bos Koko.
Dia menoleh ke arahku, kemudian mengajak masuk. Agak kaku, aku mengikuti langkah lebar Bos Koko. Ternyata dia mengajakku ke lantai paling atas, kemudian membuka sebuah ruangan.
"Yuk, masuk," ajaknya, setelah membukakan pintu.
Ragu, aku melangkah masuk.
Ruangan ini merupakan sebuah perpustakaan. Ternyata Bos Koko suka membaca. Aku memutari ruangan ini, terdapat banyak rak yang terisi penuh dengan berbagai macam buku. Bos Koko hanya berdiri, sambil melipat tangan di depan dada. Dia memperhatikanku, kemudian mendekati salah satu rak.
"Rey, sini, deh," panggilnya.
Aku mendekat dan mematung di sisinya, menunggu apa yang ingin ditunjukkannya padaku. Untuk pertama kalinya, aku berada di ruangan yang asing bersama seorang pria. Bos yang selama ini sangat menjengkelkan, setiap hari suaranya memekakkan telinga, sering bicara ketus, dan sesukanya kalau marah. Rasanya, aku tidak percaya akan menikah dengannya.
"Kamu baca buku di rak yang ini, ya!" perintahnya tiba-tiba, membuyarkan lamunan.
"Hah?" tanyaku, karena otak ini belum on sepenuhnya habis melamun.
"Kamu mikir apa? Kok, bengong? Saya minta kamu baca buku ini," katanya sembari menatap lekat ke dalam bola mataku
Jujur, aku jadi salah tingkah. Setelah insiden nyosor map waktu itu, ini pertama kalinya wajah kami kembali berjarak cukup dekat. Aku pun menuruti perintahnya, dengan menarik salah satu ujung bagian atas buku dengan jari telunjuk, lalu memegangnya dengan sempurna. Detik berikutnya, aku membaca judul di bagian depan sampul buku. Tertulis judul buku 'The Story of Qur'an' karya Ingrid Matson.
Aku berjalan menuju sofa, kemudian duduk dan membaca bagian belakang sampul buku. Sedangkan Bos Koko mendekat dan duduk di sampingku, tanpa mengatakan apapun. Setelah kuamati, ternyata buku ini memang buku yang singkat. Namun, mampu menjelaskan makna religius, budaya, bahkan politik berdasarkan kitab suci umat Islam, yakni Al-Qur'an. Apa saja peran Al-Qur'an dalam kehidupan seorang muslim, siapa yang menulisnya, dan bagaimana seharusnya kita meyakininya. Tentu saja semua itu akan kita temukan dalam buku ini oleh Mattson yang merupakan sarjana agama, sekaligus seorang guru. Sepertinya, ini buku pertama yang akan kubaca nanti, setelah tinggal di sini.
"Sebagian besar buku yang ada di perpustakaan ini adalah buku yang berbau Islam. Jujur, sudah lama saya tertarik dengan Islam dan berniat menjadi mualaf. Setiap ada waktu luang, saya menghabiskan waktu di sini untuk mempelajari Islam lebih dalam."
"Mengapa Bapak begitu tertarik dengan Islam?"
"Melihat cara kalian hidup, cara kalian berpikir, dan melihat ketulusan kamu. Itu mencubit hati dan mendorong saya untuk mengenal lebih jauh tentang Islam," papar Bos Koko. "Terima kasih ya, Rey," gumamnya lirih.
"Untuk apa, Pak?"
"Sudah memberikan jalan buat saya menjadi mualaf," jawabnya dengan jarak yang cukup dekat.
Aku bergeming mendengar kalimatnya. Kami saling bertatapan. Ada keseriusan di sorot mata itu. Tiba-tiba ada yang berdesir di dalam sini, mendengar kalimat tersebut.
"Saya selalu memperhatikan kamu, Rey. Ketika kamu izin salat di gudang, saat zuhur dan asar. Awalnya saya terganggu, lalu penasaran. Selanjutnya, jadi kebiasaan memperhatikan kamu salat. Dalam diam, saya mengikuti langkah kakimu ke lantai atas. Wajahmu terlihat sangat bersinar setelah tersentuh air wudu. Mulai saat itu, saya membuat perpustakaan ini."
Aku tertegun, entah takjub atau apa. Bos Koko mengulurkan tangan, menggenggam jemariku yang sejak tadi tergeletak di atas buku di pangkuan.
"Tolong tuntun saya menjadi hamba Allah yang baik, Rey."
"Pak, saya ...." Aku memejamkan mata. Hati ini tersentuh melihat keseriusannya ingin mendalami Islam. "Ilmu agama saya pun jauh dari kata sempurna, Pak. Saya bahkan belum menutup aurat."
Bos Koko tersenyum. Kini tangannya membelai lembut pucuk kepalaku.
"Tapi kamu gadis yang luar biasa, Rey. Kalau begitu, kita belajar sama-sama. Saya akan berusaha jadi imam yang layak untuk kamu, dan kamu harus berusaha jadi istri yang baik buat saya. Tolong ajari saya membaca Al-Qur'an, memahami isinya, dan ingatkan saya untuk menjadi hamba yang taat, seperti kamu, Wawan dan Karina."
Entah berapa lama kami saling tatap, sampai wanita paruh baya itu datang membawakan jus apel ke dalam ruangan.
"Maaf, Tuan. Ini jusnya."
Wanita itu meletakkannya di atas meja, sedangkan aku dan Bos Koko menjadi kikuk setelah menyadari kedatangannya.