webnovel

Tolong Nikahi Saya, Pak!

"Tante bingung, harus cari di mana uang sebanyak itu? Tabungan Tante hanya ada 300juta. Itupun untuk jaga-jaga biaya sekolah anak-anak. Segitu masih kurang 250 juta, Rey. Karena yang 50 juta ada perlu lainnya."

"Tante yang sabar, ya. Nanti kita cari jalan keluarnya sama-sama."

"Semoga segera ketemu jalan keluarnya, ya, Rey. Mau Tante kasih makan apa anak-anak, kalau Om kamu dipenjara? Belum lagi biaya sekolah. Tante terbiasa di rumah, bingung mau usaha apa."

Ia semakin kencang menangis.

Aku bisa merasakan kesedihannya. Sejak saat itu, suasana rumah kembali runyam. Om Darmo kembali sering pergi dan pulang dalam keadaan mabuk, sedangkan Tante Siska hanya bisa menangis meratapi perjalanan hidupnya. Aku sudah berusaha mencoba berbicara dengan teman-teman, siapa tahu di antara mereka ada yang memiliki simpanan, tapi hasilnya nihil. Dua hari lagi—tepat satu minggu, perjanjian Om Darmo dan perusahaan di tempatnya bekerja berakhir. Aku bahkan tidak bisa tidur setiap malam. Tante Siska semakin ketakutan, dia memikirkan nasibnya dan anak-anak. Aku menelan ludahku beberapa kali saat memikirkan sesuatu yang sepertinya mustahil akan terjadi, tapi aku akan berusaha meminjam uang pada Bos Koko besok dengan cara yang tidak biasa. Tidak ada pilihan lain!

***

Wawan dan Karina sudah keluar. Aku masih duduk mematung di mejaku. Bos koko yang akan keluar, mengurungkan niatnya. Dia melihatku, lalu mendekat dan menarik kursi untuk duduk di dekatku. "Rey, kamu nggak makan siang?"

Aku menggeleng.

"Kamu kenapa? Lagi ada masalah?"

Aku mengangguk.

"Cerita saja sama saya. Siapa tahu, saya bisa bantu kamu."

Aku memberanikan diri menoleh ke arahnya, kemudian menatap kedua bola mata yang tampak kebingungan itu. Air mata meleleh tiba-tiba, tapi mulutku tetap terkatup rapat.

"Kamu kenapa?" tanyanya sambil membelai lembut kepalaku.

Aku masih membisu, dengan air mata yang terus saja berjatuhan. Bos koko berdiri, lalu melangkah guna mengambil tisu di atas meja kerjanya. Beberapa saat kemudian, dia kembali duduk di sisiku. Pria ini dengan perlahan menghapus air mataku.

"Jangan menangis, ya. Cerita saja sama saya."

"Pak," gumamku lirih nyaris tidak terdengar.

"Iya. Ngomong saja, nggak apa-apa," katanya sangat lembut. Dia kembali menghapus jejak air mata di pipiku.

"Benarkah Bapak ingin melangsungkan pernikahan yang sederhana dengan uang 250juta?"

Bos koko terlihat bingung. "Kenapa memangnya, Rey?" tanyanya masih kebingungan.

"Pak, nikahi saya dengan cara yang sederhana itu. Saya membutuhkan uang 250juta itu Pak."

Hening sesaat.

"Untuk apa?"

Aku menjelaskan semuanya dengan derai air mata. Bos koko mendengarkan ceritaku dengan seksama. Sesekali ia mengangguk mengerti, kemudian mengalihkan pandangan ke arah lainnya. Setelah menceritakan semuanya, suasana jadi berbeda.

"Tolong nikahi saya, Pak!" pintaku mantap.

"Tapi, Rey ...."

"Saya akan memberikan kasih sayang saya sepenuhnya untuk Zeze, anak Bapak."

"Baiklah ...."

"Dan ...."

"Dan apa?" tanyanya bingung.

"Jujur, keluarga saya tidak akan mengizinkan saya menikah dengan pria yang berbeda keyakinan dengan saya. Jika Bapak berkenan, tolong ikuti keyakinan saya."

Bos koko terdiam selama beberapa saat. "Apa ini semacam kawin kontrak?" tanyanya sekali lagi. "Saya bisa meminjamkan uang itu untuk kamu, Rey. Jangan memaksakan diri menikah dengan saya. Apa alasan kamu mau menikah dengan saya, selain uang 250juta itu?"

"Saya menyayangi Zeze, seperti adik saya sendiri. Saya ingin memberikan kasih sayang saya sepenuhnya untuk dia."

Bos koko tampak gelisah. Dia berdiri dan mondar-mandir di depan mejaku. Sebelah tangannya sibuk mengamit dagu, sedangkan tangan satunya melipat di depan dada. "Rey, kamu yakin?"

Aku mengangguk.

"Lalu, apakah saya masih tidak boleh menyentuhmu? Jika nanti sudah menikah, bukankah kamu adalah istri saya?"

Aku mengangguk samar sekali lagi.

"Karena Tante dan Om Darmo akan mengembalikan uang Bapak secepatnya. Bukankah adil jika bapak meminjamkan uang itu dan saya memberikan kasih sayang pada Zeze sepenuh hati."

Bos koko menghela napas panjang. Dia menoleh ke arahku, kemudian menatap wajahku lekat. "Selain kasih sayang untuk Zeze, apalagi yang akan saya dapatkan?"

"Saya pastikan rumah Bapak selalu bersih, dan makanan Bapak maupun Zeze terjamin. Saya dan keluarga berjanji, akan berusaha mengembalikan uang Bapak secepatnya."

"Kenapa harus dikembalikan?"

Wajahnya tampak tidak percaya.

"Karena itu hutang, Pak."

Bos koko kembali geleng-geleng kepala."Saya akan beri kabar kamu nanti, Rey," katanya sembari melangkah keluar ruangan.

Kepalaku ambruk di atas meja. Aku menangis sejadi-jadinya. Tidak akan ada jalan lainnya kecuali ini. Tiba-tiba aku teringat Sony. Aku takut menyakiti hatinya. Jujur saja, meski ikatan kami hanya sekadar teman, tapi aku yakin ... dia juga menyukaiku, seperti aku menyukainya.

Malamnya saat di rumah, aku menceritakan semuanya kepada Tante Siska. Dia menangis, karena merasa tidak enak denganku. Tante juga tidak menyangka, aku bisa berbuat senekat itu. Besok, hari terakhir. Jantung berdegup tidak menentu. Aku menunggu jawaban dari bos koko.

***

Pagi-pagi sekali, aku datang ke kantor. Ternyata bos koko sudah menunggu di ruangan. Dia memberikan selembar kertas padaku. Dengan wajah bingung, aku membacanya. Sebuah perjanjian yang tertulis di atas kertas. Dalam perjanjian itu, dia memintaku untuk menyayangi Zeze sepenuh hati, mengurus rumah dan keuangan, persis seperti istri pada umumnya. Setelah semesteran nanti, dia memintaku stop kuliah dan stop bekerja dulu, agar fokus pada Zeze. Selama masih menjadi istrinya, aku dilarang berhubungan dengan pria manapun.

"Itu keinginanku, Rey. Apa kamu sanggup? Lalu, katakan syarat darimu."

"Saya sanggup, Pak. Saya hanya ingin uang 250 juta itu hari ini. Selama menikah, tolong jaga jarak dengan saya. Anda boleh menganggap saya sebagai seorang adik, tentu saja dengan batasan dan sikap yang sewajarnya. Lalu ... bagaimana soal keyakinan kita?"

"Saya sudah memikirkannya." Bos Koko menepuk tangan dua kali, kemudian Wawan masuk. "Kamu dan Wawan akan mengantar saya ke masjid nanti malam. Saya ingin menjadi seorang mualaf, seperti yang kamu minta. Wawan, kamu bersedia membantu saya?"

"Insyaallah. Dengan senang hati, Pak."

Aku berlari untuk memeluk bos koko. Meskipun hatiku hancur, tapi aku lega karena bisa menyelamatkan Om Darmo dari penjara. "Makasih, Pak!" lirih kuucapkan di dadanya yang bidang di sela tangisan.

"Sama-sama," katanya membalas pelukanku. "Saya transfer ke rekening kamu sekarang, ya, uangnya."

Aku mengangguk.

Bos koko melerai pelukan, kemudian menghapus air mata ini. Selanjutnya, dia mengutak-atik ponselnya.

"Sudah masuk, ya, ke rekening kamu."

"Sekali lagi, terima kasih, Pak."

Aku menggenggam tangannya. Dia tersenyum, kemudian memintaku kembali bekerja. Setelah jam makan siang usai, Karina datang dan bingung dengan keadaan. Aku menangis di meja, Wawan dan bos koko saling membisu di meja mereka masing-masing. Keluarga itu ibarat bagian tubuh. Kita akan ikut merasakan sakitnya jika salah satu bagian ada yang terluka. Seperti yang kualami dengan Tante Siska saat ini.