webnovel

My wife is a boy

Algis dengan terpaksa menuruti kemauan ibunya. Ia dipaksa menggantikan Ajeng kakaknya untuk menikah. Dikarenakan Ajeng kabur meninggalkan rumah ketika hari pernikahan. Algis seorang pemuda yang manis harus pura pura menjadi pengantin wanita demi menyelamatkan nama baik keluarganya. lalu bagaimana cerita selanjutnya??? apa yang terjadi setelah itu?? apa yang terjadi ketika ajeng kembali dan meminta calon suaminya yang sempat ia tinggalkan

Solandra · LGBT+
分數不夠
102 Chs

Bertemu di kampus

Setelah beberapa hari absen dari kuliahnya, hari ini Algis kembali kuliah. Ia kembali menjalani rutinitasnya sebagai mahasiswa seni lukis. Sudah cukup ia berdiam diri di rumah. Awalnya Algis berniat memperpanjang cuti kuliahnya untuk menenangkan diri, namun membuat perasaannya justru semakin gundah.

Pemuda manis itu berjalan seorang diri di depan halaman kampus, saat melihat seorang mahasiswa diantar menggunakan sedan hitam Algis sejenak teringat akan seseorang. Hanya mengingat nama orang itu saja jantung Algis berdegup cepat.

"Gis...." Algis menoleh ke datangnya suara itu.

Maura gadis cantik dan energik berlari kecil kearah Algis.

"Ahirnya Lo balik ngampus....kemana aja sih bayik gue ini"

Maura mencubit gemas hidung bangir milik Algis.

"Aaauuu....sakiit..."

Algis berusaha melepas cubitan Maura.

"Kasih tau... Lo sebenernya kemana aja cuti kuliah berhari-hari, dihubungi susah banget...kayak orang dikejar utang aja Lo tuh"

"Ada urusan keluarga Ra.... kan Algis udah kasih tau sebelumnya"

"Kayak lo dah nikah aja urusan keluarga"

"Keluarga kan gak hanya dua orang yang menikah Ra.."

"Iya iya.....pinter ngomong Lo sekarang. Ya dah..masuk kelas yok si Bastian udah nunggu di kelas. Dia udah kayak anak ayam kehilangan induknya selama gak ada Lo Gis"

Kata Maura sambil berjalan mendahului langkah sahabatnya. Algis hanya senyum dan menggelengkan kepala menanggapi kata-kata Maura.

Di dalam kelas Bastian duduk di kursi paling belakang. Pemuda berambut agak panjang itu tampak serius dengan yang ia kerjakan.Tangannya bergerak lihai menggoreskan pensil diatas kertas putih. Sangking fokusnya Bastian sampai tidak menyadari keberadaan Maura dan Algis.

"Sibuk banget kayak nya ya Bas...."

Mendengar suara itu Bastian sudah bisa menebak siapa orang yang berdiri disampingnya.

"Iya Gue sibuk, dan Lo diem. Gak usah brisik" sahut Bastian tanpa menoleh.

"Jangan serius gitu mukanya, Nanti cepat tua lho"

Bastian menghentikan gerakan menggambarnya. Ia mendongakkan kepala.

"Algis....." seru Bastian, wajah pemuda itu berubah menjadi berseri ketika mendapati orang yang membuatnya kelimpungan beberapa hari ini tiba-tiba muncul dihadapannya.

"Yeeee...giliran Algis Lo cepet responnya" Dengus Maura tak trima.

Bastian gak peduli. Perhatiannya tertuju pada Algis membiarkan Maura berbicara sesukanya sekarang ini.

"Kok Lo nambah kurus aja, apa Lo sakit"

Bastian khawatir.

"Algis sehat-sehat aja kok"

Algis menggeser ransel milik Bastian lalu duduk disisi pemuda berpenampilan nyentrik itu.

"Lo yakin...lo baik-baik Aja" Selidik Bastian.

"Iya..Algis baik-baik aja Bas.."

Bastian masih ingin bertanya. Dia belum puas. Dia masih penasaran, tapi obrolan mereka harus terhenti ketika dosen masuk ke ruang kelas.

Bukan tanpa alasan Bastian khawatir, terakhir kali dia bersama Algis, sahabatnya itu diseret pulang oleh pria dingin yang sering antar jemput Algis kuliah. Sampai hari ini pun Bastian tidak tau pasti ada hubungan apa antara Algis dan pria itu. Dia harus bertanya nanti setelah jam kuliah selesai.

Selama proses belajar Algis sama sekali tidak bisa berkonsentrasi. Ia memandang ke arah luar jendela, seakan pemandangan diluar lebih penting dari dosen yang berdiri didepan kelas menjelaskan materi. Hal itu tidak luput dari penglihatan Maura dan Bastian. Dua orang itu yakin sahabatnya pasti sedang ada masalah yang dipikirkan.

Di kantin kampus Maura dan Bastian duduk menghadap Algis. Mereka berdua saling bertukar pandang. Heran melihat Si manis hari ini lebih banyak diam. Semangkok bakso urat dihadapannya pun hanya di aduk-aduk tanpa dimakan satu suap pun.

"Ada apa Gis? ada masalah apa??"

Maura bertanya. Algis menghentikan gerakan tangan mengaduk bakso. Tidak segera menjawab Dia semakin menundukkkan kepala.

"Kalo Lo ada masalah bilang Gis ke kita..mungkin kita gak bisa bantu tapi seenggaknya lu cerita biar hati Lo lega"

Lanjut Maura. Algis masih bergeming.

"Lo ada masalah sama cowok yang sering antar jemput Lo itu Gis.."

Tebak Bastian. Pemuda itu gemas melihat sikap Algis yang hanya diam.

"Emang..siapa sih cowok dingin itu, kenapa kayaknya Lo deket banget sama dia?" Nada bicara Bastian mulai tegas.

"Bukan siapa-siapa, Algis sudah bilang dia sodara Algis kan"

"Gue gak buta..Gue juga gak bodoh Gue bisa bedaian mana saudara mana teman. Kedekatan Elo sama Dia itu beda" cecar Bastian.

Bibir Algis terkatup diam.

"Lo lagi cemburu Bas...." Maura menyela.

"Gue serius! Gue gak lagi bercanda Ra!"

Sahut Bastian galak.

"Gue kan cuma tanya..." Cicit Maura bibirnya mengerucut sebal.

Lagi pula ada apa dengan dua sahabatnya itu. Kenapa Dia merasa ketinggalan sesuatu antara mereka.

"Jujur Gis...siapa cowok itu, ada hubungan apa Lo sama dia"

Desak Bastian.

Daripada seorang sahabat, saat ini pertanyaan Bastian justru terlihat seperti seorang pria yang menyelidik hubungan kekasihnya dengan pria lain.

"Algis gak ada hubungan apa-apa sama Dia..."

"Bohong!!! Gue bisa lihat."

"Algis gak pernah bohong..."

"Lo gak bohong tapi Lo nutupi sesuatu kan"

"Sebenernya Bastian ingin Algis jawab apa??"

Bastian terdiam.

"Kalian kenapa sih kok jadi debat gini. Elo juga Bas...Lo kenapa sih lihat Algis sampai gak makan "

Bastian melirik ke arah semangkok bakso yang tidak tersentuh sama sekali.

"Habisin dulu makanannya" kata Maura pelan.

"Algis udah gak lapar"

"Jangan gitu nanti Lo sakit. Badan udah kecil gini. Gue suapin ya"

"Algis bukan anak paud"

Maura dan Bastian tersenyum geli. Gemas melihat wajah putih dengan bibir merah alami milik Algis mengerucut imut.Suasana ketegangan antara mereka sedikit mencair.

"Sini gue suapin" Maura menarik mangkuk bakso Algis.

"Gak mau...Algis bisa makan sendiri"

"Udah nurut aja... " Maura bersikeras menyuapi Algis.

"Aaaaaa..."

Dengan terpaksa Algis membuka mulut. Mengunyah bakso yang masuk ke mulutnya. Bibir mungilnya bergerak-gerak imut. Melihat itu Bastian membuang pandangannya kemana saja.

"Tapi Gis... apa yang Bastian katakan itu benar, Gue juga merasa Lu lagi sembunyikan sesuatu dari kita"

Ucap Maura sembari memberi suapan terahir pada Algis.

"Kita ini sahabat Gis. Kalo Lo nutupin sesuatu dari kita itu artinya Lo gak cukup percaya sama kita" Lanjut Maura.

Si manis terpaku diam. Sejenak ia pikirkan kata-kata Maura.

"Kalo Algis cerita..apa kalian masih mau berteman sama Algis." tanya Algis dengan polos.

"Lo ngomong apa sih...Apapun yang terjadi kita berdua tetap berteman sama Elo, sayang sama Elo bayikkkkk"

Maura mencubit gemas kedua pipi Algis hingga sedikit merah.

"Saat hari pernikahan, Kak Ajeng kabur dari rumah"

"Hah?????" kaget Maura dan Bastian bersamaan

Mereka berdua terbengong mendengar kalimat Algis.

"Karna keadaan Algis terpaksa harus gantiin Kak Ajeng, pura-pura jadi Kak Ajeng..karna gak mungkin Bapak dan Ibu memberitahu calon suami Kak Ajeng bahwa kak Ajeng kabur di hari itu"

"Hah?????"

Maura dan Bastian terbelalak. Mereka berdua tidak habis pikir bagaimana mungkin sahabatnya selama ini melakukan hal tidak masuk akal seperti ini .

"Lo serius Gis...Lo cowok..gantiin kakak Lo nikah sama calon suaminya"

Algis menganggukkan kepalanya. Dia sebenarnya sangat malu menceritakan hal ini kepada sahabatnya, tapi dia juga tidak mau membuat kedua sahabatnya berpikir dia tidak mempercayai mereka sedikitpun.

"Trus cowok yang sering antar jemput Lo itu calon suami kakak lo"

"Iya..." jawab Algis pelan.

"Selama ini Algis tinggal di rumahnya"

Mulailah Algis bercerita dari awal pernikahan kakaknya hingga dia tinggal di rumah Panji dan menjalani hari hari sebagai kakaknya ketika kelurga Panji memintanya.

Algis juga menjelaskan hal apa yang membuatnya sering cuti kuliah dan susah dihubungi.Tentu saja dari semua yang Algis ceritakan, pemuda manis itu tidak menceritakan tentang pelukan dan ciuman yang pernah ia lakukan dengan Panji.

Maura menatap prihatin ke arah Algis. Tidak menyangka kalo Algis bisa melakukan semua itu demi orangtua, demi tanggung jawab kepada keluarganya dan pada keluarga calon suami kakaknya.

"Tapi sekarang udah selesai kan Gis..kakak Lo udah balik. Lo juga udah pulang ke rumah orangtua Lo. Jadi Lo gak perlu terus terusan gantiin kakak Elo"

Algis tersenyum kecut ke arah Maura.

"Iyaaa.....semua udah kembali ke semula" Ucap Algis lirih.

"Antara Lo dan cowok itu gak terjadi apa-apa kan selama Lo tinggal di rumah itu"

Tanya Bastian.

Sejak tadi dia hanya menyimak namun Algis tidak mengira Bastian akan mengajukan pertanyaan seperti itu. Maura pun tercengang, dia juga ingin tau tapi dia tidak enak hati untuk bertanya seperti itu pada sahabatnya. Gadis itu tidak tega melihat ekspresi gugup Algis.

"Ma-maksud Bastian apa.."

Algis berusaha menghindari tatapan tajam Bastian.

"Tatap Gue!" Bastian mencengkeram pergelangan Algis

"Sejauh mana hubungan Lo sama cowok itu"

"Gak ada hubungan apa-apa"

Bastian mendengus.

"Sekali lihat Gue tahu cowok macam apa Dia"

"Tapi Algis memang gak ada hubungan apa-apa sama Mas Panji, Bastain gak boleh ngomong gitu tentang Mas Panji"

Bastian mengepalkan tangannya. Rahangnya mengeras. Dadanya sesak serasa ingin meledak. Sejak awal Bastian bisa merasakan ada yang tidak beres antara cowok dingin itu dengan Algis sahabatnya. Apalagi melihat kedekatan mereka beberapa waktu yang lalu.

Rasa kesal ingin menghajar pria bernama Panji itu menggebu di dadanya. Bastian tidak rela ada orang yang mempermainkan Algis. Bastian tidak terima ada orang yang memperlakukan Algis seperti boneka, disuruh ini dan itu.

"Algis mau pulang" kata Algis datar

"Gue anter.." ucap Bastian.

"Egak mau...Algis bisa pulang sendiri"

Pemuda manis itu buru-buru mengemasi barangnya lalu melangkah pergi meninggalkan kedua sahabatnya.

"Gis....." teriak Bastian

Algis tidak menghiraukan teriakan Bastian.

"Bas..... biarin dulu. Lagian Lo kelewatan banget hari ini. Lo kenapa sih??"

Bastian mengusap wajahnya frustasi.

"Ra....berapa lama sih elo jadi sahabat Algis, dia itu gak pandai menutupi sesuatu. Semua kelihatan jelas dari matanya Ra. Gue yakin Algis pasti...."

Bastian menggantungkan kalimatnya. Dia jadi malas untuk menyelesaikan kalimatnya sendiri.

" Gue tau Bas, Gue bakal tanya Algis pelan pelan"

Bastian mengangguk lemah.

Pemuda itu jadi merasa bersalah, untuk pertama kalinya ia meninggikan suaranya pada si manis. Semua dia lakukan hanya semata untuk mencari kejelasan apa yang terjadi pada sahabatnya. Dan bisa mencari cara melindungi si manis.

Algis itu polos. Tidak pernah dekat dengan gadis manapun selain Maura. Bukan karna tidak ada yang minat dengan Algis. Justru sahabatnya itu selalu jadi incaran cewek-cewek centil. Jadi incaran cowok-cowok yang tatapan matanya seperti pria bernama Panji atau satu lagi pria cabul yang saat ini tak henti membuat ponselnya berdering.

Siang itu Panji masuk ke dalam kamar. Ia melepas jas kerja dan mengendurkan dasinya. Ia membaringkan tubuhnya keatas ranjangnya yang besar.

Biasanya Panji akan pulang larut malam, sejak kepergian Algis dari rumahnya Panji kembali pada kebiasaan lamanya. Pria bertubuh atletis itu sekarang lebih banyak menghabiskan waktu di kantor atau kembali mengajak sahabatnya Radit untuk mencari hiburan malam.

Tapi hari ini dia pulang lebih cepat, bahkan dia baru beberapa jam di kantor. Tiba-tiba saja dia gelisah dan ingin pulang ke rumah ingin berbaring di kamarnya menghirup sisa-sisa aroma tubuh Algis yang masih tertinggal di tempat tidurnya.

Sudah satu minggu semenjak kepergian Algis, seprai kamarnya masih sama tidak diganti. Dia tidak mau kehilangan aroma Algis dari kamarnya. Panji melarang siapapun masuk ke kamarnya sekalipun itu Bi Inah yang harus membersihkan kamar tetap tak diberikan ijin.

"Bro....." Teriak Nio, seperti biasa pemuda itu main masuk aja ke kamar Panji tanpa permisi.

"Kamu pulang jam segini? ini bahkan belum jam makan siang"

"Bukan urusan Lo...lagi pula gue bos. Gue bebas mau kerja atau mau pulang"

Jawab Panji masih terlentang di atas tempat tidur. Mengucapkan kalimat itu Panji jadi kembali teringat Algis. Jika ada pemuda itu pasti saat ini Algis akan menegurnya. Seorang bos sekalipun tidak boleh bersikap seenaknya. Ahh...Panji jadi merindukan pemuda itu.

"Baiklah...Bos emang bebas. Oh ya boleh gak aku pinjam mobilmu"

Panji melirik ke arah Nio.

"Mau kemana??kenapa gak pakek yang lain"

"Tapi aku suka mobilmu. Aku mau jemput Algis di kampusnya"

Mendengar nama Algis disebut, Panji mengerutkan kening.

"Siapa yang ijinin Lo jemput Dia"

"Kenapa aku harus ijin kamu, dia kan mantan istrimu jadi bebas donk"

Panji bangkit dari tidurnya, dia berdiri lalu menghampiri adik sepupunya.

"Gue peringatin Lo..jangan dekati dia. Jangan ganggu dia. Paham gak Lo!!"

Kata Panji dengan wajah datar dan tenang.

Nio tersenyum menyeringai.

"Gak bisa begitu Bro....kalo aku ngajak jalan Ajeng boleh kamu larang. Tapi kalo Algis...no way. He is not yours anymore"

Kata Nio sambil merapihkan dan menepuk-nepuk bahu Panji dengan kedua tangannya.

"Okay....I am going now,bye bye..Bro"

Nio melenggang pergi keluar dari kamar Panji sambil memamerkan kunci mobil ke udara, yang entah sejak kapan sudah berada di tangannya.

Panji mendelik.

"Nio!!!! balikin kunci mobil Gue!!"

Panji mengejar Nio hingga sampai ruang tamu. Namun langkah Panji terhenti saat dia berpapasan dengan Ajeng yang baru saja pulang dari rutinitasnya sebagai model.

Melihat Panji berhenti mengejarnya Nio melambaikan tangan sambil tersenyum penuh kemenangan ke arah Panji. Pemuda itu segara masuk ke dalam mobil Panji yang terparkir di halaman rumah. Dalam hitungan menit Nio sudah melesat pergi meninggalkan Panji dan Ajeng yang saling berhadapan di ruang tamu.

Setelah tinggal di rumah Panji, Ajeng kembali melanjutkan kuliahnya dan dia juga tetap menggeluti karirnya sebagai model. Meskipun dia sangat sibuk, namun Ajeng pandai mengatur waktu. Dia tidak terlihat kepayahan dengan rutinitasnya yang padat itu.

Gadis itu justru semakin mudah mendapatkan impiannya setelah tinggal di rumah Panji. Siapa yang tidak kenal dengan keluarga Suryadi. Relasi bisnisnya di mana-mana. Dengan menyandang nama keluarga Suryadi dibelakang namanya, semua orang menundukkan kepala pada Ajeng. Termasuk orang-orang Agency tempatnya bernaung. Jika dulu dia hanya dianggap sebelah mata, tapi tidak dengan sekarang. Semua orang menunduk hormat padanya.

Melihat Panji didepan matanya, Ajeng tersenyum tipis.

"Kamu gak kerja?" tanya Ajeng dengan nada lembut.

"Egak...Aku sengaja pulang cepat"jawab Panji datar.

"Kalo begitu bisa antar aku ke kampus? Aku ada kelas sore"

Panji tak segera menjawab. Ia diam sejenak.

"Mobil ku dibawa Nio" jawab Panji akhirnya.

"Ada mobil yang lain kan...Aku akan bersiap tunggu sebentar"

Panji tertegun tidak menyahut. Ajeng melangkahkan kaki menuju kamarnya. Namun baru beberapa langkah gadis itu berhenti, dia menoleh ke arah Panji.

"Aku satu kampus dengan adikku, hanya beda fakultas"

Mendengar itu tubuh Panji menegang. Apa yang dipikirkan gadis itu. Kenapa kalimatnya lebih terasa seperti sindiran daripada sekedar informasi.

Nio memasukkan tangannya pada saku jeansnya. Ia berdiri menyadarkan tubuhnya pada bodi mobil. Matanya mengedar, mengamati satu persatu mahasiswa yang melintas di depannya.

Sebelumnya, ia sudah memberitahu Algis dari pesan singkat bahwa dia akan datang ke kampusnya untuk menjemputnya. Awalnya Algis menolak, tapi Nio memaksa dan akhirnya si manis menyetujuinya.

Cukup lama Nio menunggu tapi Algis belum juga keluar dari kelas. Berkali-kali pemuda berkulit tan itu melirik arlojinya. Walau begitu semangatnya untuk menjemput Algis tak berkurang sedikitpun. Algis itu seseorang yang manis, hatinya baik. Meski belum lama mengenal pemuda itu Nio yakin Algis itu bisa jadi teman yang menyenangkan.

Nio bahkan rela tidak ikut pulang ke Melbourne dengan orangtuanya hanya karna dia ingin sekali menghabiskan waktu dengan Algis.

Senyum mengembang di bibir Nio ketika dia melihat Algis yang bertubuh ramping berjalan ke arahnya dengan dua orang berjalan disisi kanan dan kirinya. Lihatlah meski berdiri di sisi seorang gadis, wajah Algis tetap terlihat menawan dan manis.

Dari kejauhan Algis bisa melihat Nio berdiri bersandar pada mobil sedan warna hitam. Jantungnya berdebar cepat melihat mobil milik Panji, rasa rindu kembali menelusup ke sanubarinya.

Mungkinkah Mas Panji ikut, mungkin kah Mas Panji ada didalam mobil itu.

Algis bertanya-tanya di dalam hatinya.

"Hai..... " Sapa Nio dengan senyum manisnya, ketika Algis dan kedua sahabatnya sudah berada didepannya.

"Maaf, Pasti Nio udah lama nunggu"

"Gak kok aku baru datang" dusta Nio

"Oh ya.. Ini Maura dan Bastian teman Algis"

Si manis mengenalkan kedua sahabat baiknya pada Nio. Mereka saling berkenalan satu sama lain.

"Nio ini...sepupu Mas Panji" Kata Algis lirih.

Mendengar itu Bastian dan Maura memandang ke raut wajah Algis. Sangat kentara kesedihan dari sorot matanya ketika ia menyebut nama itu.

"Nio..cuma mau jemput Algis dan antar pulang kan?" Tanya si manis

"Ehh.... gak gitu saja. Aku mau ajak kamu nonton juga sebenernya" jawab Nio cepat.

"Kebetulan kita berdua lama gak nonton jadi boleh donk ikutan. Sekalian traktir tanda perkenalan"

Ucap Bastian sambil memicingkan mata ke arah Nio. Maura menyikut dada Bastian pelan, tanda ia tidak suka dengan sikap Bastian. Tapi apa peduli Bastian, menjaga Algis itu wajib hukumnya apalagi pemuda yang ada dihadapannya saat ini adalah sepupu orang yang ingin sekali dia hajar.

"Hehehe...oke deh" kata Nio sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Sesaat sebelum mereka berempat masuk ke dalam mobil, ada sebuah mobil lain datang dan berhenti tepat di belakang mobil Panji. Pandangan mereka serentak tertuju pada mobil itu.

Dari dalam mobil itu keluar Panji dari balik pintu kemudi. Ia berjalan memutar lalu membukakan pintu mobil samping kiri. Lalu keluarlah Ajeng dengan rambut tergerai panjang hingga pinggang.

Ajeng terlihat begitu cantik dengan baju ruffle blouse lengan panjang dipadukan dengan rok pendek batas lutut motif kotak-kotak. Kakinya yang jenjang dan mulus terlihat lebih indah dengan balutan sepatu boot warna merah maroon.

"Nanti tolong jemput aku ya...aku kabari kalo kelas aku selesai"

Ucap Ajeng sembari mengecup mesra pipi Panji. Panji terkesiap. Matanya sontak mencari sosok tubuh ramping yang berdiri tak jauh darinya.

Setelah memberi kecupan mesra di pipi Panji, Ajeng berjalan meninggalkan Panji yang masih terdiam menatap ke arah Algis. Gadis itu melangkahkan kakinya menghampiri Algis dan kedua sahabatnya itu.

"Kalo pulang telat jangan lupa kabari Ibu, biar Ibu gak khawatir"

Kata Ajeng lembut,mengingatkan adiknya.

Si manis tersenyum dan mengangguk.

Ajeng kembali melanjutkan langkah kakinya berjalan ke arah kampus dengan anggun seperti seorang model diatas catwalk.

Akhirnya Algis bisa melihat Panji.Jantungnya berdebar kencang.Setelah seminggu lebih ia meninggalkan rumah Panji,mereka berdua tidak pernah bertemu lagi.Saling mengirim pesan pun tidak.

Sebenarnya Algis sangat merindukan pria itu tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan apa yang dilihatnya barusan sudah cukup menjelaskan kan bahwa Panji bisa menerima kakaknya. Mereka berdua tampak sangat serasi.

Jika dia ceritakan ini pada Bapak dan Ibunya,mereka berdua pasti sangat bahagia.

"Ayooo jadi pergi gak??"

Suara Bastian mengejutkan Algis. Entah sudah berapa lama Algis bertukar pandang dengan Panji, kedua insan itu sepertinya lebih suka saling berpandangan daripada menyapa dan bertanya kabar.

"Bro....Aku...."

"Sudah....sana masuk mobil"

Bastian mendorong tubuh Nio, membuat Nio tak menyelesaikan kalimatnya pada saudara sepupunya. Maura duduk di kursi depan, sedangkan Algis dan Bastian duduk di kursi belakang.

"Cepat jalankan mobilnya Nio"

Perintah Bastian.

"Iya iya....."

Mobil perlahan melaju meniggalkan halaman kampus. Meninggalkan Panji berdiri seorang diri.

Algis ingin menoleh ke belakang sekali lagi ia ingin melihat Panji. Namun ia urungkan niat itu.

Dia tau kedua sahabatnya sudah mulai curiga tentang perasaannya ke Panji, tapi ia berusaha menutupi hal itu. Meskipun Maura sering menggodanya menjodohkannya dengan laki-laki, tapi belum tentu Maura bisa menerima jika dirinya sungguhan mempunyai rasa dengan seorang pria.

Begitupun dengan Bastian. Algis sangat takut untuk jujur pada dua sahabatnya tentang apa yang ia rasakan.

Bersambung.....