"Ta-mara...?"
Hati Soully merasa hancur ketika Yafizan mengira dirinya Tamara. Selupa apakah suaminya itu hingga ia tak bisa mengenali istrinya sendiri? Apa yang terjadi selama suaminya yang tiba-tiba menghilang waktu itu? Bahkan Rona saja tidak menceritakan secara detail padanya.
Menguji kesetiaan dan cinta sejati apanya?
Soully mengepalkan tangannya. Ia begitu tak terima diperlakukan seperti itu. Dia bukanlah perempuan lemah dan tak berdaya. Ia harus mengesampingkan pribadi sensitifnya demi keutuhan rumah tangganya. Dia istrinya, istri sahnya!
Soully terbangun dengan cepat dan tiba-tiba, Membuat Yafizan yang sedang mengelus rambut kepalanya merasa terkesiap sekaligus kebingungan karena sikapnya.
"Tamara, kenapa?"
"Aku, bukan Tamara!" Soully membalikkan badannya dan memperlihatkan wajahnya untuk dilihat Yafizan dengan jelas.
"Kau..." seketika Yafizan berusaha untuk bangun.
"Ya, ini aku! Apa? Kau mau mengusirku?" Soully menantang, mendongakkan wajahnya bersikap tegas. Walaupun sebenarnya dalam hati ia merasa gemetaran.
Yafizan masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Rona yang menyimak sedari tadi awalnya merasa bingung dengan perubahan sikap Soully yang tiba-tiba. Tapi kemudian ia hanya tersenyum tipis dan membiarkan suami istri itu berdebat berdua.
"Kau mau ke mana?" Yafizan setengah berteriak ketika melihat Rona hendak meninggalkan mereka berdua begitu saja. "Jelaskan apa maksudnya perempuan ini ada di sini?"
"Kurasa sekarang keadaanmu sudah mulai baikan, Bos. Melihatmu sudah ada tenaga untuk memarahiku." Rona terkekeh melihat wajah bingung bosnya. "Oh ya, dia itu...Sayangmu, Bos." Rona menyahut ketika di ambang pintu kemudian benar-benar menghilang dan menutup pintunya dengan rapat.
***
Hening sesaat ketika Rona meninggalkan Yafizan dan Soully berdua di dalam kamar. Suasana terasa canggung saat itu namun tetap tak menghilangkan rasa kekesalan dari kedua sisi.
"Siapa kau sebenarnya?" Yafizan memecah keheningan dengan pertanyaan yang sebenarnya berkecamuk dalam fikirannya sejak ia mengusir Soully.
"Minumlah." alih-alih menjawab, Soully malah menyodorkan segelas air minum ke hadapan Yafizan. Tangannya terus bergerak seolah mengatakan 'Cepat ambillah!'.
"Taruh kembali air minum itu. Percuma saja, tubuhku takkan menerimanya walau setetes pun," tolak Yafizan memalingkan wajahnya.
"Cepat ambil dan minumlah! Aku tahu kau pasti sangat kehausan saat ini." Soully memerintah tanpa rasa takut.
"Siapa kau berani memerintahku?!" hardik Yafizan dengan suara meninggi.
"Aku? Sayangmu," ucapan Soully yang polos seakan tanpa dosa itu membuat wajah Yafizan memerah dan salah tingkah.
"Minumlah..." Soully melunak lalu tanpa menyanggah lagi Yafizan segera meraih gelas air minumnya itu dan diteguknya hingga habis.
Sungguh ajaib, air yang Yafizan minum begitu menyegarkan tenggorokannya. Yafizan mengernyitkan dahi. Ia melihat gelas yang sudah kosong itu dengan seksama. Benarkah ia meminumnya hingga tandas? Bahkan setetes pun tak keluar lagi sama sekali dari mulutnya.
Yafizan menatap tajam wajah Soully, lalu menaruh dengan sengaja gelas kosong itu di atas nakas tanpa mempedulikan uluran tangan Soully yang sudah meminta gelas kosongnya. Soully memutar bola matanya jengah akan tingkah suaminya itu. Menyebalkan.
"Menyegarkan, bukan? Bahkan kau meminumnya lebih dari setetes. Sekarang, apa kau mau makan? Aku akan menghangatkan buburnya." Soully segera beranjak dari duduknya lalu mengambil bubur yang sudah dingin di atas nakas sebelum suara protes keluar dari mulut Yafizan.
.
.
.
Soully tersenyum geli ketika dia berhasil melawan suaminya yang sedang lupa ingatan itu. Ia kini tengah sibuk menghangatkan bubur dan memasak makanan tambahan di pantry apartementnya. Ia benar-benar merindukan saat-saat seperti ini. Ini sudah malam, namun sangat menyenangkan seolah rasa lelahnya menghilang.
Seketika wajahnya menjadi sendu, Soully menghembuskan nafasnya berusaha untuk tetap tegar mengingat ia tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi setelah ini kemudian.
Setelah dirasa semuanya telah siap, Soully membawa bubur yang masih panas beserta potongan buah dan orange juice segar di atas nampan lalu membawanya ke kamar di mana Yafizan sedang duduk berselonjor dengan menyandarkan tubuhnya pada sandaran tempat tidurnya.
"Kurasa kamu sudah baikan," sahut Soully yang tiba dengan nampan makanan di tangannya. Kemudian ia menaruh nampan itu di atas nakas lalu mengambil bubur yang masih mengepulkan uap panasnya itu. Aroma wangi bubur tercium membuat cacing-cacing dalam perut Yafizan berdemo minta diberikan asupan gizi. Soully tersenyum ketika mendengar suara dari perut Yafizan yang begitu keras.
"Makanlah selagi hangat." menaruh mangkok bubur di atas paha Yafizan. Yafizan merasa canggung. "Apa mau aku suapi?" mengambil kembali mangkok buburnya, Soully menyendok satu suapan dan meniupnya perlahan. "Buka mulutmu?" sudah menyodorkan satu sendok bubur di depan mulut Yafizan. Yafizan terlihat ragu.
"Apa aku cantik?" pertanyaan Soully membuat Yafizan membuka mulutnya ternganga seketika merasa jengah akan pertanyaan Soully.
Namun, hal tersebut membuat Soully menyuapkan satu sendok bubur itu ke dalam mulut Yafizan yang terbuka hendak memprotes. Soully tersenyum penuh kemenangan. Mau tidak mau Yafizan mengunyah dan menelan bubur yang sudah masuk ke dalam mulutnya. Setelah dirasa nikmat oleh indera perasanya, mulutnya terus terbuka meminta untuk terus disuapi. Sesendok, dua sendok dan sendok-sendok berikutnya hingga tak terasa bubur dalam mangkok tersebut telah tandas. Soully menyodorkan segelas orange juice segar lalu diminum habis pula oleh Yafizan.
"Mau buah?" Yafizan mengangguk seperti anak kecil yang menurut ketika ibunya memperhatikannya.
Suasana canggung sudah tidak membentengi mereka lagi. Yafizan benar-benar lupa jika Soully seharusnya orang asing baginya saat ini. Ia benar-benar melupakan Tamara. Dengan telaten Soully terus memberi asupan gizi untuk suaminya, hingga satu gelas orange juice itu telah habis barulah Soully berhenti. Soully membawa mangkok dan gelas kosong untuk di cuci. Ia meninggalkan Yafizan yang ia rasa sudah merasa kenyang.
Sepeninggal Soully, Yafizan masih merasakan lapar dan haus, ia pun tak mengerti. Padahal ia sudah banyak minum bahkan memakan banyak makanan. Tubuhnya sekarang mulai merasakan panas dan kepalanya terasa pusing kembali. Tiba-tiba ia teringat Tamara yang sudah tiga hari ini tidak pulang. Ia mengambil ponselnya kemudian menghubungi Tamara.
***
Yafi calling...
Layar ponsel itu terus menyala. Namun sang pemilik ponsel tak kunjung mengangkatnya. Tamara yang entah sedang pingsan ataukah tertidur lelap, ia tak menyadari dirinya kini tengah berbaring di atas tumpukan bahkan gunungan sampah yang membuat dirinya tak merasakan betapa sesak dan bau yang menyengat dari Tempat Pembuangan Sampah itu menyelimuti tubuhnya dari dinginnya angin malam ini.
Rona memberikan sedikit pelajaran pada Tamara karena ia merasa Tamara memang layak diperlakukan seperti itu karena sikapnya yang keterlaluan.
***
Yafizan mengepalkan tangannya dengan keras pada ponselnya. Seakan ia ingin meremukkan benda pipih itu.
Ceklek
TAAKKK
"Akhh." Soully meringis namun tak lupa tetap menangkap ponsel yang hampir terjatuh sesaat ponsel pintar itu mengenai keningnya. Soully masih berdiri di ambang pintu dan merasa terkejut karena disuguhkan kejadian tak terduga saat hendak masuk ke dalam kamarnya. Ia mengusap keningnya yang cukup menyakitkan akibat lemparan ponsel tadi.
"Apa yang kau lakukan, Bos?!" seru Rona ketika ia melihat kejadian tak terduga itu. Ia berada tepat di belakang Soully ketika ia hendak mengecek keadaan bosnya.
"Soully apa kau baik-baik saja? Coba kulihat keningmu!" Rona memeriksa kening Soully yang tampak mulai menunjukkan garis yang memutih dan sedikit memerah.
"Aku tak apa-apa, Kak." Soully memberikan ponsel Yafizan ke tangan Rona.
"Kau ini keterlaluan sekali. Kenapa kau seperti itu, Bos?" amarah Rona sesaat ketika ia tanpa sengaja melihat riwayat panggilan keluar dari layar ponsel bosnya yang menyala dan terbuka.
Yafizan sebenarnya cukup terkejut karena ia tak sengaja dan bermaksud untuk melemparkan ponselnya kepada Soully. Namun karena gengsi, ia bahkan tak meminta maaf pada Soully. Ia masih cukup kesal karena Tamara tak kunjung pulang dan susah dihubungi.
"Sebaiknya kau bawa perempuan itu pergi dari sini!" perintah Yafizan setengah berteriak.
"Apa-apaan kau ini?" Rona merasa kesal akan perubahan sikap bosnya yang tiba-tiba.
Menyebalkan!
"Kau yang apa-apaan? Membawa sembarang orang masuk ke apartement kita. Bagaimana jika orang lain melihat kau membawa perempuan asing ke dalam? Bahkan istri sahku tak ada di sini," kata-kata Yafizan membuat rasa sakit di kening Soully menghilang.
"Kau sungguh keterlaluan, Bos." Rona tak habis fikir. "Kenapa kau masih saja mengharapkan perempuan laknat seperti Tamara?"
"Cukup! Hanya karena kau orang kepercayaanku bukan berarti kau berhak berbicara tak sopan tentang Tamara!" Yafizan semakin emosi. Matanya sudah berkilat merah.
"Memangnya siapa Tamara bagimu?"
Yafizan terdiam, entah kenapa mulutnya susah mengatakan jika Tamara istrinya.
"Bahkan kau saja tak bisa mengatakan siapa dirinya. Kau harus sadar, Bos. Mengapa kau begita tak menyadari jika wanita yang kau sakiti ini adalah ist..." Rona menghentikan ucapannya sesaat karena Soully mecengkram tangan Rona. Mata Soully mengisyaratkan supaya Rona tidak mengatakan lebih lanjut.
"Dia siapa, HAH?" bentak Yafizan tak terima. "Sebaiknya kalian pergi dari sini SEGERA!!"
Rona dan Soully masih bergeming pada tempatnya. Memperhatikan sikap Yafizan yang memang keterlaluan. Mata Soully sudah berkaca-kaca. Ingin sekali ia berteriak jika dia istrinya. Namun melihat kondisi Yafizan yang sudah memucat seakan menahan rasa sakit yang mendera tubuhnya kembali.
"Kenapa kalian masih di situ?! Apa kalian tak punya telinga?" Yafizan beranjak dari tempat tidurnya lalu menghampiri Rona dan Soully yang masih berdiri. Dengan kasar Yafizan mendorong Rona dan Soully, mengusirnya untuk keluar. Ia tak mempedulikan kondisi tubuhnya yang lemah.
Rona masih bersikeras menantang bosnya yang sedang emosi namun tak berdaya. Tubuh tegapnya tak mau berpindah. Soully sudah menarik tangan Rona untuk pergi, akan tetapi tubuh Rona seakan tak mau untuk berpindah dari tempatnya.
"Oh, kau sudah berani melawanku rupanya?" Yafizan berucap sinis. Amarahnya mulai tak terkendali.
Cahaya api mulai bekobar di tangannya, berniat untuk menghajar orang kepercayaan yang selama ini menemaninya. Dengan kekuatan penuh ia segera menghempaskan kekuatannya ke arah Rona. Soully yang saat itu masih berada di samping Rona menyadari akan perubahan emosi yang tak terkendali dari suaminya, walaupun terkadang ia tak bisa melihat cahaya api yang berkobar dari tangan suaminya itu. Dengan cepat Soully menarik Rona untuk menghindari serangan dari Yafizan yang seperti harimau hendak menerkam mangsanya. Namun nahas, bukannya mendorong Rona untuk pergi, Yafizan malah mendorong kasar tubuh Soully hingga keluar pintu kamarnya.
***
Bersambung...