webnovel

My Slave, My Servant, My Daughter

kisah tentang Pak Sumi, seorang intel kepolisian yang berhasil membuka kedok rumah Bordil dan menemukan hal yang lebih buruk daripada PSK (Pekerja Seks Komersial) yaitu menemukan seseorang yang akan merubah hidupnya untuk selamanya. kisah tentang keluarga, masa lalu, dan ambisi seorang anak. Kisah tentang suatu keluarga kecil yang berperan besar dalam beberapa kasus skala nasional, masa lalu yang penuh dengan intrik, persahabatan, juga kengerian dan kekejian, serta ambisi seorang anak untuk mendapatkan kepercayaan, cinta dan kasih sayang... ah dan juga tubuh. Cerita akan berkutat pada Marie dan Pak Sumi, lalu orang-orang yang terdekat seperti Bu Rati (Istri Pak Sumi), Tiga anggota daun Semanggi (Clover), dan tokoh antagonis. Apakah Marie bisa mendapatkan apa yang diinginkannya? berakhir bahagia atau tidak, itu semua pilihan anda, pembaca. *Penulis sangat tidak menyarankan untuk dibaca oleh anak-anak tanpa pengawasan Orang tua. Isi konten dan konflik cerita sangat mungkin TIDAK SESUAI untuk anak-anak (atau mungkin sebagian remaja baru). dimohon kedewasaan pembaca. **pict source: https://www.trekearth.com/gallery/Africa/photo1403560.htm

Cloud_Rain_0396 · 灵异恐怖
分數不夠
102 Chs

Bertemu dengan Sunandar: Mimpi Buruk Marie

Aku berlari dari tempat yang menyeramkan itu. Tak jelas kemana Aku berlari, dimana aku berada, mengapa Aku berlari, dan dari apa Aku berlari, tapi yang pasti di belakangku, Aku seperti dikejar oleh sesuatu.

Sepanjang jalan, lampu 'Tube Luminescent neon' putih diatasku berkedip-kedip. Aku melewati lorong remang-remang ini. Tidak ada seorang pun berada disini. Meski begitu, aku yakin jika ada sesuatu yang mengejarku.

Dug! Aku jatuh. Aku menabrak sebuah kursi roda. Kakiku sakit, tapi Aku berusaha dengan cepat berdiri lagi. Aku berdiri, dan berlari lagi.

Sampai Aku sampai di sebuah Jalan buntu. Tidak ada jalan lagi, di depanku hanya ada tembok saja. Aku menoleh ke samping kananku ternyata ada pintu. Tanpa pikir panjang Aku buka pintu itu. Bau apek ruangan gudang tercium hidungku. Aku bersembunyi diantara rak-rak yang terbuat dari aluminium yang menampung banyak cawan petri, gelas dari kaca, mikroskop, dan benda-benda medis yang lain. Lalu Aku bersembunyi ke dalam gentong besar yang berbau anyir.

Suara Clang-clang jelas terdengar lagi. Aku baru ingat jika suara itu yang membuatku berlari. Itu seperti suara besi yang dibentur-benturkan dengan kaca/keramik. Semakin dekat, semakin keras suaranya. Aku mendekap merangkul tulang betisku. Aku memejamkan mataku dan menggigil ketakutan.

Aku menunggu. Terus menunggu sampai suara itu berhenti. Namun, suara itu semakin dan semakin dekat. Sampai pada gilirannya, Aku sangat yakin jika orang itu telah ada di depan pintu.

Brak! Terdengar suara Pintu sedang dibuka dengan keras.

Suasana yang sepi mendadak ramai, ramai dengan suara kaca yang pecah. Nampaknya orang itu memukulkan sesuatu ke tempat yang banyak barang kacanya, lalu membuat mereka semua pecah. Aku yang ketakutan semakin meringkuk merangkul betisku. Aku menahan napasku. Aku tidak ingin ketahuan kalau aku disini. Aku takut.

Ditengah kegelapan itu, napasku tinggal sejengkal, seolah telah memenuhi batang tenggorokan ku. Tapi akhirnya Aku mendengar suaranya menghilang dan perlahan memudar. Aku menghembuskan napas panjang. Aku lega ketika tidak mendengar suara itu lagi. Orang itu telah pergi, atau begitu menurutku. Lalu sekelilingku mendadak terang. Tutup gentong besar di atasku terbuka, Aku mendongak. Rasa keputusasaan memenuhi hatiku tatkala mata kami saling bertemu.

"Akhirnya Ketemu." Katanya sambil tersenyum menyeringai.

Tanganku ditarik sampai Aku keluar dari gentong. Aku ditarik begitu saja keluar dari gentong dan dihempaskan ke lantai. Prang! Punggungku menabrak sesuatu yang keras. Sakit sekali. Kemudian Dia mulai menghunuskan kapaknya ke arahku. Aku memohon kepadanya untuk tidak melakukannya. Entah apa yang kuperbuat tapi orang itu sangat membenciku. Aku juga tidak mengenali siapa Dia. Orang berbadan gemuk, sangat gemuk dengan kaos sobek putih kusam.

"Jangan, jangan." Kataku lirih.

Hampir saja suaraku tidak keluar karena takut. Tapi tidak Dia tetap mengayunkan besi itu kearahku.

....

Aku terbangun dengan keringat yang bercucuran. Jantungku terpacu dengan cepat. Aku melihat sekeliling. Disampingku ada ibu yang sedang tertidur. Aku lega semuanya berakhir dan hal itu hanya mimpi.

Sudah dua kali Aku bermimpi hal yang sama. Mungkin ini karena Aku terus memikirkan pertemuan dengan Bapak itu, bapak-bapak yang membuatku takut. Miya, Sialan, teman-teman yang lain, memikirkannya saja membuatku mual. Seperti biasa Aku muntah di malam hari. Ibuku terbangun. Beliau membantuku memuntahkan semuanya. Tapi Aku tidak bisa menangis. Aku hanya tidak mau menangis saja. Meski Aku ingin.

Pagi harinya seperti yang sudah-sudah, katanya Aku melakukan berbagai aktivitas pemulihan. Ibu meninggalkanku bersama suster untuk berlalu ke sebuah ruangan. Disana Aku disuruh berjalan. Katanya itu untuk melatih kaki baruku. Sekarang Aku punya kaki dan tangan yang lengkap. Ini adalah hal yang baru bagiku untuk memiliki keduanya. Dengan tumpuan besi yang memanjang di sepanjang tembok, Aku bersama suster melakukan latihan berjalan.

Banyak anak yang berukuran sama sepertiku berada disini. Tongkat jalan, kursi roda, dan lain-lain, semua anak itu berlatih menggunakannya. Tapi Aku tidak karena Aku sudah terbiasa dengan kursi roda. Selain itu Ibu sepertinya ingin Aku menggunakan kaki dan tanganku yang beru saja muncul disini. Aku tidak tahu dari mana datangnya kaki dan tanganku yang ini. Meskipun tangan dan kakiku dari besi, tapi ya... Aku tetap menyukainya.

Sampai akhirnya hari itu tiba. Seperti biasa ayah berkunjung kesini dan menanyakan kepada ibu apakah Aku bisa diajak bersamanya. Ibu Sepertinya enggan menjawabnya tapi kemudian dia berkata jika Aku telah bisa diajak keluar. Memang dalam beberapa hari ini banyak yang bilang perkembanganku bagus. Aku tidak paham perkembangan apa itu, tapi Aku juga merasa hampir bisa berjalan dan memegang sesuatu dengan tangan kaki baruku ini.

Lalu ibu dan ayahku melihat ke arahku, seolah bertanya tentang persetujuanku untuk ikut mereka ke tempat bapak itu. Aku tidak tahu. aku memalingkan muka. Lalu ibu berkata ke ayah jika sebaiknya hal ini dibatalkan saja. Lalu aku berkata,

"Um... A...yah, su... ruh... Ma... Rie... I..kut?"

"Marie, sekali lagi, tidak ada yang menyuruhmu i-" Kata ibu terpotong oleh perkataan singkat ayah.

"Iya nak." Kata Ayah.

"Bapak!?" Kata Ibu spontan.

"Memang itu yang sebenarnya buk." Kata Ayah.

"Tapi kan bapak tidak perlu mengatakannya juga!" Kata Ibu dengan nada meninggi.

Sedangkan ayah hanya bisa melihat ke bawah. Melihat mereka bertengkar, Aku berkata,

"Ya..."

Mendadak mereka berhenti berdebat dan mendengarkanku.

"Ma..rie i..kut." Kataku.

Aku tidak suka bertemu bapak itu tapi Aku lebih tidak suka menyusahkan orang yang menyukaiku.

Akhirnya Aku berangkat. Aku berusaha tegar. Didepan mereka Aku berusaha tidak menunjukkan rasa ketidaksukaanku saat Aku harus bertemu lagi dengan bapak itu. Tapi meskipun Aku selalu menunjukkan rasa senang ketika Aku bersama mereka (kedua orang tuaku), ibuku merasa ada yang aneh denganku. Berkali-kali dia berkata padaku apa Aku baik-baik saja dengan ini. Meskipun Aku selalu berkata aku tidak apa-apa, dia seolah tidak percaya dan terus menanyakanku hal yang sama.

Aku ingin bilang,

"Aku tidak apa-apa dengan hal ini? tentu Aku terganggu dengan ini. Bagaimana tidak terganggu, jika Kamu harus menemui orang di masa lalumu, orang yang membuatmu dan teman-temanmu menderita. Tapi, Aku tidak bisa egois. Ayah membutuhkanku untuk menemui orang itu lagi. Selain itu, aku tidak ingin ayah dan ibu bertengkar karena keegoisanku. Lagian ini adalah terakhir kali aku bertemu dengannya, karena dia akan dihukum mati. Jadi, mungkin Aku akan ikut saja."

Tapi tentu tidak bisa kulakukan karena sebenarnya tenggorokan dan dadaku masih sakit jika aku memaksakan diri untuk berujar.

Jadi akhirnya Aku hanya menganggukkan kepala saja.

Beberapa hari kemudian, Aku berangkat. Kami naik sesuatu yang bernama kereta api. Aku berpikir bagaimana panasnya naik 'api'. Namun tidak, ternyata dingin. Aku terpesona dengan banyaknya orang dan sebuah kendaraan yang panjang. Bersama ayah, ibu, dan rekan kerja Ayah yang berpakaian rapi.

Teman Ayah itu aku tidak tahu namanya, tapi sepertinya Aku pernah mengenalnya. Aku duduk bersama ibu, sedang ayah berada di samping kami (pada jajaran kursi yang berbeda). Ayah bersama temannya itu.

Perjalanan saat ini adalah yang terlama yang aku rasakan sampai saat ini. Entah kapan sampai ke tempatnya.

"I..bu?" Kataku lirih.

"Apa nak?" Kata Ibuku

"La...ma." Kataku.

Ibu lalu menengok kearah ayah.

"Pak, ini kenapa tidak sampai-sampai, sebenarnya kita mau kemana?" tanya Ibu.

Sepertinya ayah tidak memberitahu ibu kemana kami akan pergi.

"Cilacap. Ada 9 jam perjalanannya. Kamu sudah bawa perbekalan seperti yang Aku suruh kan?" Tanya Ayah.

"Ya, bahkan Aku juga sudah ambil cuti untuk 3 hari." Jawab Ibu.

"Ahahaha, anggap saja kita sedang berlibur sekarang." Kata Ayah.

"Loh bukannya kita mau- ah. Iya berlibur." Kata Ibu.

Sepertinya ayah seperti menyuruh ibu untuk tidak membicarakan ini disini. Atau mungkin mereka mengira Aku sudah lupa alasan Aku duduk disini sekarang.

lama. lama sekali. kakiku serasa mati rasa karena kebanyakan duduk tidak bergerak. Tapi tak lama kemudian Aku tertidur. Ketika Aku bangun, Aku sudah berada di sebuah ruangan yang tidak Aku kenal. Kulihat Ayah tidak ada disini, hanya ada Ibu disampingku, beliau sedang tidur. Lalu Aku tidur lagi. Ranjang disini empuk dan dingin.