Camilan, minuman, bantal, dan selimut. Semua sudah siap, tinggal menyalakan TV dan menonton film kesukaan gadis itu.
"Aku ingin menonton dengan Kak Adit," gumamnya.
Dhea terdiam beberapa saat, dia menatap lurus ke arah TV. Senyum itu terbit, tidak lama dia bangkit dan berdiri di depan pintu apartemen Adit.
Gadis itu menggigit ujung jari telunjuk, sembari menatap ke lurus deretan angka.
"Ini dia masalahnya," gumam Dhea. Dia tampak seperti anak kecil yang tersesat arah, dengan piama kuning bermotif beruang dan juga kerutan di dahi sebagai pelengkap.
Dhea menyeringai kecil, dia teringat sesuatu di masa lalu.
"Sebenarnya dibalik seseorang yang terlihat memesona pasti ada celah, itu juga berlaku padaku. Aku sangat pelupa, bahkan pada hal-hal penting," ucap Adit dua tahun lalu, dalam suatu acara reality show.
Jari lentik itu mulai memencet kombinasi nomor yang sangat sederhana, dari tanggal lahir atau bahkan angka kesukaan Adit.
"Kenapa semua salah?" Dhea tidak kehilangan akal dan mulai memencet pin apartemen Adit dengan kombinasi umur idolanya.
Dia langsung bertepuk tangan senang bahkah gadis itu sedikit melompat seperti anak kecil.
Siapa sangka bahwa kombinasi angka itu benar. Dhea segera masuk, dia tidak akan peduli jika Adit melaporkan dirinya ke polisi.
Lagipula kecil kemungkinan Penyanyi tampan itu akan melapor, mengingat seberapa anarkis para penggemarnya. Dan jika sampai mereka tahu dia di sini pasti akan terjadi keributan.
Ah, Dhea suka keributan, tapi jika keributan merebutkan Adit mungkin dia akan berpikir ribuan kali.
"Kamu!" teriak Adit yang baru saja keluar dari kamar.
Awalnya dia berpikir untuk mengganti baju, tapi tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka. Adit mengira itu Thea. Namun, dia ingat jika apartemen ini dibeli tanpa sepengetahuan siapa pun kecuali Thea dan kakaknya.
"Kak, ayo, menonton film bersamaku!" seru Dhea. Gadis itu mencebikkan bibir lucu, berharap Adit luluh.
"Kamu bertanya atau sedang memberi perintah?" tanya Adit dengan mata memicing tajam.
"Aku sedang memaksamu, maka kamu harus ikut denganku!" Tanpa aba-aba tangan Adit ditarik, membuat laki-laki itu refleks menghempaskan tangan Dhea dengan kasar.
"Ajak saja kekasihmu," tolaknya.
"Kamu kan kekasihku, Kak."
"Aku kira hanya kebodohanmu yang melekat, tapi juga rasa tidak tahu malumu," ketus Adit
"Apa kau baru saja memakan cabai, Kak? Kata-katamu sangat menyakitkan. Jujur saja walau begitu aku tetap tidak peduli," jawab Dhea membuat Adit sakit kepala seketika.
Laki-laki itu memberi isyarat agar Dhea pergi dengan tangannya, tapi di luar dugaan dia malah ditarik paksa.
"Apa kanu tidak memiliki pekerjaan? Misalnya saja mengerjakan PR atau membaca buku, kau juga bisa mengulang pelajaran hari ini," cercanya.
"Tidak, aku tidak memiliki pekerjaan kecuali mengencanimu dan soal PR, aku ingatkan jika besok adalah hari minggu," jawabnya. Dhea pikir dia akan kesulitan menarik Adit, tapi dugaan itu salah karena Adit tidak menolak saat gadis itu tarik.
Dhea menarik idolanya agar duduk di sofa dan dia mulai menyalakan TV. Itu bukan film romantis seperti yang Adit bayangkan.
Saat Adit remaja dia berpikir bahwa semua gadis menyukai film romantis dan hari ini anggapan itu salah, karena Dhea hari ini memutar film aksi.
Bahkan dia terlihat sangat nyaman, melupakan makanan yang dia letakkan di meja. Adit mengambil makanan itu dan memakannya, tapi tiba-tiba ada suatu pemandangan yang langka.
"Untuk apa kamu membeli banyak coklat?" tanya Adit, sembari menunjuk ke arah lemari kecil belakang TV.
Gadis itu menoleh dan mengikuti arah pandang laki-laki itu.
"Ambil saja jika mau." Laki-laki itu menatap tidak percaya, di mana hilangnya Dhea yang tadi bersemangat menariknya.
Adit bangkit dan mendekati lemari kecil tersebut. Bukan hanya coklat, ternyata banyak barang lagi di sana yang disusun rapi oleh Dhea termasuk surat.
Di sebelah surat itu banyak coklat beragam rasa dari produk terbaik. Mengingat kecantikan Dhea, membuat Adit sadar bahwa semua coklat dan surat itu dari penggemar gadis tersebut.
"Apa salah satu dari mereka kekasihmu?" tanya Adit, sembari mengalihkan pandangan pada Dhea.
Dhea memandang Adit sebentar, lalu menggeleng.
"Bukan. Kak Adit, kan, kekasihku bukan mereka," jawabnya.
Adit tidak memedulikan ucapan Dhea dan lebih memilih mengamati barang-barang di sana.
"Kenapa kamu menyimpan sampah-sampah ini?" tanya Adit, sembari menunjukkan satu surat cinta berwarna biru laut polos.
"Aku memang tidak menerima perasaan mereka, tapi aku masih menghargainya. Jika itu Kaka mungkin semua surat tersebut akan lenyap. Aku tebak kamu selalu membuang surat dari penggemarmu."
Adit tidak mengelak, karena yang dikatakan Dhea tidak salah. Dia memang sering membakar surat dari penggemar dan itu tanpa sepengetahuan mereka. Terdengar kejam, tapi Adit sendiri juga pusing untuk apa menyimpan kertas-kertas tidk berguna itu.
"Kamu terlalu baik," cetus Adit.
Gadis itu tidak merespons dan lebih fokus pada layar TV.
Acara menonton film malam ini diakhiri dengan Dhea dan Adit yang memejamkan mata bersama di sofa. Film yang mereka tonton sudah selesai sedari tadi.
Laki-laki itu sedikit membuka mata dan mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Hingga pandangannya berhenti pada satu sosok yang kini tertidur dengan posisi sangat tidak nyaman.
Niat awal Adit ingin memindahkan Dhea, tapi melihat kelopak mata bulat itu mulai terbuka membuat dia mengurungkan niat.
"Apa aku membangunkanmu?" tanya Adit.
Dhea menggeleng dan tersenyum.
"Tidak, aku memang sensitif suara. Apa kamu ingin pulang?" Gadis itu menatap sayu setengah mengantuk ke arah Adit
"Iya, kamu tidak apa-apa, kan?" Adit menatap khawatir ke arah gadis itu.
"Aku rasa kamu melakukan hal buruk padaku. Jadi, aku tidak apa-apa," jawabnya sembari meluruskan kaki dan menyamankan posisi tidur.
Adit berdecak malas, dia mengambil selimut dan menyelimuti Dhea. Sebelum itu dia juga mengumpulkan beberapa sampah.
Laki-laki itu keluar apartemen Dhea dan menatap sekeliling. Lantai tempatnya itu sangat sepi, karena memang biaya sewa yang sangat mahal.
Dia masuk apartemennya sendiri dan membaringkan badan di atas pulau kapuk. Pikirannya berkelana jauh, memikirkan cara agar dia bisa menjadi normal.
Sampai kapan dia akan menjadi arwah seperti ini, bahkan sebenarnya dia tidak perlu memencet pin lagi saat memasuki unit apartemen. Dia bisa menembus tembok jika mau dan dia sedikit bersyukur karena masih duduk seperti manusia normal.
Tapi, semua itu sampai kapan? Dan juga bagaimana kelanjutan kariernya?
Adit menarik nafas dalam, serentak pula suara notifikasi ponsel yang cukup besar, hingga mengalihkan pandangan dan membuat lelaki itu bangkit. Matanya membesar seiring dengan pesan yang dia baca.
Manajer Thea
Kau memenang penghargaan lagi dan pihak penyelenggara memintamu untuk hadir, kuharap kau bisa hadir karena ini menyangkut nama baik agensi.