2 2. Morning Kiss

Kaki itu bergerak resah tidak tentu arah. Memang siapa yang akan tenang jika seseorang tengah menunggu dirimu di depan pintu seperti seorang penculik.

"Adit kamu akan mati di dalam apartemen ini," keluhnya.

Laki-laki mengintip melalui celah kecil di pintu , tapi Dhea masih tetap di sana. Berdiri dengan seragam sekolah yang masih melekat, blazer merah dengan rok pendek senada, jangan lupakan kemeja putih tulang dengan hiasan dasi kupu-kupu dikerahnya.

Adit menatap sebentar pergelangan tangannya dan menyeringai. Jam menunjukkan angka 6.30, menandakan gadis itu akan pergi dari depan pintu.

Seperti yang diharapkan Adit, Dhea sudah hilang dari pandangan. Dengan percaya diri dia membuka pintu dan mematung saat kecupan ringan mendarat di pipi tirusnya.

"Selamat pagi, Kak Adit. Tebakanku tidak meleset tentang dirimu, maka dari itu aku hilang dari hadapanmu. Karena jika aku masih di tempat yang sama kecil kemungkinan Kaka akan keluar , dan satu lagi. Terima kasih untuk morning kiss tadi," ucap Dhea bersemangat, hingga kedua matanya menyipit indah membentuk bulan sabit.

Tersentak Adit, pandangannya beralih ke Dhea yang sudah berlari jauh. Tangannya menyentuh bekas kecupan itu dan Adit menggosoknya kasar, seakan itu adalah kotoran.

Berbeda dengan Adit yang terlihat sangat tertekan, Dhea malah menampakkan senyum merekah.

"Berhentilah tersenyum seperti orang idiot atau semua orang akan takut," kata Tina yang baru datang.

"Aku tidak bisa berhenti tersenyum," jawabnya, sembari merangkul bahu Tina.

Walau tingkahnya sedikit absurd, tapi Dhea termasuk jajaran siswi populer, hingga banyak siswa yang mendambakan dia.

"Kenapa kau terlihat sangat bahagia? Bukankah idolamu baru saja tiada," tanya Tina setengah mengejek.

"Sialan, idolaku masih hidup hanya saja sedang hiatus, bukan mati!" Tina tertawa terbahak-bahak mendengar umpatan Dhea.

Dari dulu Dhea sosok gadis yang sulit dipancing emosinya, tapi semua berubah sejak Adit merilis album pertama.

"Kau bertingkah seakan dia sudah tiada, Bodoh!" Dhea yang kesal mendorong Tina ke loker belakang dan berlanjut membuka lokernya sendiri.

"Terima kasih kau sudah mendorongku," kata Tina diiringi tatapan sebal.

"Hen— " Seketika Dhea tidak melanjutkan ucapannya, saat banyak coklat yang keluar dari loker.

Bukan dia tidak suka coklat, hanya saja ini terlalu berlebihan. Dhea menatap lurus, terlihat laki-laki tampan sedang sibuk bercengkerama dengan temannya.

"Pasti ini ulahnya," batin Dhea.

Dengan kesal Dhea mengambil beberapa coklat dan berjalan lurus ke depan. Tanpa aba-aba dia mendorong coklat itu ke dada laki-laki tersebut.

"Arga, hentikan semua ini. Apa kamu tidak memiliki pekerjaan? Lebih baik kamu menyerah."

"Aku yang pertama kali datang dihidupmu dan sepertinya kamu cukup tahu bahwa tidak ada kata menyerah dikamusku, jadi jangan memaksa hal yang mustahil," ucapnya, sembari mendorong coklat-coklat tersebut kembali ke tangan Dhea dan berbalik badan pergi.

"Arga!" teriak Dhea.

"Singkirkan egomu dan terima saja dia. Lagipula Arga tidak kalah tampan," bisik Tina.

Dhea menatap nyalang ke arah Tina, lalu melempar coklat-coklat tersebut ke arahnya.

Gadis itu tahu jika Arga lelaki yang baik, tapi tingkahnya sedikit membuat Dhea naik pitam. Bagaimana tidak jika beberapa kali Arga memberikan coklat di dalam lokernya dengan jumlah yang tidak main-main, seperti hari ini.

Perlakuan itu akan terlihat manis dimata orang lain, akan tetapi Dhea takut. Dia takut jika kejadian dua tahun lalu terulang.

Kelas sangat ramai hari ini dan semua hanya membicarakan bagaimana Arga berjuang mendapatkan Dhea. Mata bulat itu mengedarkan pandangan, dengan kaki berjalan lurus ke bangku tengah.

"Dhea, berhenti keras kepala dan terimalah Adit. Dia laki-laki yang sabar, jika aku menjadi dia pasti sudah menyerah sejak dulu," kata gadis lain yang kebetulan duduk di bangku belakang Dhea.

"Andai saja bisa, pasti sudah kulakukan hal itu sejak lama, Hani," jawabnya.

Gadis yang dipanggil Hani mengangguk mengerti. Tidak lama Tina datang dengan nafas memburu, diikuti oleh guru pengajar di belakang.

"Apa kamu baru saja dikejar monster?" cibir Dhea, melihat wajah memerah sahabatnya.

Tina memajukan kedua tangan di depan dada, dengan posisi telapak terbuka, memberi isyarat agar dia bernafas sebentar.

"Lebih dari monster, aku melihat Arga pingsan saat berjalan di koridor." Sontak saja Dhea menatap Tina tidak percaya.

"Kamu tidak bercanda, kan?" tanyanya, dengan raut khawatir yang tampak jelas.

"Pergi saja ke UKS, jika aku berbohong pukul saja kepalaku."

Dhea mengulum bibir, jika Tina sudah seperti itu tidak mungkin berbohong.

"Aku akan ke UKS sekarang juga," bisiknya ke Tina.

Sebelum Tina merespons, Dhea lebih dulu mengangkat tangan dan meminta ijin ke UKS dengan alasan kepalanya pusing.

Dhea segera bangkit dan berjalan cepat saat guru memberikan ijin. Dengan tidak menyia-nyiakan kesempatan gadis itu mendobrak pintu UKS.

Hingga beberapa gadis memandang aneh ke arah Dhea.

"Arga, kamu tidak apa-apa?" tanya Dhea, sembari menerobos masuk, mengabaikan semua penggemar Arga yang berjejer rapi dengan tatapan mengintimidasi.

"Kamu ke sini? Bukankah ini waktunya jam pelajaran?" tanya Arga.

"Jawab pertanyaanku dengan jawaban, Bodoh, bukan malah pertanyaan," ketusnya.

"Aku tidak apa-apa, hanya pusing sedikit dan tiba-tiba gelap," jawab Arga.

Mata Arga memandang semua pergerakan Dhea, sembari tersenyum kecut berulang kali.

Arga sama sekali tidak membiarkan Dhea pergi, hingga bel pulang berbunyi. Dan kini dia berlari kencang di lobi apartemen, karena melihat siluet seseorang.

Gadis itu berhenti cepat saat di depan seseorang yang dia kejar dan mendongkak sedikit, hingga wajah dingin itu kembali terlihat.

"Kau menungguku?" tanya Dhea.

"Kuharap sekolah tidak membuatmu lebih bodoh dari kemarin."

"Kak Adit, kenapa kamu malu mengakui hal itu? Aku tahu kamu pasti menungguku," kata Dhea penuh kepercayaan diri.

Adit menaikkan sebelah alis, dia hanya keluar mengambil pesanan di lobi apartemen, tapi siapa sangka jika Dhea berlari mengejarnya.

"Aku tidak pernah menunggumu, jadi jangan bermimpi!" tegasnya.

"Dasar pemalu, aku akan mengejekmu nanti saat kamu menungguku," kata Dhea sembari berjalan mundur ke pintu apartemennya sendiri.

Sebelum masuk ke dalam unitnya, Dhea berlari ke depan memeluk Adit hingga berjingkat kaget.

Dhea memasuki apartemen dengan tersenyum manis, dalam benaknya hanya berisi cara-cara agar mendapatkan Adit.

Dhea bukan gadis yang gampang patah semangat, tapi dia juga bukan seseorang yang selalu kuat. Ada kala dia harus jatuh dan menangis sendiri.

Saat dia ingin beranjak ponselnya berdering, gadis itu mengangkat telepon dan seketika wajah Dhea berubah tidak suka.

[Berapa kali aku bilang bahwa itu kali berakhir dan jangan harap aku akan menurutimu lagi, Kak!]

Dhea memejamkan mt sejenak, lalu mematikan sambungan telepon sepihak dan melempar ponsel sembarang arah. Persetan jika orang yang meneleponnya marah.

"Aku tidak akan pernah memulai lagi sesuatu yang ingin kuakhiri," gumamnya.

avataravatar
Next chapter