webnovel

Tabib Pendamping Pangeran Arya

Nalini memejamkan mata dan berkata seperti orang yang mabuk. "Apa Pangeran tak bisa membuatnya jadi lebih mudah lagi bagiku?"

Arya Dhipa meletakkan batu kapur dan duduk di depan Nalini. Dipandanginya wajah gadis yang sedang terpenjam itu tanpa ia menyadarinya. Senyum kecil menyembul dari sudut bibirnya.

Nalini masih memejamkan mata seraya menggeleng-gelengkan kepala. Ia merasa pusing sekali dengan semua pelajaran dari Arya Dhipa. Ia tahu pelajaran membaca itu tak mudah tapi tak dikira akan sesukar itu.

Mereka terdiam cukup lama. Arya Dhipa pun masih diam saja di depan wajah Nalini. Diamatinya sebingkai wajah cantik dan alami di depannya. Saat cemberut dan mengeluh raut wajahnya terlihat makin menggemaskan.

Nalini perlahan membuka matanya. Alangkah terkejutnya ia saat melihat Arya Dhipa tepat di depan wajahnya. Matanya membeliak dan buru-buru menarik kepalanya ke belakang.

Namun, Arya Dhipa buru-buru memegang kepalanya dan menyuruhnya diam. "Ssst, diamlah!" ujarnya serasa merapikan rambut Nalini yang acak-acakan. Beberapa helai anak rambut menjuntai tak rapi.

Jantung Nalini seketika berpacu dengan kencang. Ia takut bukan main ada yang melihat mereka begitu dekat.

Syukurlah, hal itu hanya sekejap saja. Arya Dhipa berdehem, kembali ke posisi duduknya dan bersikap datar seperti semula.

"Tak usah kau jambak rambutmu. Nanti orang mengira aku menyiksamu. Padahal kau tahu aku mengajarimu," ucap Arya Dhipa.

Pemuda itu kemudian kembali ke papan tulis dan bersiap menjelaskan lagi pada Nalini. "Mulailah dari yang mudah dulu. Aku tahu kau tak bisa menghafal semua dalam sehari."

Nalini pun kembali menata duduknya. Beberapa kali matanya mengerjap. "Ajari hamba cara membaca yang paling mudah."

Arya Dhipa menunjuk setumpuk daun lontar yang ada di atas meja Nalini. Daun pipih dan panjang yang sudah dikeringkan itu tertata dengan rapi. Sebuah pena berujung lancip dan larutan tinta hitam dalam wadah kecil diletakkan disampingnya.

"Menulis?" tanya Nalini.

Arya Dhipa mengangguk. "Belajar membaca harus dengan menulis. Dengan begitu kau akan mudah menghafalkan aksara," jelasnya.

Wajah Arya Dhipa memberi penjelasan dengan serius. Pemuda itu terlihat semakin mempesona di mata Nalini. Paduan kecerdasan dan ketampanan, idaman semua gadis di kotapraja Lokapala. Betapa beruntungnya ia bisa dekat dengannya. Nalini menyembunyikan senyumnya.

"Baiklah. Aku akan menulis," ucap Nalini seraya memegang pena dan mulai mencelupkannya ke dalam larutan tinta.

Tangan gadis itu masih kaku. Pena berlumuran tinta dan jatuh berceceran. Ia buru-buru ingin mengelapnya tapi dicegah oleh Arya.

Sang Pangeran mengambil kain lap kecil dan menghapus ceceran tinta di meja.

"Jangan menghapus tinta dengan tanganmu. Tinta ini sangat lengket dan sukar dibersihkan. Hapus saja dengan kain seperti ini," ujarnya.

"Maaf, Pangeran. Tangan saya kaku. Sulit sekali memegang pena. Rasa-rasanya pena ini mau lepas dari tangan saya," keluh Nalini. Jemarinya masih berusaha memegang pena dengan luwes agar tak lepas.

Aray Dhipa menarik nafas. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri sebelum perlahan memegang tangan Nalini dan membetulkan posisinya jemarinya.

"Cukup kau pegang dengan jari telunjuk dan jari tengah, biarkan jari manis dan kelingking sebagai penopang. Tak perlu semuanya ditekuk kaku," terang Arya.

Nalini mengikuti perintah Arya Dhipa. Benar saja. Pena itu kini terasa lebih mudah dipegang dan menempel erat di jemarinya.

Arya Dhipa masih memegang tangan gadis muda itu, ia lalu mencelupkan ujung pena yang tajam ke dalam larutan tinta. "Tahan sebentar sebelum diangkat, biarkan tinta menempel di ujung pena. Angkat sedikit agar ujungnya siap digunakan untuk menulis."

Nalini kembali mengangguk. Ia kemudian mula menorehkan pena pada selembar daun lontar. Awal mulanya masih terasa sangat sulit tapi setelah beberapa kali mencoba, gerakan tangannya mulai lincah.

"Sepertinya mudah, Pangeran. Semua yang ada di papan itu sudah selesai saya tulis," kata Nalini dengan senang.

"Jangan keburu puas, kau baru bisa mengulang tulisan. Hafalkan dulu aksara itu, baru nanti kau bisa merangkainya menjadi tulisan yang bisa dibaca." Arya Dhipa kembali bersuara seperti seorang guru yang mendapati murid jumawa.

Nalini tersenyum meringis. Benar juga apa yang dikatakan Arya. Ia baru bisa mengingat beberapa bunyi dari huruf-huruf kawi yang ditulisnya.

"Aku akan terus menghafalnya, Pangeran. Percaya padaku, dalam sebulan ini aku akan bisa membaca dengan lancar." Nalini percaya diri mengatakan hal itu.

Namun, Arya Dhipa buru-buru menyelanya. "Sebulan? Terlalu lama. Dalam dua minggu ke depan kau harus menemaniku keliling kerajaan."

Nalini terkejut. Menemani Pangeran Arya keliling kerajaan? Apa ia tak salah dengar?

"Ma-maksud Pangeran apa? Aku tak mengerti," ucap Nalini. Kedua bola matanya membesar. Tatapannya lurus menunggu jawaban dari Arya.

"Iya, aku akan menugaskanmu untuk menjadi tabib pendampingku. Kerajaan ini masih berjuang mengatasi wabah. Apa kau tak mau?" tanya Arya Dhipa. Tatapan matanya berpusat pada sang murid.

Nalini menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Ia nyaris tak percaya dengan apa yang di dengarnya.

"Hah? Aku akan bertugas? Pangeran Arya percaya padaku? Aku baru belajar menjadi tabib, aku bahkan belum bisa menghafal semua jenis penyakit dan obatnya," ujar Nalini. Satu nafas berat dihembuskannya. Ia merasa Arya Dhipa sudah menaruh satu karung batu di atas kepalanya.

Arya Dhipa menanggapi ringan keluhan Nalini. "Aku yakin kamu bisa. Modal keberanianmu sudah cukup. Saat ini hanya mereka yang berani mengambil resiko yang mau berjuang di garis depan."

Nalini meringis mendengar pujian sekaligus ujian dari keponakan raja di depannya. Ia tahu kotapraja tak kehabisan orang pintar tapi kenapa mereka memilih dirinya?

"Tapi aku …"

"Sudahlah jangan banyak membantah. Ikuti saja perintahku. Kau aman menjalankan tugas bersamaku." Arya Dhipa mengerti kegundahan yang dirasakan Nalini.

"Pangeran tahu kalau seorang tabib gagal melakukan tugas, ia akan …. dihukum?" tanya Nalini takut-takut.

Arya Dhipa tersenyum bijak. "Aku tahu. Karena itulah, tak banyak tabib yang bersedia mengatasi wabah ini. Bahkan Pamanda Raja sampai harus turun ke bawah dan melihat langsung akar masalah."

Nalini masih tampak kebingungan dan tak tahu harus melakukan apa dengan semua kejutan dari Arya Dhipa. Ia juga teringat pada ibunya yang masih berada di Ndalem Kaputren.

"Pangeran, apa nanti aku bisa selamat? Bagaimana dengan ibuku yang masih berada di Ndalem Kaputren sana?" Masih banyak pertanyaan yang muncul di benak Nalini.

"Apa kau tak percaya padaku? Aku akan mengatur semuanya dengan baik. Dan lagi, sebenarnya tugas utamamu hanya memastikan aku baik-baik saja selama bertugas nanti." Arya Dhipa menampilkan wajah memelas. Ia seperti benar-benar mengharap Nalini mau ikut bersamanya.

Nalini sedikit merengut mendengar penjelasan Arya. "Jadi, aku hanya bertugas di sampingmu? Aku pikir tugas berat menyembuhkan semua orang."

Kini giliran Arya Dhipa yang mengacak rambutnya. Kain ikat yang melingkar di atas kepalanya miring sedikit. Ternyata membujuk seorang Nalini tidaklah mudah.

"Tabib muda, dengarkan aku. Dalam perjalananku nanti, aku membawa banyak pasukan dan tabib. Di antara mereka, ada musuh-musuhku juga. Aku ingin memastikan orang yang di sampingku layak aku percayai. Dia harus bisa menjagaku agar tak celaka di perjalanan."

Nalini melongo mendengar perkataan Arya Dhipa. "Jadi, ada orang yang ingin mencelakai Pangeran?" ucap Nalini setengah ngeri. "Baik, baiklah, Pangeran Arya. Aku bersedia menolongmu," ucapnya cepat.

Arya Dhipa menelengkan kepalanya. Bibirnya melengkung ke atas seraya menatap gadis lugu di depannya itu. Kepalanya mengangguk-angguk kecil.

"Makanya, cepatlah bisa membaca. Kita akan menghadapi situasi yang sangat berbeda dan bisa membahayakan kita."

Nalini menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada. "Hamba siap menjalankan titah, Pangeran."

"Persiapkan dirimu dengan baik. Aku akan memberikan perintah selanjutnya," ucap Arya Dhipa menutup pertemuan itu dengan hati-hati.