Sebuah tepukan kecil di pundak mengagetkan Nalini. Ia buru-buru berbalik dan menyembunyikan buah sawo di belakang punggungnya. Dilihatnya beberapa emban senior berkacak pinggang dan mengerubunginya. Mata-mata mereka menatap curiga.
"Namanu, Nalini? Emban baru di sini?" tanya seorang emban yang bertubuh paling tinggi. Sikapnya sungguh arogan, membuat hati Nalini menciut.
Dua emban yang lain ikut mengintimasi. Pandangan dan gerak tubuhnya membuat Nalini takut. Gadis itu melihat mereka sekilas lalu buru-buru menunduk. "A-ampun, Mbakyu. Benar, nama saya Nalini."
"Ada urusan apa kamu ke sini?" tanya Emban yang berwajah runcing. Jelas dari tatapannya ia tak menyukai kehadiran Nalini di tempat itu.
"Aku di sini mau belajar ilmu pengobatan. Kanjeng Ratu Padma yang mengutus aku kemari," jawab Nalini. Gadis itu menyebut Ratu Padma agar emban-emban senior itu berpikir dua kali sebelum bersikap buruk padanya.
"Oalah, utusan Ratu Padma. Hmm, kamu kira mudah belajar pada tabib agung? Kamu harus dipelonco dulu," ucap Emban yang satunya. Dua temannya saling mengangguk dan merangsek maju, ingin mendorong Nalini.
"Aku dengar kamu datang diantar Pangeran Arya? Berani-beraninya kamu merebut calon suami Ndoro Putri kami," geram emban yang berwajah runcing.
Nalini terkejut mendengarnya. Dia baru datang beberapa jam yang lalu tapi seolah semua orang di tempat itu sudah bergosip tentang dia.
Tabib muda itu mulai gemetar. Kepalanya terasa pusing menghadapi ketiga emban sombong, apalagi perutnya kosong, belum makan sedari pagi.
"Maafkan aku. Aku sungguh tidak tahu. Kedatanganku ke sini benar-benar ingin belajar, tak ada urusan dengan yang lainnya," ucap Nalini membela diri.
Ketiga dayang tak memperdulikan ucapan Nalini. Mereka mengerubunginya dan meminta gadis itu menyerahkan buah sawo yang disembunyikannya.
Namun, Nalini menolak keras. Ia bukannya tidak mau berbagi tapi sikap kasar ketiganya membuatnya marah. Sayang Nalini kalah kekuatan. Ketiga emban itu terus merangseknya hingga ke sudut tembok pagar.
"Serahkan sawo itu. Kau tak berhak memakannya, itu milik Tuan Putri kami!" gertak emban yang gemuk. Ia mulai berusaha merebut buah itu dari genggaman tangan Nalini.
"Kumohon jangan! Ini pemberian Pangeran Arya, aku harus menghormatinya," pinta Nalini. Wajahnya kini sudah merah padam. Pandangannya tak lagi jernih, air mata mulai menutupi manik matanya.
Dayang berpostur tinggi tak sabar. Ia mendorong tubuh Nalini dengan kuat hingga membentur tembok. Gadis itu jatuh. Buah yang dipegangnya berhamburan.
"Ku-kumohon ... ampuni aku." Nalini mulai terisak, ia tak menyangka hari pertamanya di rumah tabib agung berubah menjadi perundungan baginya.
Ketiga emban tertawa puas. Mereka terus menyepak tubuh Nalini yang jatuh tak berdaya di depannya. "Kamu jangan macam-macam di sini. Kalau tidak, hidupmu tak akan akan aman. Tidur pun tak bisa nyenyak. Mengerti?"
Nalini cepat mengangguk. Ia berulangkali meminta pengampunan dari ketiga emban senior itu. Ketiganya terus tertawa hingga sebuah suara lembut tapi tegas membentak mereka. "Emban! Apa yang kalian lakukan?!"
Ketiganya serempak menoleh. Di belakang mereka sudah berdiri seorang perempuan setengah baya dengan tangan bersedekap. Tatap matanya marah dan galak.
Seperti kerupuk yang melempem, ketiga emban itu cepat-cepat membungkuk dan pergi dari tempat itu.
"Sungguh tidak sopan. Aku tidak tahu kenapa ketiga emban itu berubah jadi begajulan dan tak punya adat!" ujar perempuan itu dengan marah.
Ia membungkuk dan mengambil buah-buah sawo yang berhamburan di tanah. "Bangunlah. Mereka sudah pergi, tak akan berani mengganggumu lagi," ujarnya sembari mengulurkan buah-buah itu pada Nalini.
Nalini bangkit dan berulangkali mengucapkan terima kasih. "Maaf, Ndoro. Bolehkah saya tahu, siapa anda?" tanya Nalini.
Perempuan setengah baya itu tersenyum. Ia mengulurkan tangannya dengan ramah, mengajak bersalaman. Namun, Nalini justru takut. Ia buru-buru menangkupkan kedua tangan dan menghormat.
"Panggil saja aku, Radmila. Aku adik bungsu tabib agung. Tapi kami kurang akur." Nalini mengernyutkan alis. Perkenalan yang dirasa agak janggal bagi Nalini. Perempuan itu mengaku kurang akur dengan kakaknya sendiri?
"Ma-maaf, jadi Ibu Radmila adik dari tabib agung?" Nalini ingin menegaskan lagi maksud dari perempuan berkebaya hijau itu.
"Sshh, jangan panggil ibu. Aku belum menikah," ujar perempuan itu sedikit merajuk. Bibirnya mengerucut lucu.
Nalini buru-buru meminta maaf. Dalam hatinya ia sedikit terkejut mengetahui ada perempuan setengah baya yang belum memiliki pasangan. Padahal sosok wanita yang berdiri di depannya itu termasuk cantik dan pasti kaya raya.
"Khusus untuk kamu, panggil saja aku Mbakyu Radmila." Perempuan itu tersenyum lebar pada Nalini. Entah mengapa, dia merasa senang menemukan Nalini di rumah yang besar ini.
"Baik, Mbakyu Radmila." Nalini menyambut keramahan perempuan itu dengan suka cita. Seakan menemukan perisai kuat yang bisa melindunginya dari bahaya.
"Namamu siapa? Aku dengar kamu diutus Ratu Padma dari Ndalem Kaputren?" tanya Radmila penuh minat. Ia mengajak Nalini untuk duduk di teras bangunan besar itu.
"Benar, Mbakyu Mila. Namaku Nalini, aku calon tabib yang harus banyak belajar," ucap Nalini memperkenalkan diri. Berdekatan dengan Radmila, Nalini merasa nyaman layaknya bertemu sahabat lama.
Radmila mengamati Nalini dengan seksama. Sebersit kekaguman muncul dari dalam hatinya. "Jika kau benar ingin menjadi seorang tabib, kupastikan kamu akan jadi tabib tercantik di kotapraja ini," ucap Radmila. Pujian yang dirasakan berlebihan dan membuat Nalini tak enak.
"Maaf, Mbakyu. Janganlah berlebihan memuji, saya hanya gadis dari dusun," elak Nalini. Gadis itu mengerutkan dahi dan berpura-pura cemberut.
"Itu kenyataan, Nalini. Sebabnya karena semua tabib yang aku kenal sudah tua-tua, hahaha." Radmila tertawa berderai. Ia senang bisa mengerjai teman barunya itu.
Ganti Nalini yang kini benar-benar cemberut mendengarnya. "Mbakyu Mila ini ada-ada saja."
Nalini lalu mengulurkan buah sawo pada Radmila. "Mbakyu Mila mau? Aku tak mungkin sanggup menghabiskan semua buah ini."
Radmila menerimanya sebuah dan tersenyum manis. "Terima kasih. Pohon sawo kakakku memang sedang musim berbuah. Seharusnya semua abdi dalem turut menikmatinya. tapi sayang, anak manja itu menyimpannya sendiri. Akupun hanya kebagian sedikit."
"Anak manja? Siapa yang dimaksud, Mbakyu?"
Radmila memberi isyarat pada Nalini agar mendekat. Ia berkata pelan, takut ada yang menguping. "Ndoro-Putri-Bintari."
Nalini tidak terlalu kaget mendengar nama itu. Ia bahkan sudah menduganya. Kesan tak ramah ia terima dari Bintari saat bertemu tadi pagi.
"Kamu sudah ketemu dia?" tanya Radmila sembari membuang biji sawo. Ia berasal dari keluarga bangsawan tapi anehnya tak canggung sama sekali bergosip dengan Nalini.
"Iya, Mbakyu Mila. Aku sudah bertemu dengan Putri Bintari tadi pagi tapi dia hanya mau berbicara dengan Pangeran Arya." Nalini merasakan hatinya seperti dicubit mengingat genitnya Bintari pada Arya.
Radmila menepuk tangan Nalini pelan. "Kamu sabar ya di sini. Orang-orang itu merasa dirinya lebih mulia karena tingginya kasta."
Nalini tertarik dengan perkataan Radmila. Baru kali ini ia mendengar seorang bangsawan tak menyukai derajatnya sendiri.
"Bukankah kaum bangsawan memang pantas dihormati dan dimuliakan, Mbakyu?"
Radmila menggeleng keras. Wajahnya berubah jadi lebih serius. "Tidak semua, Nalini. Bahkan kelakuan mereka bisa lebih rendah dari binatang, tak bermoral dan tak beradab."
Nalini melongo mendengar hal itu. Buru-buru ia memberi isyarat agar Radmila menutup mulutnya.
"Sstt, Mbakyu jangan bicara begitu. Kalau terdengar mereka kita bisa dihukum."
Radmila menatap Nalini jenaka. Tawanya berderai. "Aku tidak takut, Nalini."
Mata Nalini melebar. Sosok perempuan nyentrik yang baru dikenalnya itu benar-benar diluar dugaan.