Soa segera masuk ke dalam mobilnya. Tangisnya langsung pecah, tersedu-sedu menelan pil pahit yang diberikan oleh Zoe dan Dori. Perasaan merasa sendiri mulai menghantui batinnya. Andel, Zoe, Dori, satu persatu mengambil jarak jauh dengan alasan yang mereka bilang untuk kebaikan tetapi sangat sulit diterima.
“Kenapa kalian tidak mengerti perasaanku!” batin Soa lagi. Lalu menghabiskan sisa tangisnya yang masih ingin tumpah.
Sekotak tisu datang menghampiri. Diberi dari tangan seorang pria yang duduk siaga di depan kemudi.
“Terima kasih,” ujar Soa dengan suara serak sambil menarik beberapa lembar tisu. “Ayo kita pergi saja dari sini, Daniel,” lanjut Soa lirih.
“Baiklah, tapi hentikan dulu air matamu.”
Soa tersentak. Ia pikir bisa-bisanya Daniel berkata seperti antara teman begitu. Suara beratnya juga terdengar berbeda. Sesaat kemudian si pria di balik kemudi menoleh menunjukkan wajahnya kepada Soa.
“Hah! Tuan besar?!”
“Ya, kau benar.”
“Di mana Daniel?” Soa memandangi kanan kirinya. Namun area parkir yang dilihatnya dari dalam mobil justru malah sepi.
“Sudah pergi. Aku sendiri yang akan mengemudikan mobil ini.”
“Jadi kau sedang membutuhkan mobil ini. Baiklah – aku akan turun.” Soa langsung menarik kait pintu mobil.
“Tunggu! Bukan itu maksudku. Aku ingin kau ikut denganku.”
Sejenak Soa terdiam kebingungan. “Ke mana? Bertemu wartawan lagi?” tanyanya kemudian.
“Tidak. Ke suatu tempat berbeda.”
Wajah Soa langsung berubah takut. “Apakah – itu adalah tempat pengorbananku?” kalimatnya terdengar terhambat.
“Ha?”
Soa mulai bertanya tak karuan. “Apakah hari ini waktunya, Tuan? Apakah aku akan mati hari ini? Aku – aku belum pamit pada teman-temanku. Bisakah tunggu sampai hubungan kami membaik? Ken! Ya ampun Ken! Aku juga harus pamit padanya. Gensi? Oh ya! Aku harus mendengar permintaan maafnya padaku dulu! Ba – bagaimana tempat itu? Apakah sangat menyeramkan seperti di film-film horor? Apakah aku akan tidur di atas altar dengan orang-orang menggunakan jubah di sekelilingku?”
Kalevi mendesah lelah seraya geleng-geleng kepala. “Kau betul-betul gadis bodoh.”
“Apa aku keliru?”
“Jelas kau keliru! Aku tidak sedang mengajakmu ke tempat yang kau pikirkan!”
“Benarkah?”
“Haih, kau sulit sekali dibuat percaya. Sekarang pindahlah ke depan. Aku terlalu keren untuk dianggap orang-orang sebagai sopirmu.”
Soa tertegun oleh perkataan pria di depannya. Benaknya bertanya-tanya, apakah ia harus mempercayai Kalevi? Pergi berdua bersamanya, tanpa ia tahu ke mana mobil mereka mengarah.
Kalevi melirik Soa dari spion tengah mobil. “Berapa lama lagi kau akan berpikir?”
Ucapan Kalevi langsung mengagetkan Soa. Meski masih ragu, namun akhirnya ia keluar lalu berpindah duduk di samping Kalevi.
“Pasang sabuk pengamanmu,” tandas Kalevi. Lalu segera menjalankan mobil itu untuk membawa Soa bersama keraguannya.
***
Di sisi lain. Felix mengajak Edzard dan Gensi untuk melakukan pertemuan khusus. Pertemuan yang sengaja Felix buat untuk membahas hal rahasia yang tidak boleh diketahui siapa pun terutama Soa. Bahkan ia sampai rela menyewa sebuah kamar di hotel hanya untuk berbicara kepada anak dan menantunya.
Walaupun sempat terheran-heran dengan apa yang dilakukan ayahnya, tetapi Gensi tetap datang bersama Edzard untuk bisa tahu apa yang ayahnya inginkan.
Gensi dan Edzard datang pukul empat sore. Tepat sepuluh menit sebelumnya Felix sudah lebih dulu sampai di sana. Ia terlihat duduk dengan secangkir kopinya pada coffe table yang tersedia di dalam kamar mewah itu. Penampilannya sekarang jauh terlihat berkelas. Semenjak jumlah restorannya bertambah, Felix lebih sering menggunakan setelan jas bermerek, ia sudah menanggalkan kemeja usang miliknya yang dulu selalu menemaninya ke mana-mana.
Gensi dan suaminya menyapa seperti biasa. Dua cangkir kopi juga sudah Felix siapkan. Cappucino untuk Gensi dan Espresso untuk Edzard. Tak ada yang aneh, tak ada yang perlu dicurigai. Akan tetapi bukan berarti suasana di antara mereka lumpuh dari keseriusan.
“Ambillah ini,” ucap Felix seraya meletakkan beberapa brosur di hadapan Gensi dan Edzard.
Sepasang suami istri itu langsung memasang mata. Dilihat dari tampilannya brosur itu berisi tentang informasi penjualan rumah mewah. Edzard yang tak sabar langsung meraihnya dari atas meja. Baru setelahnya Gensi menyusul ikut mengambil satu dari tangan Edzard.
“Untuk apa Ayah memberikan ini pada kami?” tanya Edzard sambil membuka tiap lembarannya. Gambar-gambar rumah itu memang sangat menggoda mata.
“Apa Ayah akan membeli rumah?” tambah Gensi.
“Ya. Ayah akan membeli rumah untuk kalian.”
Gensi dan Edzard saling melempar pandangan tak percaya.
“Sebagai hasil kerja keras kalian yang sudah banyak membantu Ayah. Maka Ayah akan memberikan kalian rumah yang lebih besar dari yang kalian tempati sekarang.” Edzard dan Gensi langsung saja ternganga mendengarnya. “Pilihlah yang mana yang kalian suka. Jangan terus-terusan menumpang di rumah orangtua. Kalian harus merasakan mengatur rumah sendiri.”
“Benarkah Ayah?” senyum Gensi langsung merekah. Memisahkan diri dari ibu mertua yang cerewet dan berkuasa di rumah memang sudah menjadi impiannya sejak lama. Dan ia juga senang, karena itu berarti ia tidak perlu lagi dibanding-bandingkan dengan adik perempuan Edzard yang lebih jago memasak di rumah.
Edzard mencoba memastikan. “Tapi semua yang ada di sini adalah rumah-rumah mewah di Melvin yang pasti sangat mahal harganya, Ayah.”
“Tak masalah, Nak. Kalian pantas mendapatkannya.”
Gensi dan Edzard seketika berseru kegirangan. Mereka begitu bersemangat, dan berniat membawa brosur-brosur itu pulang untuk memilihnya bersama-sama di rumah.
“Terima kasih, Ayah,” ucap Gensi dengan mata berkaca-kaca. Lalu disusul Edzard yang juga mengucapkan hal yang sama.
Felix tersenyum simpul, dalam hati turut senang melihat kepuasan di kedua mata anak dan menantunya. Sampai tibalah Felix bertanya pada putri dan menantunya yang membuat mereka terbelalak mata lagi.
“Apa kalian ingin memiliki lebih banyak?”
Edzar yang baru saja mulai menyeruput kopinya sampai lupa diri bahwa minuman itu masih panas terasa. Bibir atasnya hampir-hampir melepuh, tertusuk oleh air mendidih. Buru-buru Gensi memberikan suaminya tisu untuk membersihkan kopi yang tercecer di mulut dan kemejanya.
“A – apa Ayah bilang?” Edzard terlihat sangat tertarik menelisik lebih jauh.
“Aku bertanya serius pada kalian,” sambung Felix. “Apa kalian ingin memiliki lebih banyak?”
“Lebih banyak?” teliti Gensi.
“Ya. Villa, hotel, resort, apartemen, supermarket, mobil mewah, apa pun yang kalian inginkan.”
Edzard dan Gensi yang lugu saling melempar pandangan Bingung lagi.
“Te – tentu, Ayah. Tapi bagaimana kami bisa mendapatkannya? Apa maksud Ayah, kami harus bekerja lebih keras dari ini? Melihat omset restoran, tentu membutuhkan waktu yang lebih lama buat Ayah bisa memberikan itu semua pada kami,” jawab Edzard kembali pada Felix. Gensi menambahkan dengan mengangguk-angguk penuh keyakinan.
Mendengar jawaban putri dan menantunya Felix pun tersenyum puas. “Kalian memang sangat mirip denganku yang dulu,” ujarnya penuh bangga. “Yang ada dalam pikiran kalian hanya bagaimana bekerja keras dan bekerja keras. Sampai-sampai kalian tak melihat bahwa ada jalan pintas yang tersedia.”
“Maksud Ayah?” Gensi masih jauh dari mengerti. “Jalan pintas apa yang Ayah maksud?”
Tatapan Felix terlihat sangat penuh keyakinan. Kepercayaan dirinya yang besar pun memancar kuat di sana.
“Ayo, Nak! Ikutlah dengan Ayah untuk melewati jalan pintas itu. Bergabunglah dengan keluarga Jorell dan berjanji setia kepada Raja Grazian.”