webnovel

Metamorfosa Cinta

Mereka telah membuat janji untuk bertemu dan menjalin hubungan yang lebih serius. Mereka begitu yakin bahwa 2 tahun itu adalah waktu yang sangat singkat. Mereka akan menjaga hati mereka untuk memenuhi janji itu. Jika salah satu mengingkari, mereka berjanji tidak akan menanyakan alasan apapun dari salah satu yang ingkar. Janji antar dua sejoli, Namira dan Jaelani. Dua tahun berlalu begitu cepat. Janji dari dua tahun yang lalu itu kini adalah waktunya. Pertemuan di tempat awal mereka bertemu dulu. Namun, salah satu telah mengingkari janji. Namira tidak datang saat itu, meninggalkan Jaelani yang menunggu dalam kesendirian. Entah siapa yang salah. Yang jelas, seterusnya mereka akan hidup dalam kesalahpahaman. Tak ada yang mau minta maaf lebih dulu. Jaelani juga tak berani menanyakan kenapa Namira tidak datang memenuhi janji. Mereka sudah bahagia dengan kehidupan yang mereka pilih masing-masing. Namun, pertemuan kembali setelah beberapa tahun membuat perasaan cinta mereka kembali membuncah. Di saat itu juga sifat buaya Jaelani muncul. Dia ingin memiliki lagi Namira, tanpa menyakiti istrinya? Dapatkan Kang Jae menentukan pilihan yang tepat?

Mijun_123 · 现实
分數不夠
292 Chs

Mulai Penyelidikan

Satu-satunya cara, aku harus ketiga orang itu. Dan yang pertama adalah yang paling tidak mungkin. Orang yang menelepon ambulance. Baiklah, aku tahu orang itu. Dia adalah sapah satu tetangga Namira.

Apa kalian menanyakan dari mana aku tahu banyak bahkan tentang Namira? Benar, aku memang sering main ke tempat tinggal Namira. Tentu saja tidaj sendiri. Aku membawa Jeje kalau tidak ya Jia biasanya.

"Selamat pagi, Pak Herman." Aku menyapa pria usia sekitar lima puluh tahunan itu.

"Selamat pagi juga. Silahkan masuk, Jae!"

Aku tersenyum tipis. Tak hanya ada Pak Herman saja, ternyata satu perempuan juga ada.

"Dia...?"

"Dia putriku, namanya Ririn."

Bukan itu yang ingin kukatakan. Tentu saja aku tahu jika perempuan itu adalah putri Pak Herman, istri dari Gilang. Aku tadi ingin berkata, dia yang juga ada di lokasi kejadian selain mereka.

"Aku hanya ingin kejujuran. Apa hubungan Utami, korban yang jatuh itu dengan Gilang, suamimu?"

Melihat letak apartemen mereka semua yang saling berdekatan, aku curiga mereka semua sebenarnya punya andil besar dalam kecelakaan kemarin. Mana mungkin Namira melenyapkan seseorang, seperti tuduhan semua orang. Namira ku itu berhati malaikat, sungguh. Pasti ada yang sengaja menjebaknya.

"Janda Kembang Namira itu yang telah membunuh sahabatku, kenapa suamiku yang Anda tuduh?"

Ah jadi begitu ya? Aku mengerti sekarang. Ku lirik jari tangan kirinya, ada perban.

"Luka kena pisau, heh?" Tanyaku pada Ririn.

"Ba-bagai... iya, ini kena pisau."

Baiklah, kini aku tau motif dan trik pelaku. Jika kemarin aku berterimakasih pada ibu, kini mungkin aku akan berterimakasih pada Namira.

Terkadang gosipan perempuan membantu juga.

Aku keluar dari apartemen Pak Herman. Kemudian berjalan pelan di lorong apartemen. Mencari keberadaan Gilang, atau dapat kusebut juga sebagai menantu Pak Herman, suami Ririn juga.

Biasanya lelaki berusia sekitar dua puluh lima tahunan itu sering memberi makan burung-burung peliharaannya yang tergantung di ujung balkon sana.

Lebih daripada apartemen, sebenarnya tempat ini lebih cocok disebut rumah susun.

Saat ini, insting detektifku--seperti salah satu karakter di novelku--lagi-lagi mengatakan, suami Ririn itulah pelakunya.

Aku pernah tak sengaja mendengar obrolan Utami, nama korban kekarin, dan Namira. Utami mengadu pada Namira kalau Gilang selalu 'mengganggu'nya padahal memiliki istri yang bernama Ririn.

Jika benar dugaanku maka dia lah benar si pelaku.

***

Seperti yang kuprekdisikan, Gilang sedang memberi makan burung-burung peliharaannya yang tergantung di atas balkon, ujung lorong apartemen ini.

Gilang hanya memakai celana selutut dan kaus hitam berlengan pendek. Kita sering bertemu karena dia adalah tetangga Namira. Juga adalah tetangga Utami, korban meninggal kemarin. Kami juga sering mengopi bersama, meski tidak terlalu akrab. Warga yang tinggal di sini memang baik-baik.

Baiklah, kalian boleh mengiraku terlalu sering ke sini. Sehingga aku bahkan mengenal semua tetangga Namira. Tak dapat kupungkiri, aku memang sering melakukan itu. Setiap akhir pekan selama dua tahun terakhir ini, aku berkunjung ke apartemen Namira bersama salah satu anakku.

Aku langsung mengajak Gilang ke atap gedung ini, tempat kejadian perkara juga. Mungkin jika di sana akan lebih leluasa berbicara. Kami tidak peduli meskipun masih ada garis polisi di sana.

"Jadi, kenapa kau memanggilku kesini, Jae?"

Pertanyaan itu keluar dari mulut Gilang. Lelaki berambut ikal itu menatapku tanpa ekspresi yang berdiri tepat di depan pagar pembatas di rooftop apartement.

Aku mengambil nafas sejenak, memasang wajah serius.

"Jadi kau menuduhku sebagai pelakunya?" tanya Gilang datar.

Bingo! Aku belum menuduhnya, tapi dia sudah tau aku akan mengatakan dia lah pelakunya.

Bodoh! Atau memang sengaja? Entahlah.

Aku mengangguk.

"Kau memanglah pelakunya, Gilang."

Dia memandangku dengan tatapan menantang. Perlahan, kedua tangannya terangkat hingga melipat di depan dada.

"Bagaimana bisa aku menjatuhkan Utami? Aku tidak berada di atap saat Utami jatuh. Lagipula, bukankah yang menjatuhkan Utami adalah Namira, janda yang kau taksir itu?"

Aku mengernyit. Sepertinya ada yang salah dengan perkataannya barusan.

Bersambung ...