Saat pagi, Emma terbangun dan beranjak dari tempat tidur. Dia segera keluar kamar menuju kamar mandi di dekat dapur di.mana Amanda sedang mencuci beras di wastafel.
Uhukk ... Uhukkkk...
Amanda melirik ibunya ketika mendengar suara batuk. "Bu."
"Apa kamu akan kuliah hari ini?" tanya Emma sambil membuka pintu kamar mandi.
"Tidak Bu,"tanya Amanda lalu teringat Adriana yang saat ini berada di rumah dan akan bercerai. Dia khawatir ibunya akan semakin sedih mendengar bahwa putrinya akan bercerai.
."Kalau begitu kamu pergi ke toko, ibu masih pusing dan ingin istirahat."
"Ya, Bu."
Emma langsung masuk ke kamar mandi sementara Amanda melanjutkan aktivitasnya memasak nasi. Setelah menanak nasi, gadis itu memasak menu sarapan pagi ini. Dia berencana memasak omelette sosis karena itu favorit Adriana dan Evan.
___
Adriana menggeliat ketika merasakan tangan kecil memainkan hidungnya, bahkan memaksa matanya untuk terbuka. Dia tersenyum saat terbangun dan melihat tangan kecil itu adalah tangan anaknya yang kini sedang duduk sambil berusaha membangunkannya dengan membuka matanya secara paksa.
"Ma, minta susu," seru Evan sambil merintih sambil menepuk-nepuk dada ibunya.
"Susu? Mama belum beli susu, Sayang, kita di rumah nenek dan susu yang biasa kamu minum ada di rumah papa," kata Adriana sambil duduk.
"Kalau begitu kita pulang!" seru Evan dengan suara melengking, dan masih tidak bisa menducap huruf "R".
Adriana menghela nafas pada putranya yang ingin berada di rumah ayahnya sementara mereka akan bercerai.
"Apakah ini awal akibat dari kesalahan ku karena aku meminta cerai sedangkan anakku ingin kamu tetap bersama?" pikirannya dipenuhi dengan keraguan.
Dret ... Dret ....
Adriana melirik ponselnya yang bergetar lalu meraihnya dan melihat ada pesan masuk melalui WhatsApp. Dia membuka pesan tersebut dan ternyata itu adalah pesan berupa foto.
"Sial, apa gunanya mengirim foto menjijikkan ini?" Adriana terkekeh kesal menatap foto Mark yang sedang tidur bertelanjang dada sambil dipeluk oleh Maura yang tersenyum menatap ke arah kamera. Seketika Adriana melemparkan ponsel-nya ke segala arah. hem, hati wanita mana pun akan kesal jika melihat foto mesra suaminya dengan wanita lain, itulah bagaimana perasaan Adriana.
"Kamu pipis dulu, setelah itu mama akan buatkan teh," kata Adriana sambil mengajak Evan turun dari ranjang.
."Tidak mau minum teh!" Evan menatap ibunya dan dengan enggan turun dari tempat tidur.
"Kalau begitu tidak usah minum," kata Adriana lalu turun dari ranjang sendirian dan membiarkan anaknya marah. wanita itu sedang kesal dan tidak bisa menuruti semua keinginan anaknya, karena mini market yang menjual susu cukup jauh dari rumah itu.
Adriana berjalan keluar kamar menuju dapur di seberang ruang tamu yang ada TV, lemari, dan beberapa foto dirinya dan Amanda tergantung rapi di dinding. Ada juga foto dirinya setelah pemberkatan di gereja bersama Mark, dia langsung mengambil foto itu dan menyimpannya di lemari.
"Pernikahan ini akan segera berakhir," gumam Adriana sambil meletakkan foto itu ke dalam lemari, lalu lanjutkan berjalan menuju dapur.
Sesampainya di dapur, Adriana melihat Amanda sedang memasak, sedangkan ibunya sedang minum teh di kursi meja makan.
"Bu." Adriana menyapa ibunya.
"Kamu di sini, kapan kamu datang?" tanya Emma dengan sedikit terkejut, karena saat Adriana datang, dia sudah tidur.
"Tadi malam aku datang, Bu," jawab Adriana dengan lesu, lalu duduk di kursi meja makan menghadap ke arah ibunya.
"Di mana Evan dan Mark, apakah mereka masih tidur?" Emma bertanya, tersenyum mengingat cucunya yang menggemaskan dan tampan.
"Mama nakal!" seru Evan yang baru saja tiba sambil cemberut menatap ibu dan neneknya yang sedang mengobrol. hem, sepertinya bocah itu tidak terima ditinggal sendirian di kamar.
"Salahmu sendiri tidak mau bangun," kata Adriana dengan tatapan sinis ke arah putranya yang masih marah. Dia segera bangkit dari kursi dan mendekati anaknya. "Ayo pergi ke kamar mandi, cuci muka, dan buang air kecil."
"Aku minta susu, Ma, Pokoknya minta susu!" seru Evan dengan sedikit berteriak.
Melihat cucunya yang meminta susu, Emma langsung berkata, "Nenek akan meminta aunty Amanda untuk membuatnya. Sekarang, Evan ke kamar mandi dulu."
Evan hanya menanggapi dengan membuang muka dan berjalan menuju kamar mandi diikuti oleh ibunya. Amanda yang sedang memasak menghadang keponakannya yang sedang kesal itu.
"Kamu tidak boleh lewat" seru Amanda sambil tersenyum, menundukkan kepalanya, dan merentangkan tangannya.
"Aunty, jangan halangi aku, aku akan harus pipis!" seru Evan, semakin kesal.
"Cium dulu!" Amanda berjongkok menghadap wajah Evan yang menggemaskan.
Adriana melirik masakan Amanda dan berinisiatif untuk mematikan kompor agar tidak gosong, karena si juru masak bercanda.
"Tidak mau, aunty bau!" Evan memalingkan wajahnya sambil bersendekap tangan.
"Wow, padahal kamu yang masih bau. Kalau begitu aunty tidak akan membeli susu untukmu." Amanda juga juga memalingkan wajahnya.
Melihat bibinya terlihat marah dan mengancam untuk tidak membelikan susu, Evan langsung menatap wajah bibinya dan mencium pipinya. "Aku sudah mencium, tapi nanti Aunty harus beli susu untukku."
Adriana tersenyum dan melirik putranya yang menggemaskan. "Biarkan dia buang air kecil dulu, Amanda," katanya.
Amanda tersenyum dan mencium keponakannya lagi, lalu segera bangkit kembali berdiri dengan tegak. Dia lanjut memasak sementara keponakannya berjalan ke kamar mandi bersama ibunya.
Emma segera meminta Amanda untuk membelikan susu untuk Evan setelah dia selesai memasak. Adriana yang baru saja keluar dari kamar mandi menghampiri ibunya dan kembali duduk di kursi meja makan sementara Evan bermain di ruang tamu yang tersedia beberapa mainannya.
"Apa ibu sakit?" tanya Adriana menatap ibunya yang tampak pucat dan batuk beberapa kali.
"Hanya pilek dan batuk, Adriana," jawab Emma kemudian menghela napas.
"Kenapa Mark belum bangun? Dia biasanya tidak bangun terlalu siang kalau menginap di sini."
Adriana menghela napas putus asa, karena ibunya tidak tahu bahwa dia tidak datang bersama suaminya. "Mark tidak ikut ke sinida, Bu," jawabnya.
"Mengapa? biasanya, kamu selalu bersamanya." Emma menatap curiga ke arah Adriana, yang sekarang menundukkan wajahnya.
"Bu, maafkan aku, karena Aku tidak bisa menjaga keutuhan rumah tangga ku dan tidak bisa menjadi istri yang baik," kata Adriana dengan lesu, menatap jari-jarinya di atas meja, lalu menatap ibunya yang tampak khawatir.
"Kenapa kamu mengatakan itu Adriana, apa ada masalah?" tanya Emma dengan heran.
"Kita akan bercerai, Bu," kata Adriana dengan terpaksa, karena baginya tidak ada yang perlu disembunyikan dari rumah tangganya yang berada dalam ambang kehancuran.
Emma menatap putrinya dalam diam seolah-olah dia tidak percaya dengan apa yang dia dengar. "Kenapa cerai? Tidakkah kalian berpikir tentang bagaimana hal itu akan mempengaruhi Evan?"
"Bu, aku sudah berusaha untuk bertahan hidup bersamanya tapi ternyata dia mendua, dan itu sudah keputusanku karena adik ipar dan ibu mertuaku juga selalu tidak menyukaiku, bahkan tidak menganggap aku dan Evan sebagai anggota keluarga," kata Adriana dengan mata berkaca-kaca, merasa tidak ingin menambah beban ibunya yang sakit dengan menceritakan masalahnya, tapi jika dia terus memendamnya, itu hanya akan menjadi beban pikiran dan membuatnya sakit.
Emma menghela nafas ketika dia ingat bahwa Margareth tidak baik kepada Adriana, bahkan pada dirinya sebagai besan. Dia tampak kasihan pada putrinya yang juga dikhianati oleh suaminya.
"Sabar, Sayang. Semua pasti ada jalan keluarnya, dan Tuhan pasti punya rencana yang lebih indah untukmu. Ibu tidak bisa memaksamu untuk bertahan jika masalahnya adalah tentang pengkhianatan, karena itu pasti sangat menyakitkan," kata Emma dengan sendu sambil membelai rambut Adriana dengan penuh kasih, sewajarnya seorang ibu yang sedih karena melihat putrinya disakiti.