webnovel

Memperdebatkan Adriana

Adriana masih sulit memejamkan mata, bahkan terkadang masih terisak mengingat kejadian malam ini.

"Kamu hanya bayangan Maura."

Hanya kata-kata itu yang seakan bergema di telinganya. kata itu seakan mampu merobek hatinya yang semakin rapuh karena tak ada lagi landasan untuk membuatnya kuat.

Merenungi malam yang sepi, Adriana mendengarkan lagu Lana Del Rey yang berjudul "Born to die". lagu tersebut seolah mewakili perasaannya yang hancur lagi karena sebuah kesalahan melangkah dalam sebuah kisah cinta. Seperti jatuh ke lubang yang lebih dalam, setelah disakiti oleh Jack dan Zach, dia malah semakin terluka karena Mark jauh lebih parah menyakitinya.

Drett ... dret ....

Tiba-tiba musik yang diputar di ponselnya berhenti karena getaran panggilan masuk dari Zach. Dia menatap malas ke benda canggih berwarna gold itu, dan memilih untuk mengabaikan panggilan yang masuk.

'Tidak perlu berlagak peduli, semua orang hanya menaruh cinta palsu, harapan palsu, dan aku hanya wanita bodoh bagimu!' Pikir Adriana sambil menatap langit-langit kamarnya yang jauh dari kesan mewah. Ruangan itu hanya seperempat ukuran kamar Mark. Hanya ada satu ranjang medium size, lemari pakaian dan meja rias, bahkan tidak ada kamar mandi khusus di sana.

"Mamma," panggil Evan ketika dia menyadari ibunya tidak tidur dan mendengarnya menangis.

"Tidurlah, Sayang. Malam ini dan selamanya kita akan di sini, di rumah nenek," kata Adriana lalu memeluk Evan dan mengusap-usap bahunya supaya tertidur kembali.

Drett ... drettt ....

Ponselnya berdering lagi. Dengan malas, Adriana pun menjawab panggilan yang ternyata dari Zach lagi.

"Apa? Apa yang kamu inginkan sehingga menelpon aku lagi? Apa kamu ingin menertawakan nasibku?" Adriana langsung bertanya dengan nada agak kasar.

"Aku mengkhawatirkanmu, Adriana," jawab Zach dari telepon.

"Tidak perlu mengkhawatirkan aku, karena aku juga tidak butuh belas kasihanmu!"

Adriana segera memutuskan sambungan telepon lalu membuang ponsepnya ke sembarang arah. Dia merasa kepalanya berdenyut-denyut karena sangat pusing akibat kejadian malam ini. Yang ada di pikirannya saat ini adalah Mark dan Maura, dia membenci dua nama itu.

___

Sesampainya di rumah, Dave masuk ke kamar Evan dengan langkah lambat. Pria itu merasa sedih karena tidak bisa lagi tidur dengan keponakan kesayangannya yang bahkan baru saja sembuh dari sakit.

Sesampainya di kamar keponakannya, Dave menemukan Mark disana sedang tertidur lelap memeluk guling kecil berwarna kuning.

"Bodoh!" seru Dave dengan marah.

Mendengar seseorang memakinya, Mark terbangun dan menoleh ke arah Dave yang kini menatapnya dengan tatapan dingin.

"Dave, apa kamu mengantar mereka pulang dengan selamat?" tanya Mark dengan tatapan khawatir.

Dave tersenyum tipis lalu berjalan ke sofa tempat Evan sering bermain dengannya. "Mengapa bertanya tentang mereka? Bukankah kamu tidak menyayangi mereka?"

"Aku sayang mereka, Dave. Ini berat juga buatku, rumah ini terasa sepi." Mark melirik ke sekeliling kamar Evan, yang identik dengan anak-anak. Lemari penuh stiker bergambar mobil dan pesawat, sprei bergambar karakter kartun, karpet bergambar Spongebob tempat anaknya biasa bermain, dan keranjang penuh mainan. Pria itu merasa kehilangan anaknya yang biasa menghiasi hari-harinya dengan canda dan tawa.

"Lalu kenapa kamu tidak mencoba menghentikan mereka pergi? Kamu diam seperti pria idiot yang hanya berpikir untuk bersenang-senang dengan wanita yang bahkan pernah meninggalkanmu." Dave berbicara dengan membelakangi Mark. Dia enggan menatap wajah kakaknya yang sudah seperti bajingan baginya.

"Aku tidak bisa mencegahnya, karena aku juga merasa bersalah," jelas Mark sedih.

Dret ... dret ....

Ponselnya berdering, Mark segera menjawab panggilan yang ternyata dari Maura.

"Hallo," sapa Mark saat terhubung dengan Maura.

"Bisakah kamu datang menemui ku? Aku kesepian di rumah sendirian. Papa dan mama sedang ke luar negeri," kata Maura dari telepon.

Mark tidak bergeming sesaat saat dia melirik Dave yang kini menatapnya dengan tatapan dingin. "Maaf, lain kali. Aku sedang banyak pikiran."

Mark segera memutuskan sambungan teleponnya dan meletakkan kembali ponselnya di tempat tidur.

"Temui saja dia, karena dia lebih penting dari Adriana, kan?" sindir Dave lalu beranjak dari sofa.

"Adriana masih istriku dan terserah aku mau bertemu dengannya atau Maura. Tolong jangan ikut campur urusanku lagi!" seru Mark dengan angkuh.

"Kurasa Adriana juga menyesal telah memilihmu sebagai kekasih, lalu menikah denganmu, mungkin dia menyesal pernah mencintai seseorang brengsek sepertimu!" Dave menekankan, mengingatkan Mark untuk introspeksi diri.

Merasa emosinya tersulut, Mark segera turun dari tempat tidur dan berjalan ke arah Dave dengan langkah cepat lalu meraih kerah kemejanya. "Jaga mulutmu! Kamu juga bajingan sekaligus pengkhianat. Diam-diam kamu menyukai istriku!"

"Oh, apa kamu terima tidak, Hah? Bukankah lebih baik aku mencintainya daripada kamu hanya bisa menyakitinya?" Dave mendorong Mark hingga terjatuh dan menabrak meja yang terletak di samping tempat tidur.

Prackkk...

Gelas berisi minuman yang terletak di atas meja pun teratuh dan berserakan di lantai.

Dave mendekati Mark lalu meraih kerah kemejanya, memaksanya untuk berdiri. "Aku benci punya kakak sepertimu!"

Bughh… bughh..!

"Bisanya menyakiti istri, kamu tidak punya perasaan!!" Sekali lagi Dave membanting cengkeramannya ke wajah Mark yang menjengkelkan.

Buhhhh... bukhh...!

Mark membalas dengan mendorong Dave hingga tersungkur di tempat tidur, lalu menghujani wajahnya dengan pukulan demi pukulan dari tangannya yang kekar.

Bugghh... bughh!!

"Berani-beraninya kamu melawanku! Ingat, aku bisa menghancurkanmu dalam sekejap!" Mark menatap tajam pada Dave yang tidak pernah takut melawannya.

Dave bangkit dari tempat tidur dan berdiri kembali.

"Apa yang akan kamu lakukan? apa kamu akan mengambil alih semua aset yang sudah menjadi milikku? Lakukan saja jika kamu bisa!" Dave mendorong Mark ke dinding dekat pintu. Pada saat itu Margareth dan Byanca datang untuk menyaksikan pertengkaran mereka.

Margareth memelototi kedua putranya yang babak belur karena berkelahi.

"Apa yang kalian lakukan? Kenapa kalian saling menyakiti hanya karena wanita sialan itu? Tidak bisakah kalian berdamai saja. Mama pusing dengan keributan ini, semuanya terjadi karena wanita itu!"

"Ma, dia punya nama, namanya Graceline Adriana Peterson, dan dia menantu perempuan di rumah ini, dia ibu dari cucu mama!" Dave menegaskan, tidak suka ibunya menyebut Adriana sebagai "wanita sialan".

"Untuk mama, dia hanyalah wanita sialan yang dibawa oleh kakakmu karena kebodohannya!" kata Margareth dengan tatapan tajam ke arah Mark dan Dave.

Byanca hanya menatapi dengan lengannya bersandar di kusen pintu, dia tampak menikmati pemandangan adu mulut kakak-kakaknya itu.

."Mark, kamu harus segera menceraikannya!" seru Margareth marah.

"Aku masih ingin mencoba mempertahankannya, Ma," kata Mark dengan sendu.

"Bodoh! Bukankah Maura sudah kembali untukmu? Lalu kenapa masih mau bersama wanita yang bisanya hanya di rumah menunggu diberi uang jatah? Kamu pantas mendapatkan Maura yang lebih multitalenta dan berpendidikan tinggi! Dia juga dari keluarga terhormat, jauh berbeda dengan istrimu yang hanya seorang wanita miskin!"

"HARTA...HARTA DAN HARTA! HANYA ITU DI PIKIRAN MAMA ! AKU BENCI KALIAN SEMUA!" akhirnya Dave berteriak karena telinganya terasa panas akibat mendengar kehadiran atau ketidakhadiran Adriana di rumah masih terus dihina.

Mark hanya diam seperti orang idiot yang tidak punya pendirian, karena hatinya sudah terbebani oleh Maura, yang sejak awal sangat dia cintai.

"Aku akan memikirkannya, Ma," kata Mark lalu berjalan melewati pintu tempat Byanca berdiri. dia berjalan menuju kamar dengan langkah gontai dan merasa masih dilema karena harus memilih. Uh, pria itu terlihat lambat dan bodoh...

.