webnovel

Lisya, The Guardian of Nature

Elf, dikenal sebagai ras yang paling dekat dengan alam, bersahabat dengan makhluk hidup, berhubungan baik dengan para roh, juga satu satunya ras di dunia yang mampu menggunakan sihir alam. Selama ini elf telah mengisolasi diri mereka dari dunia luar demi melindungi 'pusaka' yang telah ada sejak dahulu kala. Diberkahi dengan sihir unik, elf tidak mengenal 'teknologi' dunia luar. Hingga... kelahiran seorang anak elf mengubah takdir seluruh rasnya. Dia adalah anak termuda dalam perkumpulan mereka itu telah menjadi kunci utama keselamatan ras mereka dari kehancuran yang akan datang.

Ay_Syifanul · 奇幻
分數不夠
14 Chs

Bagian 10 - Mengungkap Isi Hati Mereka

Saat Lisya kembali melepaskan anak panahnya, lagi-lagi tembakannya tidak lain hanya mengenai udara kosong. Beberapa saat Lisya terlihat menghela nafas dan berjalan memungut kembali anak panah tersebut.

Meski sedikit terlihat sama, namun busur dan anak panah elf memiliki keunggulan dibandingkan dengan buatan tangan manusia. Terlebih lagi saat ini banyak manusia yang tidak lagi memproduksi busur dan anak panah karena tergantikan oleh senjata yang mereka sebut senapan.

Saat Lisya memikirkannya, Refaz sepertinya pernah membawa benda yang disebut senapan itu dalam barang bawaannya. Meski sekilas, Lisya bisa mengetahuinya mengingat benda itu terlihat memancarkan kilauannya dibalik tas besar yang Refaz selalu bawa.

Memanah dan berpedang. Keterampilan itu adalah dasar bagi para elf untuk mempertahankan diri. Mereka juga bisa memperdalam ilmu sihir alam mereka seperti layaknya Meisa atau hal lainnya yang dapat melindungi mereka dari segala bahaya.

Dalam kasus Lisya, dia terpaksa harus memulainya dengan memanah. Dibandingkan berpedang, memanah adalah ketrampilan yang sudah ada dalam darah dan daging para elf. Hanya perlu beberapa waktu hingga Lisya akhirnya akan terbiasa.

Tapi sebelum itu...

"Hey, Refaz. Benda ini sangat menggangguku. Aku tak bisa konsentrasi terlebih ini sedikit geli."

Keluh gadis elf itu pada Refaz dengan menunjuk benda yang melekat erat di telinganya. Refaz yang memperhatikannya dari kejauhan hanya berujar dengan ringan.

"Meski kau masih muda, darahmu itu adalah murni keturunan elf asli karena itu telingamu sedikit lebih panjang dariku. Penutup telinga itu untuk menyamarkan telingamu itu."

"Tapi... rasanya sedikit sakit."

"Huh, kapan kau akan berhenti mengeluh. Kau hanya akan menggunakannya selama latihan."

"Hmpt!"

Refaz yang terlihat tidak peduli dengan keadaannya membuat Lisya sontak cemberut. Pipinya mengembang dan seakan darah naik hingga puncak kepalanya membuat gadis itu ingin meledak.

"Aku tak bisa menyebut ini latihan."

"Apa maksudmu?"

Lisya mengatakan demikian karena dia perhatikan sekitar hanyalah ada hamparan padang rumput yang luas. Siapapun akan menemukan mereka dengan mudah disana.

Bahkan monster di tempat tersebut hanyalah beberapa ekor babi liar dan kelinci lompat. Dibandingkan pelatihannya dengan Kyle, perasaan seperti merasa terpacu untuk menjadi lebih baik sama sekali tidak ada.

"Padahal tempat ini dekat dengan kota, tapi disini sepi sekali."

"Yah begitulah. Mereka yang tinggal di kota kebanyakan berprofesi sebagai nelayan daripada menjadi seorang petualang. Para petualang yang singgah di kota juga paling hanya ingin berlibur di pantai daripada menyelesaikan sebuah permintaan."

"Yang mereka lakukan hanya menghibur diri. Padahal mereka memiliki tugas untuk melindungi manusia-manusia itu."

"Jangan mengatakan hal kejam itu. Ada kalanya mereka lelah dengan pertarungan. Aku sudah pernah bilang bukan kalau dunia manusia tidaklah seindah yang kau pikirkan. Kau mungkin belum mengetahuinya, tapi disini banyak sekali kasus penculikan, penipuan, pembunuhan. Dan semua itu tak mungkin dapat selesai sesaat."

Bangkit dari posisi terlentang menatap langit dengan ilalang di mulutnya, Refaz memperhatikan Lisya yang menatapnya dengan tatapan yang sulit ditebak. Entah disamping dia bingung, dia juga terlihat penasaran dengan banyak hal.

Setelah terdiam beberapa saat Lisya kembali berbicara.

"Aku pikir kebebasan seperti itu... aku tak memilikinya."

Melihat begitu banyak wajah bahagia di sana sering kali membuat Lisya sakit merindukan waktu yang sama saat dia berwajah seperti itu saat bersama ibunya.

Karena itu dia butuh kekuatan. Dia akan menjadi lebih kuat dari Heimdall dan membunuhnya. Karena itu Lisya tak bisa menyerah saat ini. Masih ada yang bisa dia lakukan dan masih banyak hal yang ingin dia lakukan.

Lisya kembali merentangkan busurnya dengan membidik seekor kelinci lompat yang kini memunggunginya. Jaraknya tidak lebih dari 10 meter dan jika Lisya menambah percepatan gerak anak panahnya dengan sihir maka monster itu tak mungkin dapat menghindarinya.

Benar saja. Tembakannya tepat sasaran dan langsung membunuh kelinci lompat itu di tempat. Disamping itu kelinci lompat tadi adalah yang ke 7 sejak Lisya memulai latihannya satu jam yang lalu.

"Apa kau marah, Lisya?"

Gadis elf itu segera terdiam dari perkataan Refaz. Dia ingin mengatakan tidak, namun bagian dari dalam dirinya menentangnya. Bagaimana mungkin gadis itu tak marah? Keluarganya direnggut darinya bersama kesehariannya.

Rasanya menyakitkan saat Lisya terus mengingat waktu-waktu sebelumnya bersama keluarganya dan teman-temannya. Akan tetapi, bukankah dia egois untuk itu? Disisinya ada Refaz yang bahkan tidak mengenal baik keluarganya atau bahkan berbicara kata-kata seperti dia menyayangi mereka.

Demi menjaga perasaan lelaki elf itu, Lisya memilih diam. Dia tak bisa lebih banyak menimbun beban di pundak lelaki elf itu lagi.

Merasakan perubahan suasana di sekeliling mereka, Refaz mencoba mencairkan suasana dengan bermain harmonikannya. Lagi-lagi Lisya yang mendengar permainan Refaz hanyut kedalamnya.

Awalnya dia ingin bertanya lagu apa yang kini tengah Refaz mainkan, tetapi semakin lama mendengarnya akhirnya Lisya bisa memahami semuanya.

Lagu itu tidak lain adalah penyampaian perasaannya yang tidak sanggup dia ucapkan melalui kata-kata.

"Dengarkan ini Lisya. Ada saatnya dimana kau harus memutuskan meletakkan senjatamu bahkan jika itu harus menyakiti perasaan orang lain. Memang benar kau bertarung karena ada yang ingin kau lindungi, namun kau selamanya tak bisa melindungi semua orang. Kau harus memiliki prioritas."

"...aku tidak tau. Bagiku semua orang yang ku sayangi, aku tak ingin melihat mereka terluka. Karena aku menyayangi mereka, aku ingin mereka bahagia."

"Bahkan jika kau harus menyakiti dirimu sendiri?"

Lisya tersenyum kecut. Selama ini ibunya, Aesura, bahkan Meisa telah menemaninya dan selalu memberikan kebahagiaan padanya. Sekarang jika memungkinkan Lisya ingin mereka bahagia juga.

Aesura dan Meisa, lalu ibunya. Semuanya, dalam sekejap mata terasa begitu jauh untuk dia gapai. Lisya merasa sangat kehilangan sayap-sayap yang dahulu menyelimutinya menghangatkan dirinya.

"Apa salahnya jika itu bisa membahagiakan mereka. Mereka tak akan tau tangisanku ini, mereka tak akan tau rasa sakit yang ada di hatiku ini. Aku hanya ingin menjaga senyum mereka."

Kini Refaz yang dibuat bungkam. Dia tidak menduga Lisya akan memberikan jawaban seperti itu. Rasanya dia seperti ingin melihat orang lain bahagia bahkan jika itu harus menghancurkan dirinya sendiri.

'Kenapa jadi seperti ini...?' pikirnya dalam hati. Refaz tau gadis elf itu ingin melihat orang lain bahagia, tapi bukankah itu hanya karena rasa balas budinya.

Jika kebahagiaan itu penting menurutnya, kenapa dia harus membuang kebahagiaannya sendiri?

Mengapa gadis itu tak meletakkan dirinya sendiri dalam prioritasnya? Kenapa harus orang lain?

Seketika Refaz mengerti alasannya. Dia membuka matanya lebar mengetahui apa yang harus dia lakukan.

Refaz bangkit dari posisinya terduduk lalu berjalan mendekati Lisya dari belakangnya. Karena gadis mengenakan penutup telinga bulu, pendengaran gadis itu terbatas.

Setelah Refaz cukup dekat dengannya, tubuhnya sendikit membungkuk mendekatkan bibirnya pada telinga gadis elf tersebut.

Dia kemudian berujar dengan lembut.

"Jika itu maumu, maka kau tak akan masalah jika aku ingin membahagiakanmu kan?"

Sontak mendengar suara yang begitu dekat dengannya, Lisya memaku di tempat. Telinganya bahkan bisa menangkap suara pernapasan lelaki elf tersebut.

Selain itu entah bagaimana Refaz terdengar begitu serius membuat Lisya memerah karena kata-katanya. Jika bukan karena penutup telinga itu, Refaz pasti akan tau kalau telinganya memerah.

"A-a-aku... tidak, bukan begitu. Maksudku... itu..."

Menjadi salah tingkah, Lisya berbalik dan segera mengambil jarak dari Refaz. Kini mendengar suara lelaki elf itu saja mulai membuat hatinya berdebar-debar.

Tersenyum melihat tingkah gadis elf itu, Refaz kembali berujar padanya. Suaranya lembut dan terkesan tidak memaksa.

"Besok ikutlah denganku. Kita ambil satu hari cuti."

"Ikut... kemana?"

"Di Mizore memangnya apa saja yang bisa kau temukan."

Mengikuti arah pembicaraannya, Lisya akan membuka mulutnya sebelum dia kembali teringat dengan kewajibannya.

"Ermm... entahlah Refaz. Aku pikir lebih baik kita memanfaatkan waktu semaksimal mungkin. Jika kau ingin pergi ajak saja Sanae."

"Lagi-lagi kau mengatakan hal itu. Memangnya apa yang ingin kau lakukan? Daripada itu, jika demon itu mengatakan sesuatu tentang ritual, itu berarti mereka butuh sesuatu yang kini belum mereka miliki."

"Apa maksudmu?"

Tiba-tiba mereka kembali di suasana serius, Refaz hanya menghela napas. Jika dia menjelaskannya mungkin Lisya akan lebih mengerti.

"Jika saat ini kita belum merasakan apapun, itu berarti ritual belum dimulai. Kemungkinan yang demon itu tunggu adalah malam bulan purnama merah."

Malam bulan purnama merah adalah malam disaat bulan bersinar dengan cahaya merah menyilaukan. Saat itulah demon mendapat kekuatan yang berlebih dan menjadi alasan demon juga memulai perang besar ratusan tahun lalu.

Lisya yang teringat akan malam itu, membuka mulutnya lebar. Dia ingat saat demon itu menyerang tempat tinggalnya dua hari lalu. Hari itu tak jauh dari malam bulan purnama merah.

Ada kemungkinan Heimdall menyimpan energi yang didapatnya saat malam itu dan berani menyerang wilayah elf. Karena itu juga mungkin Heimdall tak bisa berlama-lama di wilayah luar tanah kegelapan.

"Malam bulan purnama merah... jika kita membuat perhitungan dari saat terakhir bulan purnama merah terjadi dengan perputaran bulan, seharusnya satu bulan... tidak. Mungkin lebih cepat. Seharusnya sekitar 2—3 minggu."

"Dan seperti yang kau katakan. Percayalah, kita akan tepat waktu. Lagipula sekarang kita tak tau kemana harus pergi, jadi kenapa kita tidak berlibur sejenak meringankan semua pikiran kita?"

"Aku..."

"Ini demi kebaikanmu, Lisya."

Refaz yang terus menerus berusaha memaksanya membuat Lisya merasa tidak enak. Dia tau Refaz selalu melakukan semuanya untuknya, demi kebaikannya. Jauh dari yang Lisya sadari, lelaki elf itu lebih memikirkan dirinya dibanding Lisya sendiri.

Jika itu dapat membuat Refaz senang juga, kenapa tidak Lisya lakukan sebagai balas budinya?

Tapi entah mengapa saat dia akan mengatakan 'iya', mulutnya menjadi kelu, bibirnya mulai bergetar dan sepertinya semua itu karena detak jantungnya yang terus berdebar kencang.

Mencoba mengalihkan perhatiannya, Lisya membalikkan badannya dan berujar dengan nada yang rendah.

"J-jika itu maumu... aku ikut saja."

Telinganya dapat menangkap jawaban gadis elf pemalu itu. Tanpa sadar Refaz tersenyum karenanya. Pikirnya, Lisya sudah terlihat seperti saat mereka pertama bertemu.

Dia lebih mudah di tebak dan selalu tersenyum pada orang lain, meski dia tak bisa diajak bercanda, namun Lisya yang seperti ini saja... baginya sudah cukup.

Ini semua untuk menebus kesalahan yang telah dia perbuat. Kesalahan yang mungkin mendapatkan maaf saja tak cukup itu akan Refaz simpan dan pendam hingga akhir hayatnya.

"Me-memangnya... kita akan kemana?"

Karena penasaran, Lisya bertanya dengan tidak lagi melanjutkan latihannya.

"Kau sungguh ingin tau?"

"Jangan mempermainkanku!"

"Baik, baik, akan aku katakan."

Refaz sekali lagi memikirkan tempat yang cocok untuk didatangi, namun hanya satu tempat itu yang selalu dia dapat pikirkan.

"Kita akan pergi ke pantai. Akan tapi, sebelum itu mari ajak Sana untuk belanja."

"Apa hubungannya pantai dan belanja?"

"Kau akan tau esok."

Menyudahi latihan mereka karena masih ada yang harus Refaz kerjakan, Lisya menyanggupinya dengan membawa beberapa daging buruan yang telah berhasil di tangkapnya dalam gerbong kereta Refaz.

Mereka lalu kembali ke kota.