"Apa aku harus mengenakan ini, Refaz?"
"Itu terserah kau."
"Kau tidak sedang berusaha menggodaku kan?!"
Sejak perkataan Refaz hari lalu, rasanya ada yang aneh dengan setiap ucapan yang terlontar melalui bibirnya. Lisya sendiri tak tau, tapi perkataannya seperti berusaha untuk menggerakkan hati kecilnya.
Hal yang hampir hilang darinya, lelaki elf itu berusaha kembali mengingatkannya.
"Ta-tapi kau yakin tempat ini aman?"
"Tenang saja tak akan ada seorang pun yang datang. Bukankah seharusnya kau yang lebih ahli dalam hal ini."
Kepekaan elf berdarah murni memang cukup kuat. Selain mereka sanggup merasakan hawa keberadaan seseorang, mereka juga sanggup merasakan aliran sihir yang berbeda dan terkesan berusaha mengacau.
Layaknya sihir alam yang merupakan berkah yang diberikan oleh 'dunia' bagi mereka yang terpilih untuk dapat mengendalikan segala elemen yang ada.
Berbeda dengan sihir yang digunakan para demon. Para demon mempelajari kekuatan rasi bintang, lalu mencuri sebagian kekuatannya, memperkuatnya dengan energi negatif sehingga kekuatan mereka hampir menjadi malapetaka di dunia.
Dan kekuatan itulah yang hampir mencelakai kampung halamannya.
"Hey, Refaz. Sejarah mengatakan bahwa demon membenci ras elf karena kami terpilih sebagai pengguna sihir yang menguasai dunia. Lalu demon berusaha untuk membuktikan bahwa mereka lah yang layak menguasai dan mengatur dunia. Tapi bukankah semua itu hanya karena 'sihir'?"
"..."
Refaz tak bisa menyangkal pernyataan Lisya. Memang benar elf dan demon memiliki sejarah panjang dibandingkan manusia. Elf saat ini mungkin sudah kehilangan sebagian kekuatan mereka disamping dominasi demon di dunia.
Demi menyeimbangkan kekacauan yang terjadi, alam memutuskan 'mengangkat' benua Alf bersama para elf didalamnya menyembunyikan kekuatan besar yang ada bersama mereka.
Itu adalah kebenaran yang hanya ras elf ketahui.
"Aku bukannya tak ingin menjawabnya, tapi alasan aku mengajakmu bukanlah untuk itu."
"Benar... tapi bagaimana kita bisa bersenang-senang disaat seperti ini?"
"Bukan bersenang-senang. Aku hanya tak suka melihatmu memasang wajah sedih selalu."
Setibanya di tempat tujuan, Refaz memperhatikan sekeliling dari kereta kuda yang membawa mereka memastikan bahwa tempat tersebut cukup aman bagi mereka.
"Bagiku lebih baik kita melakukan apa yang bisa kita lakukan saat ini. Kau tak akan dapat apapun jika terus bersedih seperti itu."
Refaz lebih dahulu turun dari kereta dengan hanya mengenakan celana pendeknya. Dia mulai mendekati bibir pantai yang terletak agak jauh dari kota dan jalanan utama.
Tujuannya hanya untuk membebaskan gadis itu dari beban pikirannya.
Lisya saat ini terlalu menyimpan banyak perasaan bersalah atas kejadian yang menimpa orang lain. Kebaikan hatinya terlalu menekannya sehingga dia tak dapat berpikir jernih.
Karena itu Refaz membawanya ke pantai. Air laut akan membersihkan pikiran kotor dan juga perasaan negatif lainnya.
"Aku paham kau merasa tidak enak dengan semua tindakanku, tapi harus kau tau aku juga merasa kesal."
Bertarung melawan demon tersebut dan gagal merebut ibu Lisya yang diculik, sejujurnya Refaz sangat kesal. Jika dia tau kalau semua ini akan terjadi dia pasti akan memilih untuk mengorbankan dirinya sendiri demi keselamatan ibu Lisya.
Karena dibandingkan dirinya, nyawa ibu Lisya adalah yang terpenting karena dia adalah elf berdarah murni.
"Karena aku hanyalah Half-elf yang tak dapat menggunakan sihir."
Terlahir tanpa kekuatan untuk melindungi seseorang, Refaz merasa dirinya begitu tak berguna.
"Refaz..."
Apa yang disampaikan lelaki elf itu baru saja cukup mengguncang hati kecilnya.
Benar, semua ini bukan hanya untuknya. Refaz pasti merasakan hal yang sama dan dia juga ingin Lisya berpikir sama dengannya.
"Kau... terlalu baik untukku, Refaz."
Setelah membulatkan keyakinannya Lisya melangkah turun. Dia menyapa kuda yang telah membawa mereka sesaat kemudian pergi ke tempat Refaz kini berdiri.
Memandanginya sesaat, Refaz kemudian tersenyum hangat.
"Kau nampak cocok dengan itu."
"...!?"
Sesuatu, dari perkataannya membuat hatinya panas. Hal itu menjalar hingga pipinya itu berubah merah karenanya.
Sebagai wanita, hanya berduaan dengan pakaian terbuka bersama lelaki itu sudah cukup memalukan.
"Aku tidak sedang menggodamu kok. Duduk lah!"
Seolah Refaz baru saja membaca pikirannya, entah mengapa justru membuat Lisya merasa kurang puas. Dia pikir Refaz akan berusaha terus menggodanya hingga membuatnya kesal.
"Kau... tak akan berbuat macam-macam kan?!"
Ujar Lisya dengan memberikan tatapan tajam pada Refaz. Dia menyembunyikan tubuhnya dengan kedua tangannya.
Meski Lisya berkeinginan mengenakan pakaian renang dengan tipe one-piece, Sanae justru memaksanya mengenakan bikini dengan renda berwarna putih yang senada dengan warna kulitnya.
Hanya dengan perkataan seperti 'Refaz akan senang melihatmu dengan pakaian yang seperti ini!', sontak membuat Lisya menurut dengan mudahnya.
Karena itu melihatnya yang tak mengatakan banyak hal dengan penampilan memalukannya saat ini membuatnya merasa menyesali keputusannya.
"Kau masih kecil dan punya pikiran kotor seperti itu, memangnya buku apa yang kau baca selama ini."
"Itu... tidak ada... a-aku..."
Perkataan Refaz tepat sasaran. Bukan seperti Lisya akan menyangkalnya karena dia masih muda, tapi dia hanya tak sanggup mengakui hal memalukan tersebut.
Awalnya Lisya hanya membaca karena dia ingin menjahili Aesura yang nantinya akan menikah. Tapi rasa penasarannya membuatnya hampir lepas kendali.
Bukannya dapat ide, dia justru dibuat malu sendiri karena Erita memergokinya membaca buku tersebut.
"Itu bukan urusanmu!"
Memendam perasaan malunya dengan sangat Lisya menjauhi Refaz dari bibir pantai hingga kakinya dapat merasakan air laut membasahi kedua kakinya.
Awalnya dingin mungkin karena Lisya jarang merasakan air laut yang sesungguhnya. Di hutan sebenarnya ada danau yang menyimpan sejumlah besar air, tapi karena suatu saat bisa habis para elf merancang alat sihir yang terhubung dengan World Tree untuk memasok airnya sama seperti bagaimana World Tree menggunakan kehendaknya untuk mengangkat Alf ke langit.
Tak lama berselang Lisya bisa merasakan kenyamanan yang pernah dia dengar sebelumnya. Perasaan itu seperti membuatmu lebih mudah dalam mengungkapkan semua isi hatinya.
Terpejam sesaat, dia bisa merasakan derap langkah kaki dalam air mendekatinya.
"Anggap saja liburan ini seperti saat kau berlatih sihir air. Yang perlu kau lakukan hanyalah fokus dan menjernihkan pikiranmu."
Bahkan tanpa dapat menggunakan sihir, Refaz mengetahui hal tersebut.
Selama ini Lisya dapat menggunakan sihir api dan angin mungkin karena berdasarkan keadaan hatinya saat itu.
Karena itu dia akan mencobanya sesekali.
"Engkau yang adalah sumber kehidupan, tunjukkan kuasamu dan beri kami keajaibanmu!"
Mengendalikan elemen air jauh lebih mudah daripada menciptakannya. Saat air berkumpul diantara kedua tangannya, Lisya mulai berkonsentrasi untuk membentuk sesuatu.
Akan tetapi...
*Byuurrr...!!!
Saat Lisya terlalu fokus, dia merasakan air tersiram tepat di wajahnya. Alhasil sihirnya berhenti di tengah jalan lalu jatuh begitu saja.
"Refaz!!"
Begitu sadar Refaz sudah berdiri di depannya dengan kepuasan nampak dari wajahnya.
"Kenapa? Kau tak dapat melakukannya?"
"Karena kau menggangguku!"
"Musuh tak akan menunggumu menyerang."
Hal itu membuat Lisya kesal. Bahkan Refaz terlihat begitu senang dengan tindakannya membuatnya berpikir untuk membalas Refaz lebih dari apa yang dia berikan sebelumnya.
"Aku akan membalasmu!"
"Ayo, lakukan!"
Melihat Refaz dengan wajah mengejek, Lisya melempar kekesalannya dengan merapalkan sihir cepat yang dia kuasai.
"Pemurnian suci. Tiadakan...!!??"
*Byuurrr...!!
Lagi-lagi wajahnya tersiram dengan air karena perbuatan Refaz.
"Ada apa? Sihir airku lebih cepat darimu kan."
"Itu bukan sihir air!!"
"Kalau begitu coba saja untuk menghentikanku!"
Lagi dan lagi Refaz membuat serangan beruntun dengan kedua tangannya yang dengan lihai mengambil air dan melemparkannya tepat di wajah gadis elf itu.
Sontak Lisya berlindung dengan kedua tangannya. Tubuhnya yang mulai basah kuyup sedangkan Refaz masih bersih itu membuat Lisya tanpa sadar berbuat hal serupa untuk membalasnya.
Lisya membalas dengan siraman air yang asal-asalan, meski begitu dia dapat mengenai Refaz membuatnya puas. Akan tetapi dia belum cukup puas untuk membalas perbuatan lelaki elf itu sebelumnya.
Perang air itu terus terjadi selama beberapa menit hingga Lisya berlari ke tepian karena dominasi Refaz.
Tubuhnya jatuh terlentang di atas pasir putih dengan menatap langit. Kepuasan dan kegembiraan yang didapatnya barusan membuatnya bahagia.
Sudah cukup lama sejak terakhir dia bersenang-senang seperti ini.
"Aaahh, puasnya!"
Lisya tak bergeming beberapa saat seolah menunggu. Tak selang beberapa lama dia bangkit dengan memandang Refaz dari kejauhan.
Lelaki itu nampak hanya berdiri menatap cakrawala sekian lama. Melihat pemandangan menenangkan itu, Lisya hanya terdiam.
Dan saat suara burung mengacaukan ketenangan mereka, Lisya tersentak ringan karena seekor burung elang terbang melalui atas kepalanya menuju tempat Refaz berada.
Refaz memperhatikan burung itu sesaat kemudian memberikan lengannya untuk burung itu bertengger.
Untuk beberapa detik mereka saling bertatapan dengan Refaz sesekali mengangguk seperti menyanggupi sesuatu.
Dan saat elang itu pergi, Refaz menatap ke arah Lisya dengan tatapan serius. Sontak Lisya mendekatinya untuk mendengarkan.
Refaz kemudian berujar.
"Kita menemukan posisi demon itu. Persiapkan dirimu. Besok kita akan berangkat."
Sontak mata Lisya membulat karena terkejut. Hatinya yang telah tenang kembali dikuasai oleh perasaan was-was dan kekhawatiran pada keadaan ibunya.
Tapi dengan melihat Refaz, beban pikirannya sedikit berkurang. Dengan adanya lelaki elf itu Lisya pasti akan baik-baik saja tak peduli betapa sulit atau sakitnya perjuangan yang mereka lakukan.
Dari pengkhianatan Lisya pada hutan seharusnya sebanding dengan pencapaiannya.
Jadi Lisya tak akan ragu lagi. Kali ini dia yang akan bertarung untuk menyelamatkan ibunya.