webnovel

Peternakan

Pagi itu Irawan tiba di rumah Gery menaiki kawasaki ninja hijau lengkap dengan helm full facenya. Sepeda motor yang terlihat gagah itu serasi dengan Irawan yang tampan, tinggi, sehingga semakin menambah pesonanya. Kini ia parkir di depan rumah Gery dan mulai memanggilnya dari luar.

"Assalamualaikum mas."

"Waalaikumsalam. Masuk wan !"

Kukira kamu akan terlambat pagi ini, nyatanya kamu lebih cepat 10 menit. Anak muda yang keren." Puji Gery padanya.

"Mas bisa aja. Aku kan memang sudah terbiasa datang tepat waktu, lebih awal."

"Nanti kamu ikuti aku ya ! Aku mau ke rumah Lidia dulu."

"Siiap."

Gery memacu mobilnya dengan kecepatan sedang, ia melesat menuju rumah kekasihnya dan di ikuti sepeda motor Irawan bak pengawal di belakang Jeep nya.

Kala itu Lidia terlihat cantik dengan outfit santainya berwana merah jambu. Rambut panjang Lidia yang lurus ia kombinasikan dengan jepit rambut dibagian belakang. Sungguh cantik dan menawan. Tanpa sadar, Irawan tak mengedipkan matanya ketika melihat Lidia. Gadis itu membuatnya jatuh cinta. Irawan berusaha mengalihkan dan membuang perasaan anehnya, namun semakin kesini justru bertambah besar dan susah terlupa.

Gery menyuruh Lidia masuk ke mobil jeepnya dan segera meluncur ke tempat dimana sapi-sapi itu berada. Peternakan yang terletak jauh dari kota tempat mereka tinggal.

20 menit kemudian menunjukkan pukul 07.30. Sapi-sapi milik Gery sedang diberi minum oleh pekerja yang bekerja disana. Gery mendekat disusul Lidia dan Irawan.

"Wah, peternakanmu luas sekali mas. Bahkan aku mungkin cape' jika harus mengelilingi tempat ini sendirian. Kamu memang hebat ya, bisa sukses seperti ini."

"Ah, jangan begitu. Sekarang aku mau kamu bantu salah satu dari mereka. Bisa ya?"

Lidia yang sejak tadi memperhatikan sekeliling, ia juga merasa takjub akan pemandangan didepan matanya. Ia tak menyangka jika kekasihnya memiliki peternakan seluas itu, memperkerjakan 25 pekerja. Hampir mendekati angka 100, sapi milik Gery itu merata. Mulai dari yang masih kecil hingga dewasa. Tempat yang bersih, semua tertata rapi dengan bangunan yang kokoh.

"Ok mas. Kamu mau aku bantu memberi minum ya. Siap, pekerjaan mudah." Ucap Irawan seketika berlalu meninggalkan mereka berdua.

"Pekerjamu kelihatannya rajin sekali ya sayang. Kandangnya bersih dan rapi. Mereka sangat tanggungjawab dengan pekerjaannya."

"Pasti, mereka sudah kuberi amanat untuk menjaga dan merawat sapi-sapi ini. Imbalan yang mereka terimapun sesuai dengan jerih lelah yang sudah dilakukan."

"Kalau gitu, aku diminta bantu apa ni? Memberi makan, atau memberi minum?"

"Kamu tidak sabar ya seperti Irawan. Baiklah, kamu cukup pegangi selang itu !Kamu gantiin bapak yang pakai topi kuning. Nanti akan banyak ember-ember mengantri disana."

Gery cukup berdiri dan menggelengkan kepala sambil bersidekap. Ia melihat pemandangan pagi itu yang tak seperti biasanya. Kekasih dan keponakannya membantu mengurus peternakan. Memberi makan dan minum sapinya. Gery menghampiri salah satu pekerja yang agak jauh dari tempat Lidia. Gery asyik membahas tentang penjualan sapi di bulan ini.

Lidia selesai dengan pekerjaannya kemudian mendekati Irawan. Mereka mulanya hanya bercanda namun berujung pada air minum sapi di ember yang menumpahi celana Lidia. Lidia kaget dan sontak berteriak. Gery mulai mencari sember suara untuk melihat apa yang terjadi.

"Bukannya membantu malah bikin masalah, hihihi." Ucap Gery ketika melihat celana Lidia yang basah.

"Tadi nggak sengaja, malah kena celana. Gimana dong?"

"Kamu harus ganti sih yank, tapi aku masih harus disini dulu. Banyak hal yang ingin aku bicarakan dengan mereka."

"Apa aku boleh mengantar mbak Lidia pulang?"

"Sepertinya begitu wan, kamu nggak keberatan harus mengantar Lidia?"

"Sebenernya sih aku pingin lama disini. Pingin lihat-lihat dan membantu pekerja yang lain. Jarang kan, kapan lagi. Nggak tiap hari juga."

"Nanti kalo kamu pulang dari Kalimantan, pasti aku ajak kesini lagi deh. Minta tolong ya ! Aku takut Lidia kedinginan, hampir seluruh celananya basah. Kasian dia." Ucap Gery seraya melihat ke arah Lidia.

"Ok lah, kalo begitu aku cuci tangan dulu."

Irawan dan Lidia keluar dari peternakan Gery. Gery melihat dari pintu gerbang lalu melambaikan tangannya pada mereka.

"Hati-hati wan !"

Irawan menganggukkan kepala yang sudah berhelm dan siap mengegas ninjanya. Lidia duduk membonceng dibelakang tanpa menggunakan helm.

"Pelan-pelan ya jalannya ! Soalnya aku nggak pakai helm."

"Iya mbak. Kamu pegangan ya !"

"Pegang jok, ok."

"Yah, pegang pinggang aku lah. Masak jok motor. Biar romantis gitu, hahaah."

"Dasar cowok."

Lidia dan Irawan merasakan detak jantungnya yang semakin berdebar. Mereka tak menyangka jika akan berada dalam satu jok motor. Irawan belum pernah sekalipun membonceng wanita selain ibunya. Ia tak bisa mengelak jika mempunyai perasaan terhadap Lidia, kekasih Gery.

Semenjak kejadian itu, keduanya semakin akrab dan saling berbalas chat. Entah apa yang merasuki hati dan pikiran mereka. Bak dimabuk asmara, Lidia dan Irawan menjalin hubungan di belakang Gery. Walaupun sekedar LDR, keduanya tak melewatkan seharipun untuk video call. Hal yang jarang Lidia lakukan terhadap Gery.

Gery yang saat itu sibuk dengan peternakannya, hampir saja mengabaikan Lidia. Lidia merasa diacuhkan sehingga berpaling pada keponakan Gery. Lidia hanya seorang wanita yang membutuhkan kasih sayang, butuh diperhatikan dan dihibur karena aktifitas hariannya yang padat. Sosok Irawanlah yang bisa membuat Lidia senang. Lidia merasa bahwa ia di istimewakan. Namun ia juga masih menjaga hubungan cintanya dengan Gery. Sungguh, wanita yang pandai bersandiwara.

* * *

Gery yang sejak tadi membayangkan pertemuan awal Lidia dengan Irawan, hanya bisa menghela napas dan menggumam.

"Andai pertemuan mereka tidak pernah terjadi, mungkin tidak akan seperti ini. Kedua orang yang aku percaya, justru menusukku dari belakang."

Sore itu Gery beranjak dari tempat tidurnya seakan lelah akan pikirannya yang sejak tadi terbayang Lidia. Ia mencoba keluar dari rumahnya. Melihat sekeliling dan memperhatikan suasana di sana. Asri dan sungguh jauh dari keramaian. Tenang dan nyaman berada di tempat itu, namun bayangan Lidia justru selalu menghantui. Ia berusaha bertamu kerumah sebelah dan menemui seorang bapak-bapak.

"Assalamualaikum. Selamat sore pak." Gery menyapa seorang bapak yang duduk di teras rumah sebelah. Tak lain dia adalah pak Hartono, bapak Lisa gadis mungil pelayan di kedai kopi.

"Waalaikumsalam. Apa kamu tetangga sebelah?"

"Betul pak, saya baru saja kemarin pindah ke rumah ini."

"Semoga betah ya berdampingan dengan bapak, karena sudah lama sekali saya tidak punya tetangga."

Percakapan mereka melebar sampai urusan percintaan. Gery yang merasa dihianati kekasihnya tak begitu saja jujur akan masalah yang ia alami. Ia berusaha menutupi hal itu serapat mungkin.

"Saya mungkin hanya sementara pak disini. Karena urusan pekerjaan. Em, saya juga belum memiliki kekasih, hehehe. masih membujang ini.".

"Wah, kebetulan. Saya memiliki anak perempuan. Kalian bisa berkenalan."

"Ah , bapak. Saya jadi malu dengernya."

Obrolan yang singkat sore itu membuat pak Hartono berkesan dan memuji perilaku ramah tetangga baru di samping rumahnya. Masih muda, ramah, tinggi, tampan dan berkharisma. Gery tak bermaksud demikian hingga pak Hartono menaruh harapan padanya untuk berkenalan dengan Lisa. Gery hanya memikirkan bagaimana cara agar ia dapat melupakan Lidia dan membuatnya menyesal atas apa yang telah diperbuat.

Irawan, lelaki yang menjadi saudaranya. Teman bermain sejak kecil, mereka sering belajar dan melakukan hobi bersama. Kini sudah mencoreng kepercayaan dan hubungan persaudaraan mereka. Gery tak habis pikir dengan tingkah Irawan yang menipunya, menikung dari belakang. Irawan sudah menjalin hubungan dengan Lidia, ia juga mengambil kepemilikan peternakan yang sudah ia bangun dari 0.

"Salah apa ya Allah, hingga aku dihianati oleh kedua orang terdekatku. Kekasih yang selama ini aku cintai dan keponakan yang sudah aku percaya. Aku bahkan tak pernah menyangka hal semenyakitkan ini akan terjadi padaku."

Lelaki itu memandangi ke luar jendela dan menitikkan air matanya perlahan. Seperti ikut merasakan kepedihan yang ia tanggung sendiri. Perasaan sedih itu bagai tersayat oleh pisau. Pandangan yang kosong dan merajuk itu buyar seketika oleh kumandang adzan magrib. Gery segera mengusap pipi dan dagunya yang basah oleh air mata yang sejak tadi mengalir tanpa ia sadari. Ia berusaha menguatkan diri dan melangkah untuk menunaikan kewajibannya terhadap sang Ilahi.

Hanya untaian doa dan keluh kesah yang dapat ia adukan untuk membuang kepedihan yang mengurungnya. Ia hanya butuh beberapa hari untuk meratapi dan merenungi semuanya hingga akhirnya ia harus bangkit dan membalas perbuatan Lidia dan Irawan.