Mimi tengah berjalan sendirian dipinggir sungai. Aroma khas lelaki kabutnya tercium samar. Tak lama, matanya menangkap sosok lelaki duduk di sebuah batu besar tak jauh darinya. Mimi memberanikan diri mendekati dan kemudian menyapanya. "Alan?! sosok itu tak bergeming sedikitpun. Dia tetap duduk di atas batu besar itu. "Alan?!" panggilnya sekali lagi. Namun sosok itu tetap diam membisu. Tiba-tiba angin besar bertiup, menerbangkan daun-daun kering yang ada didekatnya. Mata Mimi pun terasa pedih hingga mengeluarkan air mata. Sosok itu akhirnya menoleh kearah Mimi, namun air mata membuat pandangannya kabur. Samar Mimi hanya melihat sorot mata sosok itu. "Alan, tolong aku!" kata Mimi. Sosok itu tak bergerak, sebaliknya matanya terlihat sendu saat menatapnya. Angin bertiup semakin besar, membuatnya harus memalingkan wajah agar matanya tak bertambah perih. Aroma khas itu mulai memudar, sosok diatas batu tiba-tiba menghilang. Namun tatap sendu matanya masih lekat dalam ingatan.
Bip... bip... bip...
Suara alarm membangunkannya. Mimi termenung di atas ranjangnya. Setelah sekian lama, hari ini lelaki kabut itu kembali hadir dalam mimpinya. Tapi mengapa tatapannya begitu sendu? Mengapa pula hatinya terasa sakit saat melihat sorot mata itu?
---
Hari ini kebetulan tak ada jadwal kuliah. Jadi Mimi tak segera turun ke bawah untuk sarapan. Mimi lebih memilih duduk santai di balkon kamarnya. Udara segar di pagi hari membuat mood nya sedikit membaik. Mimpi semalam begitu mempengaruhinya. Tatapan sendu lelaki kabut semalam membuatnya resah.
"Mi, kamu udah bangun?" suara Bunda terdengar dari luar kamarnya.
"Udah Bun, masuk aja!".
" Kamu ngga kuliah?" tanya Bunda sambil menghampirinya.
"Ngga Bun, jadwalnya dipindah."
"Terus ngapain kamu disini? Sarapan dulu sama yang lainnya yuk!".
" Aku sarapannya nanti aja ya Bun? Belum kepengen."
Bunda menatap Mimi dengan pandangan bertanya-tanya, "Kamu ada masalah?".
" Ngga Bun, Bunda tenang aja. Aku baik-baik aja kok!".
"Ya udah, nanti biar Bibi antar teh manis hangat aja ke sini, sama Bunda buatkan roti bakar ya!".
Mimi mengangguk, " terima kasih Bun!" katanya.
Mimi kembali sibuk dengan pikirannya. Tatapan sendu lelaki kabutnya semalam, masih lekat dalam ingatannya. "Mengapa dia tampak begitu sedih?". Dalam mimpinya dia sempat memanggil lelaki kabutnya dengan nama Alan, tapi tak direspon. Apakah karena dia tak mendengar, atau memang dia bukan Alan? Mengapa setelah pertemuan di dunia nyata dengan Alan, lelaki itu tetap saja misterius wajahnya di dalam mimpi.
Mimi pusing sendiri memikirkan hal itu. Apakah dia melewatkan sesuatu? Hingga dia salah mengenali lelaki kabutnya di dunia nyata? Tapi semua petunjuk mengarah kepada Alan.
" Aku tidak boleh terpengaruh dengan mimpi," gumamnya.
"Mimpi apa?" sebuah suara mengagetkannya.
"Eh, Mba Maya! Kok belum berangkat?".
" Mba hari ini ambil cuti haid. Dari kemarin Mba sakit perut di kantor."
"Ooo ada cuti haid ya Mba? Aku baru tahu."
"Ada, tapi jarang diambil sih. Karena biasanya ngga terlalu mengganggu. Tapi ngga tahu kenapa, kok kemarin sakitnya lumayan juga."
"Sekarang masih sakit Mba?".
" Udah agak mendingan sih! Cuma masih agak kram aja. Ngomong-ngomong tadi kamu bilang soal mimpi. Memangnya mimpi apa? sampai bikin kamu terpengaruh?".
Mimi terdiam mendengar pertanyaan Maya. Dia tak tahu harus mulai dari mana. Menjelaskan keistimewaannya pada orang lain bukan hal mudah.Jangan-jangan dia malah dianggap dukun.
"Mas Rendra pernah cerita tentang keistimewaan kamu Mi," kata Maya, seperti mengerti kebingungan Mimi.
"Abang udah cerita Mbak?".
Maya mengangguk, sambil tersenyum memandangnya.
" Semua?" tanya Mimi lagi.
"Mbak ngga tahu semua atau tidak. Yang jelas Mbak tahu kalau yang menyarankan Mas Rendra untuk melamar Mbak adalah kamu. Dan Mas Rendra juga cerita saat kamu memintanya membawa payung dan jaket dihari aku bertengkar dengan Adi. Makasih ya Mi!" kata Maya sambil mengusap rambut Mimi dengan sayang.
"Aku ngga ngelakuin apa-apa kok Mbak. Aku cuma menyarankan apa yang kulihat dalam mimpi. Tapi semuanya adalah keputusan Bang Rendra. Karena meskipun aku memberi petunjuk, kalau Mas Rendra ngga melakukan saran aku, semua ngga akan terjadi."
"Tapi setidaknya, karena kamu, Mas Rendra menjadi percaya diri. Dan akhirnya berani mengambil keputusan besar untuk kami. Jadi, kamu mau cerita mimpi apa yang membuat kamu begitu terganggu?".
Mimi akhirnya menceritakan tentang lelaki kabutnya, tentang PR dan tentang Alan pada Maya.
" Jadi menurut kamu, lelaki kabut dan PR itu Alan?".
"Iya Mbak."
"Kamu menyimpulkan itu dari aroma dan insial nama dia?".
Mimi mengangguk.
" Dan menurut Tama sahabat kamu, Alan memang menyukai kamu sejak Maba?".
Sekali lagi Mimi mengangguk sebagai jawaban.
"Kalau dari cerita kamu, biasanya mimpi kamu ngga akan berulang, karena kamu langsung mengalaminya di dunia nyata. Tapi khusus lelaki kabut, dia masih berulang bahkan setelah kamu bertemu dengannya di dunia nyata."
"Itulah Mbak, aku jadi mumet sendiri."
"Kok aku mikirnya kamu salah orang ya Mi?".
" Salah orang?".
"Iya, karena kamu sendiri masih belum lihat mukanya jelas di mimpi kan? Dan tatapan sendu itu mungkin aja tatapan sedih karena dia merasa kamu salah mengenalinya."
"Tapi aroma itu, aku ngga pernah menciumnya selain dari tas Alan kemarin Mbak!".
" Sampai sekarang kamu masih mencium aroma itu dari dia Mi?".
Mimi terkejut mendengar pertanyaan Maya. Kalau dipikir-pikir setelah dia merasa menemukan lelaki kabutnya, dia tak fokus lagi memikirkan aroma. Dia tak menyadari apakah aroma itu masih tercium saat berada di dekat Alan kemarin.
"Iya juga Mbak, aku kemarin merasa sudah menemukan lelaki kabut, jadi ngga terlalu mikirin lagi aroma itu."
"Kalau gitu kamu harus pastikan dulu. Ngomong-ngomong, kalau bukan Alan lelaki kabutnya, kamu akan kecewa?".
" Hmm... ngga sih Mbak. Karena aku juga belum ada rasa apa-apa sama dia. Cuma mungkin aku akan sedikit bingung, karena harus mencari dari 0 lagi."
" Ngga usah dipikirin Mi, perihal jodoh itu urusan Tuhan. Kalau lelaki kabutmu itu memang petunjuk Tuhan tentang jodohmu, pasti akan tiba saatnya kalian dipertemukan, entah dengan cara apa. Saat ini jalani saja semuanya dengan biasa. Ngga usah terlalu fokus sama hal itu. Karena semua akan tiba waktunya."
"Makasih ya Mbak. Aku senang bisa ngobrol gini. Kemarin aku dapat pencerahan tentang kehidupan dari Rani. Sekarang dari Mbak. Aku beruntung punya kakak dan adik yang baik."
"Hmmm.... ngomongin Rani, kalian jadi dekat sekali ya? Kalau sama kakaknya gimana? Dekat juga ngga?" tanya Maya dengan nada menggoda.
Wajah Mimi langsung memerah mendengar pertanyaan Maya.
"Iiih, itu pipi sampai kayak tomat!" goda Maya lagi.
"Aaah Mbak nih ngegodain terus,"kata Mimi masih dengan wajah yang bersemu.
" Kayaknya kamu ngga perlu jawab deh pertanyaan Mbak. Muka kamu udah jadi jawaban."
Mimi hanya tersenyum simpul mendengar perkataan Maya.
"Tapi aku mau menata diri Mbak. Aku ngga mau cintaku jatuh pada orang yang salah. Jadi aku sekarang sedang berusaha menetralkan perasaan aku."
"Maksud kamu, kamu mau mengabaikan perasaan kamu ke Tama?".
"Aku hanya ingin semua jatuh pada orang dan waktu yang tepat Mbak!".
" Ya itu terserah kamu. Cuma Mbak mau bilang, jatuh cinta itu manusiawi. Hanya jangan jadi budak cinta aja."
"Hehehe.. ngga lah Mbak!" aku bukan tipe cewek yang bucin.
"Okey, jadi Mbak harap, kamu ngga usah terpengaruh sama mimpi lagi ya! Ingat kata Mbak tadi, semua akan tiba waktunya. Nikmati aja mimpi kamu, tapi jangan terpengaruh."
Mimi mengangguk sebagai jawaban.
Setelah pembicaraan pagi itu, hatinya menjadi lega. Mimi berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak fokus lagi memikirkan lelaki kabutnya. Dia akan bersabar, menunggu takdir Tuhan menuntunnya bertemu dengan lelaki itu.