Gradien memarkirkan mobil Audi A4nya di garasi, kemudian langsung beranjak ke ruang tamu. Dia berhenti sejenak ketika mendengar suara teriakan Mamanya. Dia lalu mengintip.
“Bagus kamu ya, selingkuh aja terus! Kamu pikir, usaha yang kamu jalankan ini dari siapa? Hah?! Aku! Aku mas yang bantuin kamu!”
PLAK
Gradien tersentak begitu melihat Papa menampar Mama.
“Berhenti sok tahu! Aku gak selingkuh! Dan, bullshit dengan bantuan kamu. Kamu bisanya apa? Melobby semua teman-temanku supaya usaha kita lancar. Kamu pelacur handal yang pernah aku kenal!”
Mama menangis. “Tega ya kamu bilang istri sendiri pelacur? Hah? IYA?!” Kembali, Mama teriak.
“Keluar dari sini kalau kamu gak mau nurut sama suami sendiri!” Papa berkata lantang dan mendorong Mama sampai nyaris terjatuh. Untung, Gradien dapat langsung memegangi bahu sang Ibu sebelum Mamanya dipeluk oleh gaya grafitasi.
“Pa… cukup. Cukup nyakitin Mama. Kenapa kalian gak pernah menyelesaikan masalah dengan diskusi dan kepala dingin sih? Selalu bertengkar!”
“Anak ingusan! Tau apa kamu? Kamu juga mau angkat kaki dari sini? Silahkan! Kamu sama Mama kamu sama-sama gak berguna!”
“Grad… Sudah, cukup. Jangan lawan Papa,” Mama mencoba menengahi.
“Papa gak capek bikin Mama menderita?”
“Shut up anak kecil! Kamu diam, Papa gak pernah mau dengar kamu nantang Papa lagi!”
“Gara-gara perempuan selingkuhan Papa? Siapa dia? Biar Gradien samperin dan iris nadinya sampai mati!”
PLAK
Kali ini Gradien yang ditampar. “Papa boleh nampar Grad, tapi inget ya, Pa… Sekali lagi Papa tampar Mama… Gradien pastikan hidup selingkuhan Papa akan lebih buruk dari nasib Mama!”
“Berani kamu menyentuh dia, gak akan ada hari esok buat kamu, anak bajingan!” setelah berkata begitu, Papanya keluar rumah dan terdengar suara mesin mobil dinyalakan. Kemungkinan, Papanya menemui perempuan selingkuhannya.
‘Brengsek!’ Gradien membatin. Ia lalu membantu Mamanya untuk kembali ke kamar dan beristirahat.
Pintu kamar Nina terketuk dan segera gadis itu membukanya.
“Mama,” ujar Nina tersenyum dan memberikan jalan masuk untuk Mama.
“Nih, Mama bikinin pisang goreng. Kamu lagi belajar ya di balkon, hujan loh, Nin, hati-hati kebasahan,” nasihat Mama kemudian mereka berdua duduk di bangku yang ada di balkon kamar sang puteri.
“Iya, Ma.”
“Gimana tadi kuliahnya? Presentasi lancar?” Mama membuka percakapan.
“Lancar, Puji Tuhan, Ma. Dosen dan teman-teman banyak yang apresiasi,”
“Wah, syukurlah, Mama turut senang dengernya. Terus, ada cerita apa hari ini?”
Nina mentautkan alis. “Kok Mama tau?”
Mama tersenyum. “Mana pernah kamu ngambil sayur duluan dan makan malam tadi kebanyakan diem daripada nanggepin becandaan Papa sama Abang?”
“Berarti Nina gak pinter bohong dan nutupin perasaan ya?”
Mama menghembuskan napas. “Boleh, tapi kalau sama Papa, Mama dan Abang, jangan dong.”
“Hehehe, iya, Ma. Jadi begini…,” dan mulailah Nina bercerita kejadian di fakultas teknik pagi tadi. Ekspresi Mama dari kaget, takut sampai lega. Dari mereka berempat, memang Mama yang paling ekspresif, pantas saja dulu Mama menjadi pemain film terkenal, Mama mampu memainkan ekspresi dengan sangat baik.
“Yaampun… Lalu gimana?”
“Ya gak gimana sih, Ma. Nina yakin, kami gak akan ketemu lagi, ini tuh kehidupan dunia nyata, bukan di film atau novel yang tiba-tiba setiap scene selalu ada pemeran utamanya.”
“Loh, Nak, kamu kan memang pemeran utama di setiap cerita di hidupmu, toh? Mainkan dengan baik,”
Nina tersenyum. “Nanti aja, Ma. Nina mau fokus kuliah dulu dan bantu Papa ngembangin resto. Lagian jodoh pasti dateng sendiri kalau memang kita sudah melayakan diri. Bener gak?”
Mama mentautkan alis. “Kok, Mama kayaknya pernah denger ya?”
Nina tertawa. “Yaiyalah, Ma. Itu kan jawaban Mama waktu di talkshow tiga bulan lalu.”
“Ah? Hahaha. Iya ya? Oiya, ngomong-ngomong talkshow yang itu, jadi produser acara kan bakalan ngadain resepsi pernikahan anaknya besok malam, bantuin Mama pilihin gown dong, Nin. Ini rencannya tuxedo yang mau Papa pakai, nah, biar matching, coba Nina kasih pendapat,”
Mereka berduapun berdiskusi sembari diselingi memakan pisang goreng buatan Mama. Dalam diskusi tersebut, tak jarang ada selisih paham, atau beda pendapat, beda selera, pandangan dengan orang lain, namun yang patut digaris bawahi adalah, di keluarga Nina, baik ia maupun Abangnya selalu diberikan tempat dan waktu untuk angkat bicara, serta perasaan mereka, walaupun hasil akhirnya tetap masih ada di tangan Papa, namun dengan memberikan ruang kepada anak-anak, ada bekal saat mereka dewasa, khususnya berpikir kritis dan mampu mengambil keputusan yang tepat.
Selang tiga puluh menit kemudian, tiba-tiba Papa sudah nongol di depan pintu kamar. “Panggilan kepada Nyonya Sandyakala, harap segera meninggalkan kamar Nona La Nina, karena Tuan Mario butuh ditemani dan dihangatkan.”
Aseli! Papa tuh kadang suka ambigu.
“Dihangatkan dengan dibuatkan coklat panas maksudnya,” ralat Papa. Mama dan Nina hanya tertawa yang sudah sangat sering melihat Papa yang gagal dalam melucu.
“Yaudah, makasih ya, Nak buat saran kamu. Sini, piring kosongnya sekalian Mama bawain ke dapur. Kamu tidur jangan malam-malam ya. Banyak istirahat. Papa Mama turun dulu ke kamar. Bye, Sayang,” Mama mengecup kening Nina.
“Iya, thank you Ma. Kepada Tuan Mario, Nyonya Sandyakala akan dikembalikan tanpa cacat dan cela, yang pasti, beliau tetap cantik, terima kasih.”
“Terima kasih, diterima.”
Nina PoV
Gue bukanlah tipe orang yang percaya kebetulan, gak sama sekali, gue selalu yakin bahwa semua hal sudah diatur oleh Tuhan, mau baik atau buruk, sudah sesuai porsi dan waktu-Nya. Termaksud… ban mobil gue yang tiba-tiba kempes saat mau berangkat kampus, seperti sekarang ini.
“Argh! Kenapa sih ini?” terpaksa banget gue berhenti di bahu jalan dan segera menelpon Papa.
“Halo, Nak.”
“Pa… ban mobil kempes, Nina dalam perjalanan ke kampus. Papa bisa nyusulin kesini?”
“Waduh, Nin, I’m so sorry, Papa lagi di resto Bogor. Kurang efisien kalau Papa kesana. Begini, kamu hubungi Mas Miing ya, dia pemilik bengkel langganan Papa, lumayan deket kok kalau dari kampus kamu. Papa share kontak, terus kamu hubungin dia ya. Jangan panik, Nak,” Papa mencoba menenangkan.
Gue mengangguk walaupun Papa tidak melihat. “Iya, oke, Pa. Thank you,” kemudian gue mematikan sambungan telepon serta menunggu Papa mengshare kontak si pemilik bengkel yang tadi disebutkannya itu.
Selang tiga menit ada sebuah mobil keluaran Eropa yang berhenti di depan mobil gue. Seseorang keluar dari pintu pengemudi. Gue menyipitkan mata karena tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Itu kan…,”
Monolog gue terputus karena objek yang sedang dibicarakan sudah mengetuk kaca jendelanya. Gue akhirnya membuka, namun hanya sebatas wajah.
“Loh? Elo yang kemarin di ganggu anak teknik ya? Kenapa mobilnya?”
“Eh, hm… Elo… Graduation ya?”
Dia tertawa. “Grad. Nama gue Gradien. Mobilnya kenapa? Mau dibantu?” tanya Gradien mengulang pertanyaannya dengan sabar.
“Hehehe, iya nih, mobil gue kayaknya ban mobilnya kempes gitu. Tadinya mau minta tolong sama pemilik bengkel langganan Bokap gue, tapi, kalau mungkin lo bisa bantu… Gue—“
“Bisa. Gue liat dulu ya,” jawab Gradien langsung.
Setelah diselidiki, Gradien berkata kalau ban mobil gue tertusuk paku, makanya bisa kempes, akhirnya Gradien berinisiatif untuk mengganti ban gue dengan ban cadangan di mobil gue. Cepat sekali pria itu, terlihat sangat lihai, hanya membutuhkan waktu kurang dari sepuluh menit, semua sudah terselesaikan. Gue yang daritadi berdiri di belakang Gradien segera membantunya membereskan semua peralatan bengkel kembali ke tempatnya.
“Grad, terima kasih banyak ya,” ucap gue tulus.
“Sama-sama. Gue senang bisa bantuin lo,” balas Gradien dengan senyum. “Lo mau ke kampus? Oh, kita belum kenalan, lebih tepatnya gue belum tau nama lo siapa.”
“Oiya, Nina. Nama gue Nina. Iya, gue mau ke kampus.”
“Yaudah, jalan duluan, gue kawal dari belakang, Nin,” saran Gradien.
“Oo… Oke… Gue masuk dulu.”
Gradien tersenyum dan juga langsung masuk ke dalam mobilnya.
Gue kembali bermonolog, kalo ini beneran hanya kebetulan ya, Nin. Jangan baper!