Nina PoV
Halo semua, perkenalkan, nama gue La Nina Djojohadikusumo. Anak kedua dari dua bersaudara pasangan Mario Djojohadikusumo dan Sandyakala. Gue punya saudara laki-laki satu-satunya, teman bermain, berantem, belajar dan cerita, namanya Jacob El Nino Djojohadikusumo. Yes! Silahkan tanyakan ke orang tua Nino dan Nina mengapa memberikan nama anak mereka berasal dari nama badai.
Papa adalah seorang wirausaha, pemilik sebuah restaurant yang sudah membuka lima cabang. Walaupun Papa gue adalah anak dari seorang konglomerat, tapi beliau mampu membuktikan, dengan usahanya sendiri, bisa membangun keluarga tercukupi lahir batin.
Mama gue dulunya seorang penyanyi dan bintang film terkenal, beliau salah satu orang tergak neko-neko dan betul-betul lurus aja gitu jalannya yang gue tahu.
Lucunya, Papa dan Mama gue sebelum menikah gak pakai pacaran. Jadi, Mama tuh adalah anak angkat dari sahabat Akung gue. Opa dan Oma dari pihak Mama sudah meninggal sejak Mama masih muda karena kecelakaan pesawat. Kemudian, karena perebutan harta, Opa dan Oma memutuskan untuk ‘menitipkan’ Mama di rumah Akung. Akung sendiri punya tiga orang anak. Yang pertama, Pakde gue, namanya Aero Djojohadikusumo. Kedua, pakde gue juga, namanya Regan Djojohadikusumo. Dan, terakhir, Papa, Mario Djojohadikusumo. Nah, Mama dulu menempati kamar Papa, dan Papa terusir ke kamar pembantu, beliau mau-mau aja lagi, hahaha. Serius, pas pertama kali diceritain bagian ini sama Papa, gue dan Abang mampu sampai guling-guling dan sakit perut, karena lamanya ketawa.
Karena dulu Mama memang terkenal, otomatis, beliau punya seseorang yang khusus urus jadwal dan keuangan dong yah, sering banget manager merangkap sahabat Mama, namanya Suri, berkunjung ke rumah. EH! Terjadilah percikan asmara diantara Pakde dan manager Mama gue. Dan, sekarang Mama dan Bude Suri semakin akrab karena mereka udah jadi ipar. Betapa Tuhan baik sekali memberikan Mama sahabat yang sampai sekarang gak pernah putus silahturahmi.
Oke, balik ke cerita Papa dan Mama gue ya, sedikit lagi. Mama dulu tuh sering berantem sama Papa, banyak banget ketidak cocokan diantara beliau berdua, mulai dari hal kecil sampai hal besar, salah satu yang di highlight adalah bagaimana Mama bisa menjadi anak angkat almarhum Opa dan Oma gue. Namun, yang namanya sering bersama di satu atap, tiba-tiba… Papa ngelamar Mama disaat resepsi pernikahan Pakde Aero dan Bude Suri berlangsung. How sweet. Mamapun langsung menerima lamaran Papa.
Oiya, gue punya satu sepupu kandung, anak tunggal Pakde Aero, namanya Lorenzo Ruiz Alvario Djojohadikusumo. Alva panggilannya, yang hanya berbeda beberapa bulan dari Bang Nino, kakak gue. Kenapa manggilnya Abang, padahal orang Jawa? Sebetulnya dari Pakde Regan dan Papa memang memanggil Pakde Aero dengan sebutan Abang sih, bukan Mas, jadi beliau membahasakan gue seperti itu. Pakde Regan. Ah, iya, kalau beliau memutuskan untuk tidak menikah, karena dulu sempat punya pacar, namun harus putus. Mungkin beliau belum bisa move on?
Oke, perkenalan keluarga, sampai disini aja ya, nanti kalau bertemu dengan masing-masing dari mereka, pasti akan gue kasih tau lagi. Anyway, biasanya setelah kuliah, hobi gue itu mampir ke restaurant Papa. Entah ikut membantu jadi pelayan, atau kasir, atau nongkrong-nongkrong biasa. Bukannya gak mau langsung pulang, tapi, gue merasa, resto ini juga akan menjadi milik gue dan Bang Nino. Maka dari itu, walaupun kuliah gue jurusan administrasi publik, gue tetap mau belajar bagaimana mengatur orang dan mengambil keputusan, toh kedua materi itu gue pelajarin kok di kampus. Hehehe.
Selain ke resto, hobi lain gue sebelum pulang, kadang mampir ke panti asuhan tempat Mama dulu diasuh selama satu bulan. Dari Mama juga gue belajar untuk jangan melupakan satu kebaikan orang lain, walaupun orang tersebut sering banget nyakitin hati kita. Anak-anak panti senang banget kalau kami datang. Entah datang berempat atau secara personal. Gue paling suka bermain piano dan bacain buku cerita buat anak-anak disana. Gue merasa sedikit lebih beruntung daripada mereka, punya keluarga yang utuh, harmonis, diberikan kesempatan mengemukakan pendapat, dan gak pernah haus kasih sayang. Makanya, kalau diluaran, gue bukan tipe yang sering mau jadi sorotan, karena di keluarga inti, gue gak pernah terabaikan.
Nah, sekian perkenalan diri gue ya. Selamat menyelami cerita gue yang… yah… semoga kalian suka dan dapat mengambil pelajaran dari sini.
Citra sedang berjalan menuju ke tempat ia memarkir mobilnya ketika langkahnya dihentikan oleh Kevin. Citra, Gradien dan dua sahabat pria itu memang satu jurusan, namun karena pamor Gradien yang terkenal, Citra tidak berminat untuk mendekat kepada mereka.
“Hai, Cit,” sapa Kevin yang membuat Citra mentautkan alis.
“Hai, Kev.”
“Udah mau balik ya? Gue sebetulnya ada perlu sama lo,” cakap Kevin.
“Tumben. Tentang apa?” tanya Citra.
“Tentang… Ah! Tapi gak bisa disini. Lo mau temenin gue makan gak? Lo pasti capek kan abis ngampus?”
Citra berpikir sejenak. “Hm… Tapi, tempat makannya gue yang pilih? Bisa?”
“Oh… iya, boleh dong. Yuk, sekarang?”
Citra mengangguk sambil tersenyum canggung.
“Ooh, Kala’s Café. Gue sering banget kesini bareng keluarga. Ini salah satu resto favorite. Punyanya Tante Sandyakala, kan? Tapi, gue biasa yang di deket rumah. Agak jauh lebih kecil dari ini sih,” kata Kevin. Dan Citra hanya mengangguk kemudian memilih tempat duduk.
Tak berapa lama, mereka disodorkan menu makanan. “Mbak, Oom Mario ada menu terbaru gak? Mau coba dong,” kata Citra.
“Hmm… Ada, yang terbaru dua minggu yang lalu. Jadi semacam ramen gitu, tapi pemilihan rempahnya semua khas Indonesia. Mau, Kak?”
Citra mengangguk cepat. “Boleh. Minumnya ice tea aja ya. Lo mau pesan apa?”
“Oh, hmm… samain aja, Mbak.”
“Baik. Ramen Indonesia dua dan ice tea juga dua. Ditunggu ya, Kak. Terima kasih.”
“Thank you,” jawab Citra.
“Lo kenal pemiliknya, Cit?” tanya Kevin.
Citra mengangguk. “Ini tuh punya orangtuanya Nina. Serius lo gak tau?”
Kevin menggeleng. “Enggak. Soalnya, kalau di infotainment, mereka lebih sering berdua doang kan? Mario sama Kala. Liat deh foto-foto di sosial media mereka, gak pernah foto keluarga,”
Citra mengangguk. “Ninanya emang yang gak mau. Entah kenapa, privacy sih memang. Padahal modal buat terjun ke dunia hiburan tuh terbuka banget buat dia. Eh, dia malah senengnya kerja di balik layar.”
“Di balik layar? Jadi produser maksud lo?”
“Enggak lah. Kalau Nina jadi produser, dia gak akan ngambil jurusan administrasi publik, tapi performing arts. Dia lebih suka di balik meja dan depan komputer. Sedikit bocoran nih ya, beberapa café cabang ini, Nina yang udah jadi manager. Cuma pada gak tau aja,” jelas Citra setengah berbisik.
Kevin terpukau. “Wah, info manarik tuh,” reflek Kevin.
Citra mengangguk. “Dia gak mau berteman sama orang yang hanya mau memanfaatkan dia karena keluarganya yang tajir melitir. Dia mau, ya orang berteman karena Nina sebagai Nina. Gitu. Dia punya Kakak cowok, cuma beda setahun, tapi milih kuliah di salah satu univ internasional terkemuka di Jakarta. Mungkin, Bang Nino memang memilih untuk memanfaatkan fasilitas yang Oom Iyo punya, beda sama Nina yang kadang lebih sering merasa cukup.”
Kevin hanya menganggukan kepala. Dia masih mencerna segala info gratis yang didapatnya dari Citra.
“Lo tumben gak sama Gradien dan Mario?”
Kevin menggeleng sembari tersenyum. “Bosen sama mereka. Lagian ngajak lo kesini sebetulnya pengin nanya tugas, tapi bentar dulu ya, tuh makanannya udah dateng,” tunjuk Kevin yang membuat Citra menengok. Acara makan sore hari ini pun terjadi.
Yang tidak Citra ketahui, semua info awal itu bukan semata untuk Kevin, namun, atas perintah Gradienlah, Kevin mau turun gunung untuk mendekati salah satu sahabat baik Nina.
Gradien tumben sekali seperti ini, mungkin… Gradien mulai menyukai Nina yang sejak awal bukan seperti perempuan-perempuan lain melihat fisiknya di kali pertama, namun Nina hanya menunduk pasrah, ada sorot marah saat dibilang bukan tipe Gradien dan mengucapkan terima kasih secara sekilas. Betul-betul perempuan yang penuh dengan kejutan.