Shila sampai rumah dengan selamat setelah memastikan tidak ada yang mengikutinya lagi maupun Nino dan Nina setelah mereka berdiam diri selama dua jam di salah satu tempat ngopi daerah Blok M tersebut. Lekas gadis itu memasukan mobil ke dalam garasi dan segera menuju ke kamarnya.
Rumah Shila tergolong besar dan sepi. Shila adalah anak tunggal di keluarganya. Sang Ayah bekerja sebagai pengusaha yang sudah mempunyai beberapa perusahaan baik dalam dan luar negeri. Sedangkan Ibunya selalu setia mendampingi suami, menjadikan Shila sering sekali hanya bertemu mereka sekitar tiga hari dalam satu bulan, sisanya Shila lebih memilih diasuh asisten rumah tangga daripada menetap di daerah luar kepulauan Jawa, mengikuti ayahnya.
Asisten rumah tangga di tempat Shilapun tidak setiap malam ada, menjadikan gadis itu tambah kesepian. Shila sampai rumah langsung menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Walaupun tinggal sendiri, namun Shila mampu mandiri dan menjaga kebersihan rumahnya, hal-hal kecil seperti menyapu, mengepel, mencuci pakaian sudah menjadi aktivitas keseharian Shila, karena suatu saat, Shila bercita-cita dapat survive tinggal dan hidup di luar negeri.
Saat Shila sedang asyik menghapus makeup, ia mendengar ada suara pintu utama yang terbuka, kemudian tertutup. Shila menepuk dahinya kaget. “Bego! Gue lupa ngunci pintu,” monolognya. Shila keluar kamar dan turun ke lantai bawah.
Ia sejenak terdiam di tengah tangga. Refleks menelan ludah dengan susah payah saat hawa asing menyerang. Aneh, padahal ini rumahnya sendiri, namun selepas mendengar ada suara pintu tadi… kok ia merasa tidak sendirian ya di dalam rumah ini?
Shila melangkah cepat ke pintu utama kemudian menguncinya. Ia sejenak mengintip keluar dengan mengibas sedikit gorden disana. Memang pilihan Shila untuk tidak memperkerjakan seorang penjaga rumah karena dirinya merasa kurang nyaman. Shila menghela napas lega saat pagarnya masih tertutup dan ia dapat melanjutkan aktivitasnya yang tertunda lagi.
“Ngintipin apaan sih, Shil?”
Shila terperanjat kaget dan lekas menoleh ke asal suara. Di belakangnya ada… ada…
“Lo temennya Gradien yang tadi di bioskop kan?!” tunjuk Shila. “Ngapain lo disini?!” Shila menaikan suaranya satu oktaf.
“Mario. Nama gue Mario. Maaf, kalau buat lo gak nyaman, gue cuma mau mampir, tapi tadi gue bel dari gerbang, gak ada jawaban, gue ketuk pintu juga gak dibukain, gue gak bermaksud apa-apa kok. Sorry,” jelas Mario dengan wajah penuh sesal.
“Lo ngagetin! Yaudah, duduk, silahkan. Gue bersihin make up dulu ya. Lo… Lo mau minum apa?” tawar Shila.
“Ah, hm… Iya, oke. Minum apa aja yang gak ngerepotin elo.”
Shila tersenyum singkat. Jantungnya masih agak porak poranda dibuat Mario. “Oke, sepuluh menit ya,” putus Shila kemudian ia masuk ke dalam meninggalkan Mario.
“Nih.” Shila meletakan segelas air putih di cangkir yang biasanya digunakan untuk membuat teh. Kebayang kan sedikit apa isinya?
“Ah, ehm… Air putih, Shil?” tanya Mario ragu.
“Minum apa aja yang gak ngerepotin gue kan? Yah, kalau lo lupa,” ujar Shila tersenyum sinis lalu duduk dihadapan Mario.
“Hehehe, oh iya… Makasih ya,” dan hanya dibalas Shila dengan senyum terpaksa.
“Ada apa?” tanya Shila to the point.
“Ini… buat lo, Shil. Semoga suka,” ucap Mario kemudian memberikan sebuah kotak berukuran sedang dari dalam kantung celana Mario.
Shila mentautkan alis. Ia menerima kotak tersebut dan segera membukanya. Matanya terbelalak ketika melihat isi dari hadiah yang diberikan oleh Mario. Jam tangan Rolex yang menjadi incarannya sejak lama kini sudah berada di dalam genggaman.
“Gila… Bagus banget. Lo… tau kalau gue ngincer ini?” gumam Shila tak percaya.
Mario tersenyum. “Iya. Ambil, it’s yours now.”
“Ah, thank you, Mar,” jawab Shila tulus.
“Tapi… Boleh gue ngobrol tentang Nina sama lo?”
Shila mentautkan alis. “Hmm… Boleh sih, tapi tentang apa dulu nih?”
“Yang jelas yang gak terlalu privacy, tapi di internet belum ada. Gimana. Cukup oke kan penawaran gue?”
Shila mempertimbangkan dengan matang. Rolex ini akan setara dengan beberapa info tentang Nina. Shila menghela napas. Rolex atau Nina? Nina? Rolex?
“Oke, boleh,” jawab Shila pada akhirnya. Karena memang susah menolak tawaran yang disugguhkan di depan hidung. “Lo mau nanya apa?”
“Apa funfact Nina yang lo tau?” tanya Mario.
“Hmm… Dia udah punya penghasilan sendiri, soalnya jadi manager di beberapa cabang Kala’s café. Dia bisa main piano dan nyanyi, tapi paling gak pede untuk tampil di depan orang banyak, paling di depan keluarga besarnya aja. Apa lagi ya? Oh! Nina itu donator tetap di salah satu panti asuhan dan biasanya rutin kunjungan sekitar sebulan atau dua bulan sekali.”
“Menarik banget. Boleh tau nama pantinya? Siapa tau, gue juga bisa jadi donator atau mampir kesana,” pancing Mario.
“Gue lupa namanya. Nanti deh, gue cari tahu dulu, baru gue kabarin ke elo ya,” jawab Shila.
Mario mengangguk. “Oke, siap. Terus lo boleh cerita tentang hobi Nina?”
“She’s love traveling so much! Nina suka baca buku dan nonton, ilmu dia tuh banyak banget. Nina receh, tapi pengetahuan dia luas. Makanya kami nyaman deket dan mendukung dia. Suka masak dan main piano, udah pasti udah banyak yang tahu ya, soalnya keturunan dari Papa Mamanya dia,” jawab Shila sembari tersenyum.
“Ooo… Kalian sahabatan udah lama ya?”
Shila menggeleng. “Enggak, kami bertiga, sama Citra sama-sama ketemu di kampus. Tapi, ternyata, Citra pilih fakultas lain. Eh, masih sefrekuensi, jadi nyambung banget sampai sekarang.”
“Awalnya lo tahu kalau Nina anaknya Tante Kala? Dan apa yang ngebuat kalian masih satu frekuensi?”
Shila menggeleng. “Enggak. Gue gak tahu sih apa yang membuat Nina setertutup itu, bahkan kalau lo cari di dunia mayapun, gak akan nemu. Pun di social medianya Tante Kala sama Oom Iyo. Jadi, Nina juga pakai user name yang betul-betul hanya teman sekolah dan kuliah doang yang tahu. Yang bikin kami nyambung, karena Nina dan Citra selalu bisa cerita apa yang ada di hati mereka. Dalam pertemanan gue, ya… apa yang ada di hati dan pikiran lo, ungkapin aja, itu hak masing-masing. Candaannya Nina dan Citra nyambung sama gue. Gitu-gitu sih, Mar,” terang Shila.
“Pertemanan kalian seru banget. Pernah jalan-jalan bareng?”
Shila mengangguk. “Sehari yang pulang pergi, pernah. Paling jauh ke salah satu perusahaan Akung sama Utinya Nina. Waktu itu perusahaan Djojohadikusumo ulang tahun, terus Nina ngajak gue dan Citra. Nah, kalau keluar kota, itu masih wacana sih, hehehe. Nanti kepengin tapi.”
“Oiya, gue minum ya. Haus juga nanya-nanya banyak ke lo.”
“Interogasi sih, Mar lebih tepatnya, hahaha.”
Mario dan Shila tertawa. Mario meminum air putih yang disuguhkan oleh Shila, sedangkan Shila memainkan handphonenya. Ia menyempatkan diri membalas chat dari Papanya yang ternyata tidak bisa pulang minggu ini. Shila berdecak.
“Kenapa?” tanya Mario. “Ada masalah, Shil?”
Shila menatap Mario ragu. “Gapapa kok, aman aman.”
Mario mengangguk. “Shil, udah malem banget. Maaf gangguin lo ya, dengan cerita-cerita. Tapi thank you so much gue udah diterima dengan baik disini,”
Shila tersenyum. “Sama-sama. Semoga sedikit mengobati rasa penasaran lo ke Nina ya, Mar.”
“Iya, udah lebih tahu tentang dia. Hmm… Yaudah, istirahat ya. Gue pamit dulu.”
Mereka berdiri. Mario berjalan menuju ke pintu diikuti Shila. Shila mengantar Mario sampai ke gerbang.
“Lo naik apa, Mar?”
“Taksi nih,” jawab Mario kemudian menyetop taksi pertama yang dia lihat. “Bye, thank you ya, Shila.”
“Bye, hati-hati… Mar,” selepas Mario ditenggelamkan ke dalam perut taksi, Shila kembali masuk ke rumah dan mengunci pagar serta pintu rumahnya.
Yang tidak Shila ketahui, bersamaan setelah menyebutkan tujuannya kepada sang supir taksi, Mario menghubungi Gradien.
“Dapet?”
“Banyak. Dan, pasti bisa memudahkan Porche segera nangkring di garasi mobil lo, Grad.”
“Bangsat. Terus, menurut lo, apa yang harus gue lakuin sekarang?” tanya Gradien di ujung telepon.
“Pakai voucher yang dikasih sama Nina. Ternyata Nina udah jadi manager di beberapa cabang Kala’s café. Ntar gue kabarin, dia jadi manager di mana aja, supaya seolah-olah lo bisa kebetulan ketemu dia dan bisa minta dia nemenin lo makan. Bisa berduaan deh kalian.”
Terdengar suara renyah dari Gradien. “Emang cuma kalian, ngasih tantangan sekaligus jadi yang bantuin.”
“Nah, lo tahu berarti balasannya harus apa.”
“Iyee. Udah masuk tuh lima juta ke rekening lo ya,”
“Siap, thank you, Gradien!”
“Bacot!” kemudian Gradien memutuskan sambungan telepon dan hanya dibalas Mario dengan tawa geli.