webnovel

Lima

Nina PoV

Gue, Shila dan Citra berjalan menuju ke parkiran mobil masing-masing saat melihat ada beberapa gerombolan perempuan yang sedang mengerubuni seseorang. Jadi bahan becandaan untuk kami bertiga, sampai…

“Itu bang Nino, bego, Nin!” seru Citra super kaget.

“Anjir, gak pake bego berapa, nyet?!” balas gue agak kesal. “Samper, samper!” kami bertiga segera berlari kalang kabut, mencoba menyelamatkan Abang gue. Udah capek-capek lari dari jarak dua puluh meter, gak taunya… Abang gue kesenangan di ajakin selfie dan ngobrol. Bangsat!

“Abang!” panggil gue dan Bang Nino hanya memberikan senyum secerah matahari pagi.

“Bentar, Nin. Lima menit, tanggung,” jawab si Abang.

“Shil, Cit, bantuin bubarin dong. Yuk yuk!”

“GUYS! Udah yuk, jangan norak ya, kayak belum pernah liat cowok ganteng. Bubar-bubar!” teriak Citra.

“Teman-teman, udah yuk. Yang kayak gini mah banyak di Mangga Dua. Kalian kesana aja ya kalau mau lihat lebih dari satu,” ucap Shila yang lebih percaya diri dengan pendekatan individual.

“Shil! Kok Mangga Dua sih?! Emang Abang gue jualan disana. Argh!” gue dengan kesal akhirnya membantu membubarkan kerumunan yang ada.

“Ah ilah, Cit, sebentar dong. Kalau liat Tante Sandyakala versi cewek udah bosen liat Nina, kalau ini versi cowoknya. Gila, Abang lo ganteng banget, Nin. Duh, boleh bawa pulang gak?”

Siapa sih ini cewek? Bikin darting aja! Pungkas gue dalam hati. “Udah dong. Kalian pulang. Gak senang ah enggak!” Gue mencoba merengek. Akhirnya, setelah dibantu bujuk oleh Abang Nino sendiri, perlahan asosiasi perempuan gatel itu ujung-ujungnya pergi.

“Bang!” ucap gue agak kesel dan mendekat ke Nino. Bang Nino hanya bisa terkekeh.

“Hahaha, maaf. Habisnya gue bingung, pulang kuliah mau kemana. Papa Mama kan kondangan ya, ke resto bosen. Eh, nonton aja yuk, Nin. Citra sama Shila mau ikut gak? Yuk!” ajak Bang Nino.

Walaupun baru gue kenalin sewaktu awal masuk kuliah dulu dan sejarang itu ketemu, tapi Bang Nino mengingat betul kedua sahabat gue ini, bahkan sesekali suka menanyakan kabar mereka.

Shila dan Citra nampak berpikir. “Mau nonton apa. Bang?” tanya Shila.

“Terserah kalian, gue ngikut aja,” jawab Nino santai. “Kosong gak? Yuk. Kelamaan mikir, ntar tawarannya dimakan kucing.”

“Lo kira tulang. Yaudah, yuk, Shil, Cit… Ikut aja yuk?” Gue membantu Abang gue meracuni mereka untuk gabung.

“Gue mau!” ujar Shila excited.

“Oke. Citra?” tanya Bang Nino dengan senyum teramat memikat.

“Maaf Bang, Nin, Shil, gue besok lusa ada praktek dan musti nyari bahan dan perlengkapannya. Gue absen dulu ya kali ini,” sesal Citra.

Gue mengangguk. “It’s okay. Yaudah yuk. Pake mobil masing-masing, langsung ketemu di bioskopnya ya?”

“Siap!”

“Bye, Citra, take care ya,”

“Bye semua, have fun!”

Setelah itu, bang Nino membawa gue kedalam rangkulannya dan mengecup dahi gue sekilas. Kami akhirnya meninggalkan Citra dan lekas masuk ke dalam mobil masing-masing.

“Hai, Cit.”

Citra lekas menengok dan melihat ada Kevin dibelakangnya. “Hai… Kev.”

“Gak pulang?” tanya Kevin.

“Iya. Ini mau pulang, terus nyari bahan buat praktek besok,” jelas Citra.

“Ooo… Tadi siapa, Cit? Kok ada rame-rame disini?” Kevin terlihat memancing.

Awalnya Citra mentautkan alis, sampai kemudian ia mengerti siapa yang dimaksud Kevin.

“Oooh… Itu Bang Nino, kakaknya Nina. Tiba-tiba muncul disini, Nina kaget. Terus dia ternyata udah punya fans, hmm… fanbase malah. Yaudah deh,”

“Abang? Sedekat itu? Akrab banget kelihatannya?” Kevin mencoba meyakinkan.

Citra mengangguk yakin. “Emang! Kaget ya lo, soalnya di Jakarta jarang nemuin yang kayak gitu?” sahut Citra sarkas.

Kevin mengangguk jujur. “Ooo… yaudah, oke. Hati-hati ya lo di jalan,”

“Iya, sama-sama. Gue duluan ya,”

“Oke, bye Citra.”

“Duluan pesen gih, ini kartunya,” buka Nina ke Shila saat mereka sudah sampai di bioskop, lekas Nina memberikan sebuah kartu debit dari salah satu bank ternama di Indonesia. Shila membeli makan dan minuman, Abangnya mengantri tiket. Nina? Duduk diam di salah satu bangku. Nikmat banget memang hidupnya.

Selang sepuluh menit kemudian, Nino dan Shila menghampiri Nina dengan tiket dan satu paket snack.

“Beli tiga kan?” tanya Nina dan dijawab anggukan oleh Shila yang segera mengembalikan kartu sakti Nina.

“Nih, Bang,” ujar Shila sembari memberikan satu paket snack untuk Nino.

“Thanks, Shilantik.”

“Alay!”

“Alay tapi senyum-senyum. Huft!” ledek Nina untuk Shila dan diakhiri tawa mereka bertiga.

“Mohon perhatian Anda… Pintu teater satu telah dibuka. Bagi Anda yang telah memiliki karcis dipersilahkan untuk memasuki ruangan teater satu.”

“Yuk!” ajak Nino yang kemudian beriringan menuju studio yang dimaksud.

Shila menyenggol lengan Nina ketika iklan-iklan film yang akan datang tayang.

“Kenapa, Shila sayang? Takut ya soalnya ini film horror?” tanya Nina yang agak terganggu karena sedang asyik menyimak tanggal tayang film tersebut.

“Ck!” Shila berdecak. “Eh? Loh kok?” lanjutnya kebingungan sendiri.

“Permisi... Sorry ya,” ucap suara yang Nina mulai familiar.

Nina reflek menoleh. “Gradien? Bisa barengan dan sebaris gini? Aneh banget,” monolognya pelan. Takjubnya lagi, Gradien dan kedua teman laki-laki pria itu duduk persis di sebelah Shila. Jadi posisinya adalah Nino, Nina, Shila, Gradien, teman Gradien satu dan teman Gradien dua.

Namun, karena Nina cuek, jadi ia tak terlalu mempedulikan pria itu. Selang dua puluh menit kemudian, saat film dimulai…

“Bangke! Kenapa horror?”

Nina menoleh ke sumber suara. Gradien ketakutan?

“Wah, seru juga ya, ternyata berplottwist. Udah? Yuk?” setelah berkomentar sejenak tentang film yang baru saja mereka tonton, Nina mengajak Nino dan Shila untuk keluar studio. Shila mengkode Nina untuk pamitan dengan Gradien, tapi Nina menolaknya, karena tidak mau berurusan panjang dengan Nino, akhirnya dengan membawa sampah masing-masing, memasukannya ke tempat sampah terdekat, mereka menyatu dengan beberapa orang menuju ke pintu bertuliskan exit.

Yang tidak Nina tahu, Gradien telah mendapat ledekan dari kedua sahabatnya. “Deketin tuh! Kacang mahal!” ujar Mario.

“Gue gak pernah sih, Grad, dicuekin cewek sampai segitunya, padahal dia tahu kalau kalian bersebelahan,” Kevin ikutan mengompori.

Gradien tersenyum miring. “Mainin apa?”

“Ya sikatlah! Malu sama pamor kalo lo ditolak sama dia. Yah, sebulan dua bulan cukuplah, bagus kalau bisa dapet tambahan ciuman bibir,” kata Kevin.

“Segitu doang mah kecil. Berani ngasih apa kalian kalo gue berhasil?” tantang Gradien.

“Porsche Panamera Diesel 250 Hp Edition Tiptronic S.”

Gradien melotot tak percaya dan mengalihkan pandangan ke Kevin. “Anjing! Serius?”

“Sejak kapan kami bohong sih sama lo! Berapa lama waktu yang lo butuh?”

“Tiga. Tiga bulan. Gue taklukin tuh cewek dalam waktu tiga bulan, tuh Porche udah ada di garasi rumah gue?! Deal?”

“Deal!” Kevin dan Gradien berjabat tangan. “Oke, lalu sekarang, cara apa yang akan lo lakuin?”

“Cari tahu alamat rumahnya. Ayo kejar, bego!” pekik Gradien.

Nina memvideocall Nino dan Shila saat sedang dalam perjalanan pulang. Walaupun agak bahaya, namun mereka tetap berusaha fokus ke jalan, hanya terdengar suara saja dan tujuannya untuk memantau satu sama lain. Hal ini sangat sering dilakukan dalam keluarga gadis itu.

“Gimana kuliah hari ini, Bang?” tanya Nina.

“Aman. Kamu gimana, dek?”

“Tumben pakai ‘adek’, biasanya juga ‘elo’ hahaha.”

“Yakan ada Shila. Abang menjaga reputasi juga dong.”

“Ih, dasar lawak!”

“Shil, aman? Santai aja ya, lo kita anter sampai rumah kok,” ujar Nino.

“Penginnya sampe dalam kamar, Bang,” jawab Shila.

“Weits! Boleh dong, ayo, langsung!”

“ABANG!” teriak Nina tak terima dan malah ditertawai oleh Nino dan Shila.

“Sorry, Nin… Becanda, hahahaha.”

“Ah, kalian! By the way, ngerasa gak sih itu Jazz dua mobil di belakang kita kok rutenya sama ya?”

“Ya emang kita hidup di tengah hutan berantara yang rumah manusianya berjarak berpuluh-puluh meter?” jawab Nino, padahal dalam hati ia juga merasakan hal yang sama dengan sang adik, Nina.

“Gak gitu konsepnya! Maksud gue tuh, dari tadi keluar mall, masa tuh mobil betul betul ngikutin kita. Tapi, yaudah deh… Mungkin ini kebaperan gue doang.”

“Eh, tapi iya sih, bener juga. Gimana kalau kita kerjain mereka balik, biar tau, dia tuh beneran ngikutin atau enggak,” saran Shila.

“Boleh, gimana tuh Shila?” tanya Nino.

“Kita nyebar, Bang, Nin. Depan kan ada perempatan tuh. Nanti tembus-tembus daerah Blok M. Kita ketemu di Folosofi Kopi aja, gimana? Siapa yang diikutin, nanti kita buntutin balik tuh mobil.”

“Brilian! Yaudah yuk. Manuver ya!” jawab Nina kemudian mereka mulai menjalankan aksinya.

Tak berapa lama…

“Gue nih yang diikutin. Temenin dong,” protes Nina.

“Stay calm, Nin. Tetap cari daerah rame, gak usah masuk-masuk gang.”

“Ketemuan langsung di FilKop deh. Gue jadi belum mau pulang kalau begini,” Nina menghela napas. Ada perasaan takut yang mengintainya.

“Oke. Take care and see you, Bang, Nina.”