Dibantu dengan tiupan kipas angin berukuran mini yang sudah tidak bisa lagi berputar, Amar Mari—seorang mahasiswi yang sedang dikejar deadline—mencoba untuk menghilangkan jejek bau tembakau yang mengepul di kamarnya. Membakar rokok di rumah adalah tindak criminal terbesar yang pernah wanita itu lakukan. Jika sampai ketahuan mungkin Ayahnya, mungkin dia akan di ikat di pohon jambu belakang rumah dan di siram dengan air berember-ember sampai jera. Atau mulutnya dijejali cabe ulekan khas ibunya yang terkenal paling pedas di antero sanak-keluarga.
Tapi ada hal yang lebih menakutkan daripada itu semua. Tenggat akhir tugasnya tinggal tinggal delapan jam lagi, dan Mari belum menyelesaikan lebih dari setengahnya. Sambil menarik rokok dan memutar otak, setiap ketikan jarinya menyematkan kutukan untuk dosen mata kuliah Metedeoligi-nya yang memberi tugas tidak tanggung-tanggung. Mari harus menyusun skripsi imitasi—dan harus sama persis.
"Edan! Hartini kampret, masa kita disuruh nyusun skripsi, judul aja belum pernah kebayang."
"Sumpah nyesel gw ngambil kelas C. tau gini pilih A sama B aja bareng Arini… dosen Metopel di amah enak, Pak Halim. Cuma di suruh buat latar belakang. Kita baru semester empat lho. Nggak bisa nyantai dikit apa."
"Sekarang Gw paham kenapa dia bisa sampai di demo sama senior-senior."
Mari dan teman-temannya selalu menggibahi deson mereka Hartini setiap kali ada kesempatan. Mengeluhkan tugas yang mereka anggap tak manusiawi. Dengan segudang rasa dongkol Mari selalu punya alasan untuk menunda tugasnya sampai pada akhirnya keteteran sendiri.
Orang buat skripsi aja ada yang bertahun-tahun nggak selesai, ini tiga minggu? Bangsat! Mari terus meracau di dalam hati dengan geram. Ditariknya asap Djarum Black bringas dan menyemburkannya bersama amarah yang menggebu-gebu. Meski sesekali dia mengutuk diri sendiri karena kebiasaan buruknya yang selalu menunda tugas.
Dunia kuliah jauh berbeda dari masa SMA-nya. Kalau dulu dia bisa enteng datang pagi-pagi untuk menyalin PR. Atau memperbudak pacarnya Anto yang natobene selalu ranking tiga. Kalimat "emansipasi wanita" selalu menjadi bentengnya untuk memagari Mari dari cap kalau wanita adalah yang paling rajin dalam pelajaran. Dibalik topeng wanita anggun yang selalu ia pakai di rumah, Mari adalah wanita paling bebas pada dirinya sendiri. Mulai merokok sejak SMP, cabut sekolah untuk bermain di warnet, perang mercon ketika bulan Ramadhan, juga nge-band. Selama hal yang dilakukannya tidak keluar dari batas-batas yang ia yakini maka tak masalah. Menjadi pribadi yang bisa menempatkan diri pada situasi apapun. Anggun tapi tidak lemah, begitu kira-kira prinsipnya; Merokok boleh tapi narkoba jangan. Tomboy tak masalah asal jangan sampai korengan. Membenci pelajaran tapi jangan sampai dungu. Bebas bergaul tapi ada batasnya, seks bebas bukan mainan Mari. Pergaulan membuat matanya terbuka lebar dan tuhu siapa yang bisa masuk ke dalam zona pertemanannya dan mana yang hanya boleh sebatas berpijak di zona "sekedar kenal".
Tapi malam ini dia terlalu stress untuk memikirkan batasan, jadi melanggar pagar yang ia bangun sendiri: merokok di dalam rumah.
Jika sudah buntu sesekali dia akan menghantamkan badan di punggung kursi dan menelpon.
"Bab tiga isinya tentang apa, Lin?"
"Teori Mar, astaga kemana aja si—"
"Oke, love you Karoline. Muaaah." Mari segera menutup panggilan sebelum sahabatnya Karoline mulai berceramah seperti ibunya.
Buku jemarinya mulai membolak-balik buku, mencari teori apa yang pas dengan judul skripsi kejar-semalanya. Setelah beberapa menit membaca, jemari lentik itu kembali menekan tombol-tombol di keyboard leptop dengan kasar nan cekatan. Setiap kata diolah dengan baik oleh otaknya yang sudah terbiasa membaca, mulai dari roman picisan sampai koran yang setiap pagi menggedor kaca rumah Mari.
Waktu berlalu dengan begitu lama bagi Mari hingga dia menyelesaikan tugasnya dengan tuntas. Setelah memeriksa dua kali dan dirasa sudah pas, akhirnya wanita itu dapat merebahkan badan di atas kasur dengan desahan lega.
Ayam-ayam mulai berkokok dan burung bersiulan. Jam tangannya menunjukkan pukul setengah lima pagi. Mari merasa tanggung untuk tidur, dia juga takut bangun kesiangan jika tidur sekarang. Untungnya kondisi badan mendukung, ia sama sekali tidak merasa kantuk. Ada sedikit rasa syukur dibenaknya. Alam bawah sadar Mari membawanya pada mimpi-mimpi saat tidur belakangan ini. Mimpi yang tidak mengenakkan dan terjadi berulang kali. Teringat akan mimpi-mimpi tersebut mari kembali terduduk, sambil memeluk bantal dia merenung.
Seminggu ini dia selalu bermimpi tentang sebuah kecelakaan, persisnya di mana dia juga tidak begitu tahu karena walau sering terulang, yang namanya mimpi hanya menyisakan sebagian kecil untuk diingat. Lamunannya mengingatkan Mari tentang nenek dari Ayah yang pernah berkata, "terkadang mimpi adalah sebuah pesan yang disampaikan Yang Maha Kuasa secara tidak langsung." Berkutat di kalimat tersebut, Mari tidak menemukan pesan apa yang ingin di sampaikan—jika memang benar—karena kecelakaan itu sama sekali tidak melibatkan dirinya maupun orang yang ia kenal.
Dalam serpihan mimpinya Mari hanya bisa mengingat sebuah mobil menghempas sisi tebing dan terguling dengan hebat. Setelahnya Mari bisa melihat dengan jelas orang-orang yang ada di dalam mobil: satu pria dewasa, dua lelaki remaja, satu wanida dan satu anak prempuan kecil. Mari tidak tahu persis detail wajah mereka, hanya terlintas begitu saja tanpa meninggalkan bekas yang kuat. Namun, yang pasti mereka semua terbakar, lalu mobil tersebut meledak.
Mari menggelengkan kepala, mengusir semua teka-teki yang bergelut di pikirannya. Tugas dari buk Hartini sudah cukup untuk menegangkan otot-otot di otaknya, tidak perlu menambah satu lagi yang memabukkan. Mari memandang ke luar jendela. Langit gelap gulita mulai mencuatkan warna biru dongker. Warna yang sekilas mengingatkannya akan pantai. timur yang tidak jauh dari rumahnya. Biasanya sekitar jam sembilan atau jam sepuluh malam Mari akan bersantai di pantai sembari menuliskan bait-bait puisinya yang masih telanjang, tak masalah karena bukan karya yang ingin di publikasikan, hanya untuk mengepresikan dirinya sendiri. Sumakin dewasa semakin banyak hal yang harus dipikirkan, dan menulis adalah salah satu cara Mari untuk curhat. Sejauh ini bahkan lebih baik daripada harus cerita sana-sini.
Rasa rindunya pada pantai membuat Mari memejamkan mata, membawa sukmanya pergi menembus dinding kamar dan menuju deru ombak. Membiarkan hidungnya lepas dari bau tembakau dan merasakan bau asin air laut. Menenangkan hingga akhirnya dia tertidur juga pada kahirnya.
Membawanya kembali pada mimpi yang sama. Kecelakaan maut yang membuat air matanya megucur secara sembunyi-sembunyi di antara keheningan lelapnya.