webnovel

L.I.M.B.O

Jika kalian pernah berpikir apa hal yang paling mengekang di dunia, maka ia adalah waktu. Ini adalah cerita mengenai seorang lelaki yang terlibat dalam rumitnya sistem alam semesta, dan mengutuk Tuhan yang mengikutsertakannya.

Pangeran_Kecil09 · Horror
Not enough ratings
4 Chs

Bab 2 - Kutukan Berkedok Mukjizat

Pernah mendengar tentang mesin waktu? Teori relativitas Einstein, dan sudahkah riset bahwa mesih waktu benar bisa dibuat dengan mineral dan batuan yang ada saat ini di bumi? Dan bagi kau yang lebih percaya bahwa waktu adalah kuasa Tuhan dan bukan zona yang bisa manusia otak atik, lalu apakah kau percaya penjelajah waktu itu ada dan dapat terjadi suatu saat nanti?

Aku menghargai semua pendapat, karena pada dasarnya manusia hanya percaya dengan pengalaman pribadi. Kau pernah melihat buaya putih sepanjang sepuluh meter, kau percaya akan hal yang tertangkap oleh kedua matamu, tapi tidak dengan tetanggamu. Mungkin saja dia belum pernah lihat buaya sepanjang sepuluh meter, tetapi pernah menyaksikan piring terbang yang berputar-putar di atap rumahnya dengan cahaya warna-warni di seklilingnya, dan dalam hitungan detik terbang menghilang. Namun, tentu, kau juga sulit untuk percaya—memangnya alien ada?

Ada… di suatu tempat, yang pasti bukan di dekatku, karena aku nggak pernah lihat, gumam Sukma yang terdiam menatap langit pagi. Gelap, tertutup awan. Poni panjangnya menari-nari dengan angin yang mulai bertiup kencang. Kilat sesekali menyambar dengan bunyi geledek yang delay seperkian detik.

Untuk mencari tempat berteduh, Sukma membuka aplikasi map di smartphone-nya. Sekarang dia ada di kota Bandung. Sukma mencari Swalayan terdekat; jaraknya cuma lima ratus meter. Sukma kemudian beranjak keluar dari taman, kemudian jalan menelusuri trotoar. Selama perjalanan, Sukma menjadi tontonan kilat di tengah kesibukan kota. Tapi apa pedulinya, tidak akan ada yang percaya dengan alasan kenapa ia harus membawa tas hiking kemana-mana. Dia tidak perlu berinteraksi dengan siapapun, karena ini bukan masanya juga.

"Aku adalah kekosongan. Kekosongan yang hadir mengisi ruang dan waktu. Ada hanya untuk pelengkap, melintas berbagai masa. Aku adalah orang yang tidak sengaja kau senggol, aku adalah om-om aneh yang kalian lihat di jalan. Aku adalah pelanggan asing yang menyeratkan tanya. Aku adalah 'orang itu', yang mungkin hadir dalam satu momen dalam hidupmu yang kemudian terlupakan."

Paragraf tersebut bisa ditemukan dalam jurnal Sukma. Warnanya hitam bersampul kupu-kupu. Tulisan di dalamnya berisikan buah pikiran Sukma, entah tentang kejadian penting, atau pendapat pribadi serta sudut pandangnya terkait suatu hal atau masalah. Lalu paragraf di atas adalah tulisan terakhirnya enam bulan lalu, setelah ia memutuskan untuk menyudahi hobinya menulis dan menimbun jurnal dan pena khususnya di dalam tumpukan baju lemari. Tepat di hari ia mati dan membenci Tuhan serta seisi alam—berubah menjadi Sukma yang hancur lebur—tidak ada lagi niat untuk mencari kebenaran tentang ia yang menjadi penjelajah waktu dadakan, tidak ada lagi doa-doa yang dipanjatkan baik untuk hidupnya maupun orang lain, tidak ada lagi cita-cita, dan tidak adalagi rasa.

Mengarungi dan terombang-ambing dalam badai waktu, menunggu karam seperti Lancang Kuning yang berlayar dengan mengmban amarah, dendam, serta penyesalan.

Rintik hujan turun lalu seketika mengucur deras ketika Sukma telah tiba di depan pintu swalayan. Ia mempercepat langkahnya untuk membeli sebuah roti dan air mineral, karena takut tidak kebagian tempat duduk di teras. Benar saja, usai membayar roti dan air minum, teras sudah mulai penuh. Tersisa dua bangku lagi, dan Sukma berpacu dengan orang-orang yang baru sampai untuk berteduh. Ada yang sudah kebasahan, ada yang masih kering, dan ada juga yang sudah siap dengan jas hujan, kemudian melesat kembali ke jalanan melawan jarum air yang rapat.

Sukma mulai membuka bungkus roti sambil memandangi orang berteduh. Ia tersenyum simpul, ada kesenangan tersendiri melihat wajah kusut mereka. Hujan di pagi hari adalah petaka, banyak hal yang harus tertunda dan sudah pasti, karenanya banyak yang mengutuk.

Haha, manusia, sindir Sukma dalam hati. Kufur nikmat kalau kata guru agamanya dulu yang tiap malam datang ke rumah untuk mengajar Sukma dan adik perempuannya. Hujan adalah rahmat dari alam, banyak keberadaan yang timbul dan tumbuh karena hujan. Jadi kenapa berkah ini sangat dibenci sekarang? Karena waktu kedatangnnya tidak tepat—bagi orang-orang ini—turun di waktu krusial. Yah, namanya juga alam. Manusia tidak dalam posisi untuk memprotes apa yang tengah Tuhan dan semesta lakukan. Tidak terima? Maka kalian harus menjadi penjilat dan cobalah dekati Tuhan sedekat mungkin… siapa tahu kau akan naik derajat, atau kalau bisa cobalah melampauinya jika sanggup.

Heh, mana mungkin, aku sudah mencoba, Sukma terkekeh dengan pikirannya sendiri yang begitu geli dengan manusia. Tentunya dia bisa menertawai manusia karena sudah menganggap dirinya sendiri makhluk yang berbeda sejak enam bulan yang lalu. "Aku adalah bagian dari alam", itu yang terpatri pada pikirannya, seperti kata dalam paragraf terakhir di buku catatan: "Aku adalah kekosongan.". Dia menganggap dirinya sederajat dengan debu, awan, atau batu krikil yang derajatnya hanya diperkenankan untuk menerima tidak meminta.

Konsep tersebut juga yang membawa sedikit celah untuknya dan meyakini dia sudah semakin dekat dengan Semesta. Sekarang hanya tinggal menemukan cara untuk lepas dari belenggu. Meski menjelajah waktu bukan kehendaknya seorang, tapi dia sempat yakin bisa mencari jalan untuk merubah mukzizat menjadi petaka bagi Tuhan. Namun, sejauh ini obsesinya berakhir buntu. Sukma bahkan sempat belajar ilmu hitam sanking putus asa, tapi santet pun tidak berhasil dia lakukan.

Sukma meneguk air mineral sampai habis dan mendesah puas layaknya belum minum bertahun-tahun. Desahannya terdengar oleh seluruh orang di teras swalayan. Beberapa orang kemudian memandangnya, bertanya-tanya siapa orang ini, penampilan dan sikapnya sama-sama serampangan. Namuan sekali lagi, apa peduli Sukma, dia dan khalayak yang memperhatikan adalah keberadaan yang berbeda. Jadi buat apa peduli.

Sukma mengemasi sampah, kemudian membuang pada tempatnya. Sesudah itu ia membuka tas hiking, menarik jas hujan keluar. Sebelum mengenakan pakaian anti hujannya, Sukma terlebih dahulu mengenakan handsfree dengan aplikasi navigasi yang sudah aktif di smartphone-nya. Setelah beres, barulah ia kenakan jas hujan.

Selagi ia bersiap, makin banyak yang menonton Sukma. Heran dengan kehadirannya yang tidak biasa. Bahkan ada yang mulai merekam saat Sukma berjalan di tengah hujan.

Dia menemukan warnet-cafe yang dekat dengan swalayan; kalau dari aplikasi map sekitar dua puluh menit berjalan kaki. Akan menjadi perjalanan yang panjang bagi Sukma karena harus menyipitkan mata karena berjalan melawan arah angin, membuat pandangan matanya menyempit.

Kesampingkan pengendara mobil dan angkutan umum, dalam menit ini Sukma adalah pemenang, satu-satunya orang yang merajai trotoar pejalan kaki sementara yang lain beringsut di halte atau teras ruko—masih risih walau hanya terkena cipratan hujan—memeluk tubuh mereka sendiri kedinginan, sebagian menggosok-gosok tubuh dan ada juga yang merokok untuk menghangatkan diri. Karena itu Sukma adalah pemenang; meski pandangannya terganggu dan wajahnya banjir, tapi ia suka; meski dingin menggrayangi tubuhnya hingga ke tulang, tapi ia suka hingga bisa menahannya dengan sekedar kepalan tangan; meski petir saling bersahutan, tapi ia suka karena getar dan bunyi yang mereka hasilkan adalah musik bagi Sukma.

Sambil mengikuti arah yang ditunjukkan oleh sistem navigasi, Sukma teringat pernah takut dengan yang namanya hujan, apalagi kalau sudah berbarengan dengan petir. Dulu hujan deras sering kali diikuti dengan pemadaman listrik. Kalau sudah begitu, ia akan menyusul ke kamar ibu dan ayah, karena sejak masuk sekolah dasar Sukma harus tidur di kamar sendiri. Lampu yang padam membuat seisi rumah gelap, membuat kilat menjadi begitu menyeramkan baginya, sampai-sampai ia meringkuk di dalam selimut. Menutup mata serta tidur memunggungi jendela bisa membuat Sukma lebih tenang. Ini berkaitan dengan ibunya yang pernah bercerita kalau saudara mereka ada yang meninggal karena terkena serpihan kaca pecah akibat petir yang menyambar di dekat jendela kamar.

Ketakutan Sukma terhadap hujan berlangsung lama, bahkan ketika dia sudah menginjak bangku SMP (sekolah menengah pertama) sekalipun. Sewaktu pertama kali dapat kos, Sukma terpaksa pindah karena jendela nako kamarnya senang bergetar keras jika gemuruh datang. Bunyi krepyak kaca dan besi yang saling bersinggungan membuat hatinya tidak tenang sampai susah tidur selama hujan masih menghantui malam.

Dan tidak seperti anak-anak pada umumnya yang memiliki kenangan mandi hujan, Sukma hanya memiliki kenangan tentang dirinya yang selalu mengurung diri saat hujan; melihat mendung saja dia sudah ogah untuk keluar dan biasanya cepat-cepat pulang kalau sedang bermain.

Sukma sendiri tidak begitu ingat kapan persisnya dia mulai terbiasa dan tidak takut lagi pada hujan. Yang dia ingat, kalau sedang banyak pikiran dan tak tahu harus apa, ia akan senang jika rintik air dari langit tiba-tiba datang. Tidak sampai nongrong di teras sambil minum kopi, cukup berbaring dan memejamkan mata seperti dulu, tapi tidak bersembunyi di balik selimut sembari meringkuk… cukup mendengarkan suara air yang memukul loteng atau kaca jendela dan pikirannya jadi plong.

Mungkin seperti itulah kehidupan, segala hal akan berubah seiring berjalannya waktu. Cara pandang, pola pikir, serta kebiasaan, semuanya akan mengalami rekonstruksi sesuai dengan rute kehidupan yang diambil.

Jadi apakah dipermainkan waktu juga merupakan pilihan hidupku? pikir Sukma yang segala renungannya selalu kembali pada jalur hidupnya yang "dibuat kacau"—baginya—jawabannya sudah pasti akan ia jawab sendiri, dan lagi-lagi menyalahkan Tuhan bersama seisi alam.

Seketika Sukma berhenti. Tuhan, bisik Sukma sambil menatap langit kelabu. Ia berdiri mantap memanggil keresahan lama, sekali lagi menantang Tuhan untuk mencabut nyawanya, menunggu halilintar merebak di antara awan hitam dan menghantam dirinya dengan tegangan penuh. Dia merasa siap, tak sabar menanti ajal, tapi juga gemetar di saat bersamaan. Namun saying, sama seperti yang sudah-sudah: tak ada jawaban dari Yang Mahakuasa—tidak pernah ada jawaban—hingga membuat Sukma makin menjadi untuk tetap menyalahkan Tuhan, menyangkal kemunafikannya sendiri yang masih takut akan kematian.

"Seperti itulah diri-Mu," tutur Sukma seraya tersenyum kecut, sudah terbiasa dengan kebisuan semesta terhadap ego Sukma sendiri.