Adelia masih mengenakan gaun yang sama ketika ia meninggalkan flat 27. Gaun Itu ikut berkibar bersama angin yang berhembus dari arah sungai Margaret menuju perkebunan anggur di seberang. Masih terlalu pagi untuk berjalan-jalan di tepian sungai, dimana waktu masih menunjukkan pukul 7.30 pagi. Udara dingin yang mencengkeram, kadang menyusut di longcoat milik Adelia. Ia merapatkan kerah kearah lehernya dan membetulkan syal yang terbuat dari wol agar dirinya bisa lebih hangat.
Adelia membutuhkan jalan tenang ini, setelah sehari semalaman di cekoki oleh nasehat-nasehat Malik dan Lisa yang kadang ada benarnya. Tapi ia butuh mendengarkan isi hatinya sendiri. Satu pertanyaan yang pasti: Bagaimana perasaannya sekarang? Sedihkah Adelia? Marahkah Adelia? Cemburukah Adelia? Apa nama perasaan yang saat ini membuat fikirannya kacau dan hatinya serasa di cabik-cabik?
"Adelia…",sebuah suara yang sangat Adelia kenal memanggilkan dari arah belakang. Adelia berbalik…
"Justin…?", pekiknya pelan. Ia dapat melihat jelas sosok cowok yang pernah mengisi angan-angannya berbulan-bulan. Ia mengenakan kaos santai, jaket kulit dan jeans biru andalannya bersama sepatu kets berwarna putih. Gayanya tidak selalu berubah, selalu jaket yang sama, jeans yang mirip dan sepatu kets berwarna putih atau biru muda. Hanya kaus yang selalu berganti. Namun gaya khas seperti ini tidak pernah membuat Adelia bosan.
"Masih terlalu gelap Del, masih terlalu dingin. Kita masuk dulu ya…", pintanya sambil mengulurkan tangannya ke arah Adelia. Jarak mereka sekitar 3 meter. Adelia dapat melihat wajah Justin yang bersemu ketika ia tersenyum ke arah Adelia. Walau ia memiliki wajah yang mirip Bastian, namun Justin selalu tersenyum, selalu tertawa kecil, selalu memamerkan kerling matanya yang indah. Senyumnya selalu meneduhkan…
"Kamu nginep disini juga? Kamu sama siapa? Kenapa bawa gitar?", tanya Adelia. Ia melihat sebuah gitar akustik yang menempel di punggung cowok itu.
"Oh ini, iya…aku tadi baru aja buat lagu untuk kamu Del… aku… I miss you (aku rindu kamu)", tutur Justin penuh ketulusan. Ia maju selangkah dengan pelan, yang membuat kaki Adelia terasa kaku. Tiba-tiba Adelia merasakan sakit perih yang luar biasa mendengar tutur katanya. Nafas Adelia tersengal-sengal seakan aka nada hujan badai yang keluar dari matanya. Kenapa ia bersedih…
"Aku… I miss you too Justin…", katanya spontan! Lalu Adelia menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Kenapa? Kenapa seorang perempuan yang sudah menikah mengatakan hal seabsurd itu? Justin tersenyum penuh kemenangan. Ia kembali mengulurkan tangannya lagi.
"Kemarilah Adelia. Kamu pasti tau, only I who love you as is you are my universe…(Hanya aku yang mencintaimu seakan-akan kamu adalah jagat rayaku)", tutur Justin lembut. Adelia tidak mampu menahan tangis harunya. Setitik dua titik bulir-bulir air mata mulai menetes, seiring dengan tersunggingnya senyum. Adelia berjalan pelan kea rah Justin, menyambut uluran tangannya.
Tepat saat itu, tercium aroma mawar yang sangat tajam, dan Adelia melongok ke kiri dan kekanan untuk mencari dimana gerangan kebun bunga mawar yang menghantarkan aroma yang indah itu. Dan saat itu juga, Adelia merasa tangan kirinya di cengkeram sangat kuat! Adelia memutar kearah belakang dan mendapati Hisyam tengah mencengkeram tangannya dengan kuat!
"Princess Delia, you are mine, now and forever. No one can have you but I (Putri Delia, kamu adalah milikku, sekarang dan selamanya. Tidak ada yang boleh memilikimu selain AKU!)", katanya dengan mata yang berapi-api. Adelia terkecat.
"Jangan! Jangan! Aku sudah menikah! Aku sudah menikah! Ja…Ja..Jangannn!!!", Adelia berusaha berteriak, namun suaranya tertahan di tenggorokan. Ia menatap Justin, yang hanya terdiam terpaku. Tidakkah ia ingin menyelamatkannya sekali lagi?
"Justin…tolong! Justin tolongin aku!! JUSTIN!", Adelia kembali berteriak, namun sekali lagi teriakannya tertahan di tenggorokan.
"Hahahahah you are mine BITC* (kau adalah milikku, jal**g!)", teriak Hisyam sambil memeluk kuat tubuh Adelia.
"TIIDAAAKKKK", Adelia berteriak sehingga kepalanya ingin pecah, dan ia tidak sadarkan diri. Namun sebaliknya, ia justru tengah tersadar. Matanya terbuka, dan ia mendapati dirinya sedang berteriak di atas sebuah tempat tidur.
Waktu telah menunjukkan pukul 8 pagi, dimana matahari telah bersinar begitu terang dan indah. Cahayanya memantul-mantul ke segala arah berkat sungai Margaret, dan memasuki kamar villa Adelia. Dalam sekejap, cahaya itu menyinari tubuh Adelia, yang entah kenapa dipenuhi oleh peluh keringat di suhu yang tidak panas. Ia baru saja selamat dari mimpi yang sangat buruk. Adelia berusaha untuk bernafas lega.
Ketika cahaya menyinari kelopak matanya yang masih setengah tertutup, rasa pusing dan nyeri segera mendera kepalanya. Ia ingat hanya menghabiskan bergelas-gelas wine secara perlahan-lahan, namun efeknya bisa begitu dasyat.
"Boleh juga nih ia borong beberapa botol wine ini untuk persediaan", pikir Adelia. Ia memijat-mijat kepalanya dengan mata tertutup, berusaha mengenyahkan nyeri dikepala yang membuat pandangannya berkunang-kunang. Ia gosok-gosokkan kakinya ke seprei dan selimut untuk mencari kenyamanan disana. Andaikan saja ia sempat membawa guling andalannya. Ia akan tidur kembali. Fix. Adelia menggulingkan tubuhnya kearah kanan dan mulai menutup kembali matanya.
"Masih sakit kepalanya?", tanya sesosok suara yang sangat familiar di telinga Adelia. Ia lantas menoleh cepat ke arah belakang, tempat dimana seharusnya Lisa tidur! Adelia begitu kaget, nyaris saja hidungnya bertabrakan dengan hidung Bastian! Entah sudah berapa lama Bastian memperhatikan Adelia dengan posisi seperti itu. Suaminya itu dengan begitu nyaman tiduran menghadapnya, dengan sebuah tangan masuk kebawah bantal dan satu tangan lagi berusaha untuk memegang kepala Adelia.
"T…T….Tian…", tutur Adelia terbata-bata. Ia mencoba mengingat kejadian demi kejadian tadi malam. Apakah ia masih bermimpi buruk? Ia ingat pizza, ia ingat botol wine, ia ingat bermain truth or dare sambil TV. Tapi ia tidak mengingat Bastian. Kapan ia datang? Tapi yang lebih penting, sedang apa ia di tempat tidur Adelia?
"Kalo kamu masih ngantuk, tidur aja lagi", kata Bastian sambil mengelus kepala Adelia dengan lembut. Istrinya itu kontan terkejut dan menghempaskan tangan suaminya itu.
"Kenapa kamu bisa ada disini. Lebih tepatnya kenapa kamu bisa tidur sama aku di sini?", tanya Adelia dengan nada marah sambil berusaha duduk. Ketika Adelia menyingkap selimutnya, ia sungguh terkejut ketika mendapati ia tidak menggunakan baju yang sama dengan yang ia gunakan tadi malam. Ia sedang menggunakan sebuah kaos kebesaran dengan celana pendek, yang sepertinya adalah milik Bastian.
"Tiiaaaannn! Kenapa aku pake baju kamu?", tanya Adelia histeris. Suaminya yang tadinya akan kembali menutup matanya, tersenyum malu-malu.
"Menurut kamu?", tanyanya jahil.
"Ngomong yang jelas! Jangan berbelit-belit. Kamu apain aku hah?!", tanya Adelia sambil membentak suaminya, sambil mencengkeram selimut ke arahnya dan berusaha menutupi hampir seluruh tubuhnya. Ketika itu terjadi, Adelia lebih terkejut lagi karena Bastian ternyata hanya menggunakan celana pendek, tanpa atasan. Hanya celana pendek.
"Tiiiaaannn!!!", Adelia berteriak panik sambil menutup matanya. Jantungnya berdegup kencang ketika disuguhi pemandangan begitu banyak otot ramping, dari ujung leher sampai tulang betis Bastian! Aroma maskulin yang mengendap di balik selimut, kontan menyeruak ke hidung Adelia. Begitu banyak hormon testosterone yang berkecamuk, membuat Adelia merasa mabuk. Kali ini bukan mabuk karena alkohol.
"Hahahahaha santai Del, hati-hati loh kalo mau menyingkap sesuatu. Cowok itu kalo pagi-pagi gak santai, aku berusaha menahan mati-matian loh ini", tutur Bastian santai sambil merebut kembali selimut dari Adelia untuk menutup bagian pinggang ke bawahnya. Sepertinya sedang ada aktifitas tidak santai disitu.
"Maksudnya?", tanya Adelia tidak mengerti. Kali ini ia menurunkan tangannya dari matanya sedikit, sehingga ia bisa mengintip wajah Bastian. Sungguh gemas melihat Adelia saat ini. Jari-jarinya yang kecil dan kurus tentu saja tidak bisa menutupi mata penasarannya. Bastian terlalu menggiurkan untuk dilewatkan.
"Maksudnya, cowok itu kalo pagi-pagi ada morning glory, itu loh, pagi-pagi suka lebih tegang aja, jadi harus di tuntaskan….gituuuu",kata Bastian sambil mencengkeram selimut yang bergulung di area pinggulnya. Ketika Adelia memahami, ia blingsatan. Ia segera melempatkan bantal ke arah suaminya. Adelia pernah mendengar selentingan tentang aktifitas pagi cowok dari teman-temannya dulu. Tapi dia tidak menyangka kalau saat ini ia sedang berhadapan dengan salah satunya!
"Dasar Tian mesum! Ayo katakan, apa yang udah kamu buat sama aku tadi malam?", tanya Adelia lagi dengan mata melotot. Bastian tersenyum malas dan kembali memasukkan salah satu tangan di balik bantal dan mencoba untuk tidur kembali. Sejak kepulangan mereka dari Jakarta, belum pernah Bastian tidur senyenyak ini. Mungkin tidur ternyenyak terakhir baginya adalah, malam terakhir yang ia habiskan bersama Adelia di hotel.
"Ada dehhhh", katanya dengan senyum jahil.
"Kenapa aku pakai baju kamu?!", tanya Adelia lagi. Ia meremas kaus kebesaran itu sehingga wangi pelembut pakaian yang berpadu dengan aroma khas Bastian bertebaran memasuki hidungnya. Kembali, sebuah aroma yang memabukkan. Bastian terdiam sebentar, dan ia memutuskan untuk lebih jujur kepada Adelia.
"Okeh, tadi malam kamu mabuk berat, dan muntah. Untuk aja muntahnya di lantai, bukan di sofa. Jadi ya terpaksa aku beresin. Baju kamu sedang di cuci sama room service. Salah sendiri kenapa kamu gak bawa baju ganti. Untuk aja di mobilku tadi ada baju buat olahraga", jawab Bastian.
"Kamu yang gantiin baju aku?", tanya Adelia panik. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya sehingga rambutnya yang kusut bergoyang kemana-mana. Adelia menyesalinya, karena seketika kepalanya semakin nyeri akibat pergerakan tiba-tiba pada kepalanya itu.
"Iya, kenapa memangnya?", tanya Bastian heran, namun ia kuatir melihat keadaan Adelia. Bastian refleks setengah duduk dan mengulurkan tangannya kembali untuk memegang kepala Adelia.
"Kkk…kkk..kkaamuu? Memangnya Lisa kemana?", tanya Adelia.
"Lisa udah pulang tadi malam sama Malik. Mereka gak mau ganggu bulan madu kita. Jadi ya, terpaksa aku deh yang gantiin baju kamu. Aku buka baju kamu, aku seka dari muntahan kamu, dan yaaaaa lumayan lah aku bisa mengambil hak aku sebelum aku pakein kamu baju", jawab Bastian sambil mengedipkan salah satu matanya sambil merenggangkan badan kekarnya ke kiri dan ke kanan. Entah ia sengaja atau tidak memamerkan begitu banyak kulit di hadapan Adelia. Tapi bohong bila Adelia tidak terkesima. Ia marah, tapi juga terguir pada suaminya.
"Tidur lagi yuk Del, udaranya enak banget nih buat guling-gulingan di tempat tidur", pinta Bastian sambil menarik pergelangan tangan Adelia dengan lembut. Dengan tenaganya yang kuat, hampir saja Adelia terguling ke pelukan Bastian. Istrinya itu kontan melepaskan dengan paksa.
"Hhhh….hhaaakkk??? Hak apa yang kamu bicarain Tiiaaannn! Ngomong yang benerrrr! Apa yang udah kamu lakuin sama aku?", tanya Adelia panik sambil mengecek keadaannya. Ia meraba-raba dadanya, pinggulnya, lehernya. Tidak ada tanda-tanda pelecehan atau nyeri.
"Kamu ke sini sama Maretha?", tanya Adelia sinis. Bastian berhenti tersenyum. Matanya mengerjap pelan sambil terus menatap Adelia. Sungguh sebuah penghancur suasana saja bila membahas perempuan itu. Padahal tadinya suasananya masih romantis dan ia sangat menikmatinya.
"Enggak. Aku sendiri." Jawab Bastian tenang. Siapa juga yang mau membawa Maretha. Bila saja Adelia tahu bagaimana perjuangan Bastian agar bisa terlepas dari Maretha dan menyetir berjam-jam agar bisa sampai disini dengan selamat. Ia mulai tidak tenang ketika Malik mengirimkannya sebuah foto Adelia yang sedang murung melamun di tepi sungai Margaret.
"Tumbeennnn!", komentar sinis Adelia. Ia berdiri dari tempat tidur dan melipat tangannya di dadanya sambil menatap Bastian dengan tajam.
"Kenapa kamu kesini?", tanyanya judes. Bastian sudah menduga, pertanyaan ini akan keluar juga. Selama 2 jam lebih Bastian habiskan menyetir dari asrama menuju villa itu, selama itu juga ia mencoba memikirkan kenapa ia harus menyusul mereka. Bastian tidak mengerti kenapa ia harus berada di sisi Adelia saat ini. Ia hanya tau, bahwa ada satu hal yang ingin ia katakana, satu hal yang ingin ia yakinkan kepada Adelia. Tapi selama berjam-jam itu, ia tidak tahu apa itu.
"Aku…aku kuatir sama kamu Del…", kata Bastian. Ya, itu mungkin jawaban paling universal dan paling aman saat ini. Tidak bisa dipungkiri, Bastian memang mengkuatirkan Adelia.
"Oh ya? Memangnya aku bisa apa disini? Bunuh diri?", tanya Adelia.
"Del… jangan ngomong gitu…", kata Bastian yang akhirnya ikut berdiri ke arah Adelia. Adelia segera berjalan menjauh dari Bastian dan menuju pintu keluar. Ia harus segera melarikan diri sejauh mungkin dari suaminya yang tukang selingkuh itu!
"Hati-hati, jangan gerak terlalu frontal. Nanti kamu mual dan muntah lagi.", Bastian memberi peringatan sambil mencengkeram tangan Adelia lembut. Istrinya itu kontan kembali menarik tangannya.
"Leave me alone (tinggalkan aku sendiri)", kata Adelia sambil membuka paksa pintu kamar mereka. Tidak, ia masih belum lupa dengan suasana hatinya ketika datang ke villa ini. Baru 24 jam yang lalu ia bertengkar dengan Bastian di samping tong sampah mengenai hak dan kewajiban suami istri. Apa hak Bastian disini, ketika ia tidak memperlakukan Adelia seperti seorang istri?
Bastian mendengus kesal. Istrinya itu marah karena ia tidak membawa Maretha. Padahal, Adelia juga bukan seorang malaikat. Bahkan di dalam tidurnya pun, ia masih menyebut nama laki-laki lain. Justin…Hisyam… "Adel, tidak adakah ruang untukku dihatimu?", tanya Bastian dalam hatinya. Ternyata ketika Adelia bermimpi buruk, secara tidak sengaja ia berteriak-teriak memanggil nama kedua laki-laki masa lalunya itu. Bastian entah kenapa merasa sakit hati luar biasa.
Segera ia menuju kamar mandi, dan berdoa semoga ada sesuatu yang bisa ia kenakan. Satu-satunya baju ganti yang ia miliki di mobil, sudah ia serahkan kepada Adelia.
Ketika Adelia keluar dari kamar, ia disuguhkan pemandangan Malik dan Lisa yang sedang duduk santai di sofa 3 seater. Malik sedang duduk sambil berusaha menonton TV, sedangkan Lisa setengah rebahan dan berusaha menyodorkan salah satu kakinya ke hidung Malik, agar cowok itu mampu mencium kaus kakinya.
"Bau gak Lik? Coba kau cium dulu", tanya Lisa iseng.
"Ih dasar lo cewek gillaaaaaa! Ngapain lo nyodorin kaki lu ama gue. Minggiiiirrr! Bau tauu!", teriak Malik sambil menghempaskan kaki itu sehingga Lisa dengan sukses terguling jatuh ke lantai. Untung saja ada karpet yang sangat tebal yang menampung tubuh Lisa.
"Loh! Kalian masih disini?", tanya Adelia kaget. Malik dan Lisa terkejut melihat Adelia, namun akhirnya mereka saling berpandangan dan tersenyum nakal.
"Ah cieee yang pengantin baru, abis aktifitas malam dan pagi ya. Ngarepin banget kita udah gak disini ya Lis, hehehehe", ejek Malik sambil mencoel lengan Lisa. Gadis itu ikut tertawa.
"Ahhh Adel, jangan kuatir Del. Gak dengar kami kok. Soundproof kurasa kamar itu. Jadi acemana? Sukses?", tanya Lisa sambil menyodorkan jempolnya kea rah Adelia. Adelia melotot ke arah Malik dan Lisa, seakan-akan ingin murka luar biasa. Teganya kedua temannya menjebaknya sehingga terjadi pelecehan seksual.
Tiba-tiba Bastian sudah berjalan ke arah sofa sambil memberikan jempolnya ke arah Lisa, seakan-akan menjawab pertanyaan gadis itu. Ia mengenakan sebuah jubah mandi yang sepertinya ia temukan di kamar mandi.
"Ah ciiieee paten lah memang abang kita satu ini. Gak percuma badan tegap muka ganteng macam Lee Min Ho. Rupaknya tokcer juga ya. Bisalah Lik berapa bulan lagi terima ponakan kita", sahut Lisa sambil kembali memposisikan dirinya di salah satu Sofa. Kali ini ia menyodorkan 2 jempol ke arah Bastian dan Adelia secara bergantian.
Adelia kontan berlari kearahnya, mengambil sebuah bantal dari sofa dan membekap wajah gadis itu.
"Awww awww awww TWOOOWOOONGGGGG", Pinta Lisa sambil tertawa-tawa.
Owww gagal deh malam pertama. Tapi jadi salah sangka terus nih yah. Adelia masih merasa Bastian cinta sama Maretha, sedangkan Bastian masih merasa Adelia belum bisa melupakan Justin dan Hisyam. Semoga keadaan seperti ini gak sampai lebaran Kuda ya hihihi
Bab selanjutnya: Bawa aku pergi, Bastian