Setelah sesaat beristirahat, kembali Prayoga melebarkan kaki untuk dijejakkan ke sela dinding tebing. Matanya menatap sebuah sela dinding tebing di atas. Lalu, dengan mengangkat tubuh, tangannya kembali meraih sela itu untuk berpegangan. Prayoga memalingkan wajah melihat ke bawah. Lalu, satu tangannya kembali masuk ke dalam kantung untuk mengambil piton.
Diselipkannya kembali piton itu di bibir. Setelah menemukan sela di dinding tebing untuk menancapkan, piton itu diambil sambil merapatkan tubuh. Kedua kaki ditekan-tekankan bergantian, lalu Prayoga menancapkan piton. Dengan berhati-hati pula, hammer diambil kembali dari kantung. Sambil berpegangan, dengan tetap berhati-hati, hammer berulang kali memakukan piton agar kuat tertancap.
Kemudian, satu tangan Prayoga kembali masuk ke dalam kantung untuk mengambil deskender. Setelah dapat, Prayoga menyelipkannya di bibir. Ia berganti tangan untuk berpegang di sela tebing. Deskender itu kemudian dikaitkan ke piton. Karamantel pun ditarik dan dimasukkan ke sela deskender yang telah terpasang.
"Huuugh!"
Helaan napas panjang Prayoga kembali terdengar oleh Paramitha. Jam di dinding kamar memperlihatkan, Prayoga telah mendaki selama hampir sejam. Paramitha berulang kali menoleh ke situ.
"Selalu hati-hati, Sayang. Pasti nyampe kog," bisik Paramitha.
Biasanya jika ikut ke lokasi, Paramitha yang mengevaluasi lama pendakian di titik-titik tertentu. Sebagai tim ofisial, ia menghitung lama pendakian dan tingkat kesulitannya. Sebagai suami istri, Prayoga dan Paramitha yang dipertemukan dalam sebuah event panjat tebing, telah mengerti akan resiko kematian akibat jatuh dari ketinggian. Oleh karena itu, Paramitha diminta Prayoga untuk mengevalusi setiap kegiatan pendakiannya. Namun, dengan ketidak-ikutsertaanya seperti sekarang, rasa was-was tak dapat Paramitha elakkan.
Prayoga tak menjawab bisikan Paramitha melalui sambungan suara yang dipasangkan Rangga di helm-nya itu. Ia berkonsentrasi penuh ke alur pemanjatan yang sedang dilakukan. Wajahnya kembali ditolehkan ke bawah. Rangga dan Bisma semakin terlihat kecil. Kemudian Prayoga mendongakkan kepala ke atas. Udara semakin ke atas tebing pun semakin terasa panas.
Satu kaki kembali dilebarkan dan Prayoga segera mengangkat tubuh, begitu pijakannya dirasa kuat. Tangan yang terulur ke atas pun dengan cepat meraih sela di dinding tebing. Terlihat sela untuk menancapkan piton, Prayoga segera memasukkan satu tangan untuk mengambil dari dalam kantung. Ia terus merapatkan tubuh ke dinding tebing.
Piton itu segera ditancapkan ke sela dinding tebing. Prayoga kemudian mengambil hammer. Dengan satu tangan yang berpegangan, hammer pun memakukan piton yang ditancapkan di sela dinding tebing. Kembali deskender diambil dan dikaitkan ke piton. Kemudian, karamantel ditarik dan diselipkan ke deskender.
"Huuugh!"
Prayoga mendongakkan kepala. Kemudian, ia menoleh ke bawah. Titik-titik peluhnya jatuh bercururan.
"Kira-kira setengah lagi, Sayang."
Prayoga berbisik ke sambungan suara dengan Paramitha. Pandangan dinaikkan ke atas, melihat tebing batu yang akan kembali didaki.
"Semangat ya Sayang."
Tidak ingin sesuatu yang mengganggu pendakian sang suami, dari ujung sambungan suara Paramitha menjawab dengan lembut. Ia ingin menyemangati Prayoga agar menyelesaikan pendakian.
"Rasanya, akan jadi kado ultah yang istimewa untuk Sayang kalo pendakian ini berhasil dengan baik," kata Prayoga.
"Aku juga ada kado untuk Sayang nanti pulang. Kejutan," bisik Paramitha.
Prayoga yang sedang bergelantungan di dinding tebing, tersenyum mendengar itu.
"Apa itu?"
Sengaja ia berhenti untuk bertanya dan menanti jawaban. Namun, Paramitha hany menggeliat di tempat tidur. Ia terkikih. Sekilas matanya melirik ke jam dinding kamar.
"Gak kejutan lagi dong kalo dikasih tau sekarang,"
Kata-kata Paramitha itu sungguh menggelikan bagi Prayoga.
"Hahaha ... gitu ya?"
Prayoga tertawa. Melanjutkan kembali pendakian, tangan yang sedang memegang sela dinding tebing untuk bergelantungan, diganti dengan tangan yang satunya. Kaki pun dilebarkan untuk menjangkau sebuah celah lain di dinding tebing.
"Aku lanjut dulu, Sayang. Nanti kasih tau ya."
Prayoga yang sedang dalam posisi berbahaya, terdengar seperti tidak ingin melakukan kesalahan. Sambil menjejakkan-jejakkan kaki yang dilebarkan itu ke sebuah tonjolan batu, ia terpaksa mengakhiri pembicaraan.
"Hati-hati, Sayang. Jangan buru-buru. Pasti nyampe kog," kata Paramitha.
Begitu pijakan di tonjolan batu itu terasa kuat, Prayoga mengayunkan tubuh. Segera ia meraih sebuah sela lain di dinding tebing. Namun ....
Shrak ...!
Pegangannya kuat tetapi kaki tergelincir. Prayoga terdiam sejenak, membiarkan tubuhnya terayun. Setelah beberapa saat, kakinya menggapai sebuah sela lain di dinding tebing.
"Huuugh" desahnya untuk menghela napas panjang.
---
Bersambung