"Apa ada yang salah dengan perkataan saya, Tuan?" tanya Rania heran dengan reaksi orang di depannya.
Kriss langsung menggelengkan kepala cepat. Laki-laki masih melongo bagaikan baru mendengar berita mengejutkan abad ini.
Mana mungkin seorang Bos besar seperti Alva terkenal sebagai seorang imfoten di kalangan para gadis sementara laki-laki itu ….
Ah, sebenarnya Kriss sendiri tidak yakin akan kegagahan Alva. Selama mengenal Alva dari usia belia hingga kini sudah berjanggut, putra dari Bos-nya itu memang tidak pernah terlihat jalan dengan wanita manapun selain kedua wanita kesayangannya.
"Tuan? Apa Anda baik-baik saja?" tanya Rania sambil melambaikan tangan di hadapan wajah Kriss.
Lagi, Kriss mengangguk tapi tak lama menggelengkan kepala. Tentu itu membuta Rania semakin mengernyit kebingungan.
"Tuan, jadi bagaimana? Apa saya diterima untuk bekerja di sini?" tanya Rania harap-harap cemas.
Kriss langsung mengulurkan tangannya ke arah gadis itu, membuat Rania dengan kebingungan menjabat uluran tangan Kriss.
"Selamat Nona Rania Carolina, Anda diterima bekerja di sini. Jangan sampai telat datang karena Tuan Alva paling tidak suka pada orang yang jam ngantornya ngaret!" ucap Kriss memperingatkan Rania.
Gantian, sekarang gadis itu yang melongo tidak percaya dengan apa yang di dengarnya. Benarkah dia diterima bekerja di perusahaan besar ini?
"Tu-Tuan, apa Anda yakin kalau saya di terima?" tanya Rania yang takut jika pendengarannya bermasalah.
"Ya, Anda diterima bekerja di sini, Nona. Ini kontrak kerjasama nya, tolong ditandangani sekarang juga!" ucap Kriss yang langsung menyodorkan berkas yang berisi kontrak kerjasama Rania dan Alva Group.
"Baik, Tuan."
Rania segera membaca dengan cermat apa yang tertulis dia atas kertas putih itu. Dia tidak ingin jika harus terjebak dalam pekerjaan yang benar-benar akan merugikannya.
Setelah memastika tidak ada yang aneh, Rania segera membubuhkan tandatangannya.
"Selamat bergabung di perusahaan kami, Nona. Tolong siapkan mental pisik dan juga batin Anda. Pastikan semua kesempurnaan dan juga kepintaran Anda dalam bekerja, ditumpahkan di perusahaan ini dengan baik. Tolong bantu saya untuk mengakhiri cari mencari sekertaris lagi. Saya sudah lemah, dan tidak bertenaga lagi untuk melakukan hal itu," keluh Kriss dengan raut wajah yang tersiksa.
"Baik, Tuan. Terimakasih sudah memberikan saya kepercayaan untuk bekerja di sini," ucap Rania beranjak dari duduknya.
"Sama-sama, Nona. Jangan lupa, Anda tidak boleh sampai telat!" ucap Kriss kembali memperingatkan.
"Tentu, Tuan. Kalau begitu, saya permisi undur diri," pamit Rania.
"Silahkan."
Dengan bibir yang merekah, gadis itu keluar dari ruangan HRD. Dia harus segera pulang untuk mempersiapkan segalanya besok.
Tentu saja Rania tidak ingin berbuat kesalahan, apalagi menurut informasi, Alva tidak pernah mentolelir siapa pun yang berbuat lalai.
"Semoga saja keputusanku untuk bekerja di sini adalah hal yang benar. Apalagi mengingat Tuan Alva yang selalu menginginkan kesempurnaan, pasti akan sangat cocok berkerja denganku," gumam Rania penuh kebahagiaan.
Gadis itu segera mengutak-atik ponselnya untuk mengabarkan kepada sang sahabat jika dia sudah berhasil mendapatkan pekerjaan yang diinginkannya. Pasti temannya itu akan ikut senang karena Rania bisa bekerja dengan orang yang akan benar-benar mengedepankan sikap profesional dari pada perasaan yang tidak jelas.
Sesekali gadis itu tersenyum saat berbalas pesan dengan sahabatnya. Namun, karena terlalu fokus pada ponselnya, Rania tidak memperhatikan jalan di depannya. Hingga ….
Brakk …..
"Awww …." Pekik Rania kaget. Belum lagi rasa sakit di keningnya membuat gadis itu langsung menggosok-gosok di tempat yang terasa nyeri itu.
"Siapa yang nyimpen patung di sini, sih?" gerutu Rania masih terus mengusap-usap keningnya.
"Heh, cewek aneh! Siapa yang kamu sebut patung, Hem?"
Deg.
Suara menyeramkan itu membuat Rania yang sedang asik menunduk sambil mengelus keninganya, perlahan mendongak.
Matanya langsung melebar dengan kaki yang mundur ke belakang beberapa langkah.
"Apa patung lilin sekarang sudah bisa berbicara?" monolog Rania sambil mengusap tengkuknya yang mendadak meremang.
Sedangkan orang yang Rania sebut patung itu, langsung menampakan raut wajah kekesalan yang tiada duanya.
"Siapa yang kamu sebut patung? Aku ini manusia! M A N U S I A!" tegas orang itu bahkan mengeja kata manusia dengan tatapan yang begitu tajam pada Rania.
"Oh astaga! Maafkan aku, Tuan. Aku pikir Anda patung lilin atau sejenisnya. Habisnya, dada Anda keras sekali," ucap Rania nyengir memamerkan gigi putihnya.
Laki-laki itu langsung mendengus kesal mendengar perkataan Rania. Sungguh, saat ini egonya benar-benar ternodai oleh gadis itu.
"Heh! Apa kamu tidak bisa membedakan mana yang patung dan mana yang orang? Apa harus setiap yang berdada keras itu patung? Bukankah manusia juga memiliki tulang yang sangat keras, hah?" ketus si laki-laki benar-benar terlihat seperti ingin melumat habis tubuh Rania.
"Maafkan aku, Tuan. Aku hanya bercanda. Emm, lagian ini salah Tuan sendiri yang malah menghalangi jalan orang. Harusnya Tuan bisa lebih berhati-hati lagi supaya kejadian seperti ini tidak perlu terjadi," ucap Rania sambil meremas jemarinya gugup.
Sedangkan si laki-laki yang kini ada di depan Rania, kembali membulatkan matanya tidak terima dengan apa yang Rania katakan. Siapa juga yang akan terima di salahkan oleh si pelaku kejahatan.
"Heh, kamu! Harusnya kamu sadar diri! Kamu sendiri yang menabrak aku! Siapa suruh kamu terus main handphone saat berjalan sampai tidak memperhatikan langkahmu! Dan sekarang kamu membuat aku seperti terdakwa, begitu? Wah, apa Anda ini berasal dari barisan emak-emak yang tidak pernah mau disalahkan?" cibir orang itu dengan tatapan begitu kesal pada Rania.
"Benarkah? Tapi saya tidak bermaksud menabrak Anda, Tuan. Anda sendiri yang malah menghalangi jalan saya. Jadi, di sini jelas yang salah bukan saya saja, melainkan Anda juga!" sakras Rania benar-benar tak ingin di salahkan.
"Heh, manusia sejenis apa yang tidak tahu malu sepertimu ini? Sudah bersalah masih saja berkilah. Bahkan kamu juga menyeret orang lain kedalam masalah yang kamu ciptakan sendiri? Wah! Sunguh luar biasa, Anda!" ketus si laki-laki semakin berapi-api saja.
"Ta-tapi itu kenyataannya, Tuan. Anda …."
"Anda apa, hah? Kamu masih mau mengelak dan tidak ingin bertanggung jawab? Apa kamu tidak bisa mengeluarkan kata maaf dari mulutmu itu walaupun sedikit saja? Bagimana kamu bisa berlaku kurang ajar seperti ini?" geram si laki-laki semakin gemas saja pada kelakuam Rania.
"Tuan, bukan saya tidak ingin meminta maaf, tapi di sini yang salah itu adalah kita berdua. Rasanya akan tidak adil jika hanya saya yang meminta maaf. Jadi, ayo kita minta maaf bersama-sama," ajak Rania yang sepertinya tidak ingin rugi karena meminta maaf sendirian sedangkan si laki-laki di depannya juga salah.
"Heh, kamu itu tidak …."
"Tuan Alva, kenapa Anda masih di sini? Sebentar lagi kita akan ada meeting."
Deg.