webnovel

Pemilihan Sekretaris

Selama perjalanan pulang, Alvia terus berceloteh ria tentang apa saja yang dilakukannya di kampus hari ini. Gadis itu memang selalu seperti ini jika sedang bersama sang Kakak. Bahkan, tingkat manjanya pun bisa bertambah berkali-kali lipat jika dibandingkan saat bersama ayahnya.

Alva memang membebaskan sang adik untuk bergaul selama itu masih dalam batas wajar. Dia tidak mau terlalu mengekang sang adik hingga akan membuat sisi pemberontak itu muncul nantinya.

Namun, Alva akan langsung pasang badan jika ada laki-laki yang mendekati adiknya. Jangankan menyentuh, sekedar menggoda dengan kata-kata pun, tidak Alva biarkan.

Alvia sudah tahu betul sifat kakaknya ini. Jadi, dia tidak pernah berniat melanggar aturan. Apalagi, meskipun kakaknya tidak ada di tempat, mata laki-laki itu terlalu banyak untuk bisa Alvia hindari.

Ah, lagipula Alvia belum mempunyai pikiran untuk menjalin hubungan dengan seseorang di usianya yang baru 21 tahun ini. Kehadiran sang kakak dan juga ayahnya, terlalu sempurna untuk Alvia mencari perhatian dari lelaki lain.

Biarlah nanti kakaknya yang memilihkan dia jodoh, dan tentunya harus lolos seleksi yang sangat ketat untuk bisa memilikinya.

Tak berselang lama, akhirnya kedua kakak beradik itu tiba juga di rumah. Wanita yang masih cantik di usia yang sudah matang, terlihat sudah menunggu di depan pintu. Tentu wanita itu cemas karena Alvia yang pulang terlambat. Apalagi, gadis itu tidak membawa sopir bersamanya.

"Saatnya kamu menjelaskan semuanya pada Bunah, Via! Awas kalau kamu berbicara hal yang akan membuatnya sedih!" ucap Alva memperingatkan karena kadang Alvia suka sekali berbicara ceplas-ceplos yang akan membuat ibu mereka tersinggung.

"Iya, Kak. Aku tidak akan melakukannya," sahut Alvia sambil menundukkan wajahnya.

"Hem, bagus! Ayo kita turun sekarang dan jelaskan apa yang membuat kamu telat pulang!" ajak Alva dan dijawab anggukkan kepala oleh adiknya.

Kedua kakak beradik itu langsung turun dari mobil dan menghampiri wanita yang raut wajahnya kurang bersahabat.

"Kamu dari mana aja, Via? Kenapa pulang terlambat? Ini lagi, kenapa kamu jadi diantar Abang Alva? Kamu buat ulah lagi di kantor?" tanya Marissa bertubi-tubi.

Pasalnya bukan sekali Alvia berbuat nakal untuk memancing kemarahan kakaknya, tapi sudah berkali-kali. Itu dikakukan oleh Alvia, karena penasaran akan seperti apa dimarahi oleh sang kakak.

"Aku tidak melakukan apa pun, Bunda. Tadi mobilku mogok," jawba Alvia dengan bibir yang mengerucut.

"Benarkah seperti itu, Bang?" tanya Marissa penuh selidik pada anak sulungnya.

"Benar, Bunah. Tadi aku sudah memerintahkan montir untuk memperbaiki mobil Via. Entah apa yang membuatnya ngadat kali ini," jawab Alva membenarkan perkataan adiknya.

"Awas kalau kamu menutupi kesalahan adik kamu ini, ya, Bang! Bubund enggak suka!" ucap Marissa dengan tatapan yang begitu tajam.

"Itu tidak mungkin, Bunah. Aku tidak berminat menjadi Malin Kundang yang durhaka pada ibunya. Karena Alvia sudah sampai dengan selamat, aku harus kembali bekerja lagi. Bunah baik-baik di rumah, Hem." Alva langsung mengecup kening ibunya penuh sayang lalu segera berbalik untuk kembali ke perusahaan.

"Abang enggak pulang lagi malam ini?" tanya Marissa dengan suara tercekat menahan tangis.

Alva berbalik lalu menyunggingkan senyuman pada ibunya.

"Aku akan pulang," jawab Alva membuat senyum merekah di bibir Marissa langsung terlihat.

"Bubund akan buatkan makanan kesukaan kamu," ucap Marissa penuh antusias.

"Tentu, aku akan secepatnya menyelesaikan pekerjaanku agar bisa pulang lebih awal," sahut Alva lalu kembali meneruskan langkahnya.

Sampai di mobil, Alva langsung tancap gas meninggalkan pelataran rumah. Dari kaca spion dia bisa melihat sang ibu menyeka air matanya.

Itu cukup membuat Alva merasa sesak, karena lagi-lagi dia membuat sang ibu menangis.

Bukan inginnya untuk tidak pulang dan menghabiskan waktu di kantor. Namun, semenjak sekertaris nya resign, Alva harus bekerja ekstra untuk membuat semuanya berjalan seperti yang dia harapkan.

Inilah akibatnya, laki-laki itu kembali membuat sang ibu menitikkan air mata karena terlalu merindukannya.

"Huft, maafkan aku, Bunah. Aku berjanji akan pulang malam ini," gumam Alva dengan helaan napas berat.

****

Sedangkan di perusahaan Alva Group, orang-orang yang ingin melamar menjadi sekertaris Alva begitu banyak sekali mengantri menunggu hasil interview yang baru saja mereka lakukan. Meskipun mereka tahu resikonya bekerja dengan seorang Bos killer, tapi itu tidak membuta niat mereka urung. Apalagi, gaji yang ditawarkan benar-benar besar.

Begitupun dengan seorang gadis berparas cantik yang dengan asik dengan ponselnya. Dia adalah Rania Carolina. Wanita cerdas yang sudah tidak asing lagi di telinga para petinggi perusahaan.

Bukan karena wanita itu open OBO, tapi kelihaiannya dalam menggaet para investor, mengerjakan pekerjaannya dengan hasil yang selalu sempurna, bahkan kecantikannya pun sudah menjadi buah bibir.

Banyak para pengusaha yang menginginkan Rania bergabung dengan mereka, namun selama ini belum ada Bos yang benar-benar cocok dengannya.

Bukan karena bayaran atau sejenisnya, tapi kebanyakan dari mereka berakhir dengan menaruh hati pada gadis itu.

Hingga, ketika Rania mendengar ada Bos tampan yang tidak menyukai wanita, dan kini sedang membutuhkan seorang sekertaris, membuat wanita itu tanpa pikir panjang langsung datang ke sini.

Ya, meskipun tampan dan segala kesempurnaan tersemat pada Alva, namun ada satu kekuranga dari Bos tampan itu. Yaitu, tidak pernah terlihat jalan dengan wanita manapun selain ibu dan juga adiknya. Itu membuat rumor beredar tanpa bisa di bantah, jika Alva adalah seorang impoten.

Bos seperti inilah yang Rania cari, hingga dia tidak perlu repot-repot untuk keluar masuk perusahaan lagi. Bukan gadis itu tidak mau menjadi seorang istri dari Bos besar. Namun, kenyataan bahwa para Bos besar selalu memiliki lebih dari satu wanita membuat Rania enggak tertarik menjadi istri mereka.

Rania tidak ingin berbagi. Dia benar-benar hanya ingin memiliki sesuatu untuk dirinya sendiri.

"Rania Carolina!" panggil seseorang membuat Rania yang tengah fokus pada ponselnya langsung mengalihkan pandangan.

"Ya, Tuan."

"Silahkan masuk!"

Rania segeda bangkit dan memsuki ruangan HRD. Hatinya terus melapalkan do'a, berharap dia akan diterima untuk bekerja di perusahaan Alva Group ini.

"Melihat semua CV Anda ini, tidak ada sedikitpun cacat ketika Anda melakukan pekerjaan. Saya juga sudah menghungi mantan Bos Anda dan mereka mengatakan kalau Anda keluar dari perusahaan itu atas kemauan Anda sendiri dan bukan karena melakukan kesalahan. Jadi, apa saya boleh tahu kenapa Anda mengundurkan diri dari perusahaan-perusahaan tempat Anda bekerja sebelumnya?" tanya Kriss menatap gadis di hadapannya dengan penuh rasa penasaran.

"Emm, itu sebenarnya bukan hal yang penting, Tuan. Lagipula bukankah tidak ada hubungannya dengan pekerjaan yang akan saya terima di sini?" tanya balik Rania yang sebenarnya malu mengungkapkan alasan sebenarnya dia mengundurkan diri.

"Bukan seperti itu, Nona Rania. Ini mungkin saja akan menjadi pertimbangan bagi kami untuk menerima Anda atau tidak. Karena, kami membutuhkam seseorang yang bisa bekerja dengan profesional," jelas Kriss karena memang dia khawatir akan kembali kena gamprat Alva.

Rania terlihat menimang-nimang untuk jujur atau tidak. Tapi, dia emang membutuhkan pekerjaan ini untuk membuat rekeningnya menjadi segendut gajah.

"Emm, sebenarnya saya tidak suka karena para Bos saya terdahulu selalu menaruh hati pada saya. Padahal, saya selalu ingin bekerja dengan profesional dan tanpa ada ikatan apa pun yang akan mengganggu pekerjaan kami. Itulah kenapa saya memutuskan untuk mengundurkan diri," jawab Rania sambil meremas jemarinya gugup.

Sungguh, lebih baik Rania ditugaskan untuk mempresentasikan sebuah proyek dari pada menceritakan aibnya seperti ini.

"Lalu, apa di sini Anda tidak takut kalau akan mengulang kejadian sang sama?" tanya Kriss semakin penasaran saja.

"Tidak, Tuan."

"Kenapa? Bukankah Tuan Alva juga seoarang laki-laki?" tanya Kriss bingung.

"Emm, memang benar Tuan Alva itu laki-laki. Tapi, Tuan Alva tidak mungkin mencintai saya," jawab Rania semakin gugup saja.

"Memang kenapa?"

"Emmm, karena Tuan Alva seorang impoten."

HAH!